"Bojomu ki kurange opo, to ndhuk?" suara Ibu tertahan meski tangannya tak berhenti memipil jagung.
Air menggenang di mataku. Pertanyaan Ibu menggedor-gedor kesadaran. Apa kekurangan suamimu? Kuseka airmata itu sebelum sempat menitik ke dalam adonan bakwan.
Ibu memasukkan jagung yang sudah selesai dipipil ke dalam adonan bakwan. Kuaduk pelan-pelan sementara Ibu beranjak untuk menyalakan kompor.
Suamiku. Lelaki sempurna yang dikirim Tuhan untukku. Wajahnya tampan, badannya kekar. Ketika tersenyum, burung-burung pun seolah ikut bernyanyi melihatnya. Saat pertama kali Ibu membawanya ke rumah, aku menurut saja disuruh menikah. Yah, lumayanlah, kapan lagi bisa dijodohkan dengan lelaki tampan.
Setelah menikah, ternyata dia sangat baik. Dia memperlakukanku seperti ratu. Aku tak perlu bekerja merapikan rumah, dia tak pernah mengeluh. Meski tak punya ART, tapi urusan beberes hanya perlu kulakukan ketika aku ingin. Jika sedang malas, rumah lebih buruk dari kapal pecah pun baginya tak masalah. Untungnya tak ada anak-anak, jadi tak ada yang rajin membuat rumah berantakan parah.
Tentang anak-anak ini, sebenarnya kemauanku. Aku tak mau menambah masalah dunia dengan menambah anak. Aku juga menolak mengambil tanggungjawab terhadap masa depan satu manusia lagi, sementara kehidupanku sendiri saja tak dapat dipastikan.
Suamiku ini, meski kaget, tapi tetap mengangguk setuju. Meski itu berarti malam pertama dilewatkan hanya dengan memelukku saja. Keesokan hari, dia tiba-tiba menghilang dan pulang dengan satu pak kondom yang dibeli di minimarket sebelah. Aku tak menyangka, dia langsung beraksi tanpa bertanya. Mungkin itu pertama kali aku ikhlas memeluknya.
Sudah lebih dua tahun berlalu, keadaan masih sama. Masih pakai pengaman, maksudnya. Anggota keluarga tidak bertambah, hanya rumah sudah punya, mobil pun tinggal pakai. Semua dibeli oleh suami sebagai hadiah ulangtahunku. Bahagia? Hmmm...
Kuserahkan adonan bakwan jagung pada Ibu yang sudah menanti di depan kompor. "Menurutmu piye, ndhuk? Opo ono sing kurang?"
Aku diam disamping Ibu. Gelembung-gelembung keluar dari minyak panas ketika adonan bakwan jagung dimasukkan. Pertanyaan Ibu bertalu-talu di benak, Apakah ada yang kurang selama ini?
Entahlah. Harusnya tak ada. Sudah menikah dengan laki-laki paling tampan yang pernah kutemui (artis Korea tidak masuk hitungan, mereka hanya ada di dalam layar). Punya rumah atas namaku. Punya mobil yang BPKB-nya pun berisi namaku. Penghasilan pribadi juga tak bisa dibilang sedikit. Kalau digabung dengan penghasilan suami, cukuplah buat jalan-jalan ke luarnegeri dua kali setahun.
Tapi....aku mulai bosan. Bangun tidur, berangkat ke kantor, pulang kantor, tidur lagi. Pergi refreshing ke Thailand, lihat pantai, lihat pagoda, pulang, begitu lagi. Menyelam ke Raja Ampat, lihat karang, lihat ikan, pulang, balik lagi. Hidup ini begitu-begitu saja.
Hingga satu komentar mendarat di bawah foto profil-ku yang baru saja diganti, "Cantik." Hanya satu kata saja dan aku melambung. Tak ada yang memuji seperti itu sebelumnya, bahkan suamiku sendiri. Kuucapkan terimakasih dan dia memulai chat pribadi.
Awalnya chat biasa. Dia memanggilku Cantik, selalu begitu, membuatku tersipu. Padahal, jidat jenong dan hidung pesek, entah dari sudut mana dia melihatku cantik.
Pagi, siang, malam, dia selalu mengirim chat untukku. Begitu bangun tidur, istirahat siang, pulang kantor, sampai tengah malam pun masih setia menyapa.
Ada rasa khawatir suamiku yang tampan akan memergoki chat-chat mesra darinya. Tiap selesai chat, langsung kuhapus tanpa jejak. Namanya pun tak kusimpan di buku telepon agar tak muncul di layar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selingkuh dan Selingkuhan
Short StoryKumpulan cerpen tentang orang ketiga. Bukan untuk bikin baper, hanya untuk senang-senang. syukur-syukur jadi bahan renungan....Selamat menikmati