Kakak dan Abang saling berteriak memperebutkan saluran televisi. Adek menangis nyaris putus asa minta tolong dibukakan bungkus permen. Mainan bertebaran di lantai. Piring kotor bertumpuk di bak cuci piring. Baju kotor menggunung di ember cucian. Baju bersih pun mengantri minta diseterika segera.
Kuambil hape dan mulai menjelajah beranda Facebook. Beri jempol di satu status tentang rice cooker yang lupa diubah ke mode cook. Satu emoji hati untuk foto dede bayi yang sedang tersenyum memamerkan gigi pertamanya. Status selanjutnya berisi foto jam tangan hadiah dari suami tercinta disertai sebuah note penuh kata-kata mesra. Aku tertegun.
"Ibu, pipis," Adek yang sedang belajar buang air di kamarmandi menarik-narik lengan bajuku. Dengan malas aku berdiri, "Ayo ke kamarmandi." Di ruang tengah terdengar bantingan pintu. Sepertinya Kakak kalah berdebat lagi dan masuk kamar dengan marah. Aku menarik napas, menahan tangis, dan menceboki Adek.
Suasana mulai hening. Hanya ada suara televisi yang ditonton Abang di ruang tengah. Kepalaku pening. Hape masih tergeletak di kasur tapi tanganku tak berminat menyentuhnya.
Seperti ini setiap hari. Rasanya sudah tak tahan lagi. Berharap pada suami adalah perkara sia-sia. Dia pergi di pagi buta lalu kembali saat malam menyergap dan anak-anak terlelap. Kemudian begitu bertemu kasur, tubuhnya bisa begitu saja masuk ke alam tidur. Tinggallah aku, membereskan remah-remah sisa makan malam dan kotoran-kotoran yang belum sempat disentuh sabun seharian.
Aku lelah. Ingin pergi saja rasanya. Mau bicara, tapi bicara pada siapa? Pada suami yang mendengkur di tempat tidur? Atau pada layar persegi yang berpendar ini? Menulis status "Pingin piknik" lalu dicemooh orang-orang sejagad maya?
Ingin pergi saja rasanya. Mungkin ke spa atau ke gunung. Menghirup aroma segar rerumputan dan merasakan sejuknya embun pagi.
Tapi uang belanja hanya pas-pasan. Menyisihkan seribu sehari pun tak pernah bisa bertahan sampai sepuluhribu. Airmataku meleleh.
"Jangan menangis," suara seorang lelaki mengejutkan. Dia tersenyum. Mata teduhnya menenangkanku. "Kamu terlalu cantik untuk menangis," suara lembutnya membelai hatiku. Dengan halus diusapnya airmata di pipiku, "Nah, sempurna. Ini baru bidadari dengan kecantikan tanpa cela."
Aku tersipu. Pipiku pasti merah sekali sekarang. "Sini," dia menarik tubuhku masuk dalam dekapan tangannya.
Aku tak menolak. Hangat. Begini saja terus, "Jangan pernah lepaskan aku."
"Berenang?" dia tersenyum. Mata teduhnya begitu indah.
Aku mengangguk. Ah, siapa bisa menolak. Dia melepas pakaianku satu persatu. Lalu membimbingku masuk ke dalam air. Merasakan kesejukan tanpa batas dalam keheningan sejati.
***
"Ibu!" Abang menggedor pintu kamar mandi dengan segenap tenaga. Sejak sore tadi Ibu tidak keluar dari kamar mandi. Didekatkannya telinga ke pintu. Tak terdengar suara apa pun.
"Ibu!" Kakak ikut menggedor pintu. Tak biasanya Ibu mandi selama ini. Biasanya sebelum maghrib Ibu sudah selesai memandikan Adek. Tapi ini sudah lewat waktu maghrib dan Ibu masih belum keluar dari kamar mandi.
"Ada apa?" terdengar suara berat dari belakang mereka.
"Ayah!" Adek yang pertama berteriak bahagia.
"Ibu blom keluar dari Ashar, Yah," Abang langsung melapor.
Ayah mengetuk pintu kamar mandi, "Bu?"
Tak terdengar jawaban. Lalu Ayah mundur dua langkah dan mendobrak pintu kamar mandi dengan bahunya. Keliling kamar mandi kosong. Kecuali bak mandi, Ibu mengambang tanpa pakaian di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selingkuh dan Selingkuhan
Short StoryKumpulan cerpen tentang orang ketiga. Bukan untuk bikin baper, hanya untuk senang-senang. syukur-syukur jadi bahan renungan....Selamat menikmati