CHAPTER 2

49 30 107
                                    

Aku menyingkir, mencari tempat teduh karena matahari sudah pas di atas kepala, sangat terik hingga mampu membakar kulit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menyingkir, mencari tempat teduh karena matahari sudah pas di atas kepala, sangat terik hingga mampu membakar kulit.

Aku berjongkok sembari memegangi lutut, aku ketakutan karena seperkian manusia melihatku heran. Seharusnya aku yang kebingungan, karena entah aku berakhir di mana, lagipula tidak masuk akal jika aku mendadak dewasa dengan pakaian yang sama.

"Jangan kayak gembel," kata seseorang. Suaranya berhasil menembus telingaku dengan sopan, suaranya mampu membuatku berhenti ketakutan. Kulihat warna retinanya, warna biru menyala. Aku tersentak, menggeser badanku ke arah kanan–menjauh darinya.

"Si-siapa?" kataku gemetar, aku ketakutan karena dia mendadak mencium pipi kiriku.

Lagipula dia masih bocah, perawakannya sama sepertiku di saat baru remaja.

"Debiru," jawabnya dengan santai.

Kulihat mata indahnya yang mampu menghipnotisku. Wajah tampannya yang mampu membuatku terpana, jika saja aku seumurannya, aku akan mengajaknya kencan tanpa perlu merasa malu.

"I-ini di mana?" Baru kulontatkan kata itu, Debiru menghilang pergi entah ke mana, meninggalkan jejak sprinkle berwarna biru yang berhamburan di udara.

Aku makin ketakutan. Makin kueratkan pelukan tubuhku. Namun, tiba-tiba suara Debiru kembali masuk ketelingaku. "Jalan saja, nanti akan tahu ini apa."

Dengan kalimat itu mampu membuatku berjalan walaupun dengan ketakutan. Aku masih memeluk tubuhku, berjalan menahan dingin karena cuaca mampu berubah menjadi teduh. Rupanya hujan akan turun.

Aku berjalan di pinggir-pinggir, melintasi toko-toko agar aku mampu berteduh jika sewaktu-waktu hujan akan turun.

Seperkian menit aku berjalan tanpa tujuan. Melihat seisi kota dengan percuma, menampakkan pemandangan menakjubkan karena kendaraan mampu terbang tinggi.

Aku berusaha bernyanyi, menyanyikan lagu apa saja yang aku tahu agar aku bisa tenang, aku dilarang panik jika sudah berada di negeri orang.

"Debiru," panggilku lirih.

Seperkian detik aku menunggu, tapi, dia tidak datang hingga mengharuskanku menggosok tangan karena mulai merasa keringatan. Aku keringat dingin membayangkan aku akan berada di sini dalam waktu yang lama. Aku ingin kembali, berjanji tidak akan berbohong pada Kakek. Tidak akan sembarangan menembus sesuatu.

Aku ketakutan.

"Ah, ganggu aja!" Teriakan sopan kembali menembus telingaku. Aku melihat Debiru dengan senang.

"Kalau manggil saya, ada syaratnya," kata Debiru. Aku mengangguk setuju, biarlah bersyarat asal punya teman supaya tidak sendirian.

"Harus cium pipimu, sebagai syarat perjalananku yang jauh," kata Debiru berhasil terngiang di telingaku.

Membayangkan jika dia datang akan langsung mendaratkan bibirnya pada pipiku adalah hal memalukan. Aku juga dilarang terbawa perasaan, aku sudah dewasa, tidak lucu jika jatuh cinta pada bocah.

"Nggak ada yang lain?" kataku menawar.

Debiru menggeleng, "Hanya itu yang aku mau. Ini tidak mudah, Ariana. Aku harus menembus waktu agar bisa ke sini."

"Tapi, tubuhku dewasa, akan aneh jika dicium oleh bocah."

Debiru menghela napas. "Semua orang akan menganggap bahwa kamu adalah Kakakku. Lagipula jangan berharap banyak padaku."

Aku terdiam, terpaku mendengar suara indahnya. Suaranya sangat sopan. Aku mengerjapkan mataku, mengingat kata-katanya. "Ariana? Kau tahu namaku?"

Debiru mengangguk pelan. "Masa, nama perempuan cantik aku tidak tahu."

Aku terkekeh, lalu menyunggingkan bibir. "Kau itu baru bocah kemarin sore, jangan belagu dengan kata-kata gombalanmu."

Debiru menatapku. "Kau baru dewasa hari ini, jangan sombong karena kau mendadak lebih tua dariku."

Aku tertawa sebentar, "Huh."

"Memangnya kau manusia?" kataku memastikan, atau menghina tepatnya.

"Jika aku bukan manusia, maka kau yang patut dipertanyakan. Mengapa dewasa tiba-tiba?"

Aku terpaku dengan kata-katanya, makin gila jika bicara dengan Debiru. Kupikir dia akan menjadi teman. Tapi, kata-katanya lebih cocok jika dia musuhku.

"Lalu kau melakukan sihir apa? Masa bisa mendadak ada dan tidak ada. Kau itu jailangkung?" kataku.

"Jika aku jailangkung, maka kau targetku, karena aku akan menerormu."

Kata-kata yang Debiru lontarkan sebelum pergi meninggalkanku dengan jejak yang sama seperti sebelumnya.

"Nona," panggil salah seorang dengan setelan jas yang sama seperti tiga orang lainnya.

Aku mengerjapkan mataku. "Kau mengenalku?" tanyaku dengan heran. Yang aku tahu aku baru berakhir di sini, hari ini.

Pria setengah baya itu mengangguk. "Masa aku tidak mengenali majikanku."

Aku terheran, aku majikannya? Maksudnya, aku ini bos mereka?

"Apa maksudmu?" tanyaku lagi.

"Nona, kau adalah bos kami. Pimpinan di Zier Group. Kau adalah Nyonya Ariana Queensha. Pimpinan perusahaan sekaligus selebritas pengusaha," jawabnya.

Aku terkekeh, dia menyebut namaku dengan benar. Biarlah aku iyakan, mengangguk dengan senyuman. "Rupanya kalian masih mengenaliku," ujarku berpura-pura kenal. Setidaknya ada yang menampungku untuk tinggal walau itu aku di masa depan. Artinya diriku berguna untukku.

"Kita pulang sekarang, Nona?" katanya menawariku.

Aku mengangguk mantap. "Iya, sekarang. Sudah cukup jalan-jalan."

Aku menaiki kendaraan, mobilku panjang seperti limosin milik negara. Duduk di kursi belakang dengan banyak makanan yang disediakan, terutama permen berbentuk beruang yang sangat aku sukai baik di masa lalu maupun masa kini.

Mobil ini mulai terbang, bisa kulihat penampakkan kota dari atas, begitu indah sampai-sampai mataku terpana. Kulihat banyak gedung yang di lewati dari dekat, terutama gedung tinggi dengan tulisan Zier Group, artinya itu milikku, karena aku pimpinan di sana.

Mobil ini mulai mendarat perlahan, tepat di rumah besar dengan beberapa penjaga. Aku makin terkesima membayangkan betapa kaya-nya aku.

"Masuk, Nona," kata pengawalku–orang yang sama mempersilahkanku untuk masuk.

Aku ke luar dari limosin hitam, menapaki kakiku untuk kali pertama pada tanah luas dengan bangunan megah.

Pandanganku tidak ada hentinya mengagumi, membayangkan betapa suksesnya aku saat ini.

"Apa kepalamu, baik-baik saja, Nona?"

Thanks for reading, jangan lupa untuk tinggalkan jejak!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Thanks for reading, jangan lupa untuk tinggalkan jejak!



Debiru, Future in 2050Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang