Rindu yang Receh

6K 201 21
                                    

Bangku yang kududuki terasa penuh duri. Dia masih bersandar di sofa paling empuk yang dimiliki kafe ini. Telunjuknya menjangkau double espresso yang masih menguarkan asap. Matcha latte di cangkirku pun masih menggembungkan busa, membentuk kurva melewati garis tepi.

Aku teringat pekan-pekan pertama pernikahan kami. Saat aku merasa harus belajar membuat double espresso dan dia dengan sukarela mempelajari cara meramu matcha latte. "Kamu tahu," katanya, "Kopi dan teh bisa dicampur dengan macam-macam bahan lain. Tapi mereka berdua tak pernah bersatu. Mungkin bersanding dalam satu meja, tapi tak pernah lebur dalam satu cangkir." Saat itu aku tergelak. Sekarang, kalimat itu terasa menusuk. Mungkin seperti itulah kami, bersanding tanpa pernah bersatu.

"Kenapa?" satu kata keluar juga dari mulutnya. Satu kata tanya yang membuat dadaku bergemuruh.

Bukan gemuruh amarah, tapi seperti tekanan angin puting beliung yang menyesakkan. Dadaku sesak karena tak punya jawaban. Dia menegakkan punggung, menatap lurus ke mataku.

Puting beliung seperti merobek jantung. Aku mengaku salah. Kualihkan pandang keluar jendela. Hujan deras mengguyur jalanan, memaksa pengendara motor mencari perlindungan di bawah jembatan penyeberangan. Teringat lagi masa awal menikah dulu. Pulang pergi kantor berdua dengan motor. Saat hujan sederas ini, dia akan menghentikan motor di pinggir underpass. Tangannya akan langsung menggenggam tanganku. Dia tahu, aku mudah sekali kedinginan dan menggigil.

"Apa yang kamu butuhkan, yang tak bisa kupenuhi, dan dia yang memberikan kebutuhanmu itu?" nada bicaranya masih tenang. Intonasi suaranya penuh rasa ingin tahu, seperti biasa.

Kucoba menatap matanya. Mata hitam yang dalam. Dulu aku selalu tenggelam dalam ketenangan dua mata itu. Sekarang, aku sudah lupa kapan terakhir kali mengalaminya lagi. Baru kusadari betapa aku merindukannya. Rindu menelusupkan jemari dalam genggaman tangannya. Seperti saat kehujanan berdua. Ah, kadang yang dirindukan itu begitu receh.

"Aku sudah ikhlas melepasmu, kalau kau bahagia bersamanya," kata-katanya terhenti. Kedua tangannya dilingkarkan di badan cangkir kopi yang hangat. "Tapi waktu melihat Rayhan," suaranya tercekat. Kulihat ada air melapisi bola matanya.

Ya Tuhan! Dia menangis! Kugigit bibir agar air mata tak ikut meluruh. Tapi pertahananku tak sekuat itu.

Aku sudah terlalu mabuk. Larut dalam euforia perhatian seorang lelaki. Sampai lupa bahwa ada lelaki kecil yang meminta perhatianku di rumah. Aku sudah jarang mengantarjemputnya sekarang. Ada ojek online yang bisa menerima pekerjaan ini hingga makin banyak waktu untuk bercengkerama dengan lelaki lain.

Lelaki itu muncul lagi dari masa lalu. Bercerita tentang isterinya yang sekarang terlalu sibuk memasak. Padahal masakannya pun tak terlalu enak, standar warteg sebelah kantor-lah. Sibuk pula dengan polah anak-anak yang memusingkan, membuat rumah tak pernah rapi dan kegiatan memasak selalu terganggu.

Sementara aku pun tak bisa memberi solusi. Hanya bisa mengajak sabar sambil membalas dengan curhatanku sendiri. Suami yang sering keluar kota meninggalkanku sendiri di rumah. Rasanya dia lebih sering tidur di hotel luar kota daripada di rumah. Sementara, begitu sampai rumah yang dia lakukan hanya tidur.

Lelaki itu tercenung cukup lama. "Suamimu menyia-nyiakan isteri secantik ini?" kata-katanya memburatkan rona merah di pipi. Tak ingat kapan terakhir kali suamiku memuji setulus itu.

Perhatian demi perhatian mewarnai hari-hariku yang membosankan sejak Rayhan masuk sekolah. Janji temu pun dibuat dan aku menembus kemacetan demi bisa bertemu dengan lelaki itu. Satu kali, dua kali, tiga kali, lalu aku dapat menelusupkan jemariku dalam genggamannya. Jantung pun berdebar makin kencang.

Suamiku, tiba-tiba ada disana. Ketinggalan pesawat dan mampir sebentar di kafe favorit kami demi membelikan matcha latte untukku. Kutarik jemariku dari genggaman lelaki itu. "Ayo pulang," hanya itu yang diucapkannya hingga kemarin, saat ia mengajakku ke kafe ini.

"Kalau kita berpisah, apakah Rayhan akan bahagia?" airmatanya menetes ke dalam cangkir. Diseruputnya kopi pahit itu cepat-cepat. Aku tahu, dia ingin menutupi air mata yang mengalir deras. "Menyeruput kopi itu harus pelan-pelan, tiap lapisan memberi rasa yang berbeda. Kalau dihabiskan sekali seruput, semua rasa akan hilang," begitu dia mengajariku cara menikmati kopi.

"Aku kangen kamu, Mas," cuma satu kalimat ini yang akhirnya bisa terucap.

Dia menatapku tak mengerti. Sementara aku berusaha keras menyembunyikan isak dengan kedua telapak tangan.

Dia pindah duduk disampingku. Memeluk pundakku dan menahan goncangan dengan seluruh bidang dadanya. Tangisku tumpah seperti air bah dari bendungan yang jebol.

"Katakan saja apa yang kamu perlukan. Jangan meminta dari orang lain. Mintalah padaku. Kuberikan semua yang kamu mau," bisikannya menenangkan puting beliung di dadaku.

"Aku kangen kamu, Mas," lalu kami berbincang seharian, saling menelusupkan jari dalam genggaman. Dan akhirnya kusadari, sereceh apa pun, tak ada kerinduan yang remeh.

Solo, 27 April 2018

Selingkuh dan SelingkuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang