Aku hanya mengalami hari dengan ketenangan penuh selama tiga hari tanpa hadirnya Debiru. Aku baik-baik saja tanpa terluka. Tapi, memang sedikit kehilangan.
Debiru, dia teman pertamaku pada dunia baru. Tahun ini, tahun yang tidak pernah aku bayangkan jika akan secepat ini. Dan, tahun yang tidak pernah aku sangka karena diumur ini malah dipertemukan dengan sosok remaja bernama Derian Bintang Rusen. Tapi, aku lebih nyaman memanggilnya Debiru.
Debu Biru, julukan yang kuberikan untuknya. Anggap itu nama kesayangan. Pun, aku memang sedikit menyanyanginya. Hanya sebagai adik. Aku tidak pantas lebih dari itu pada tubuh dewasa ini.
Ah, aku rindu masa remaja singkat yang padahal belum aku rasakan umur tujuh belas tahun yang katanya indah. Tapi, aku melesat jauh sampai sekarang, sampai di sini, pada tahun ini, diumur dua puluh tiga tahun.
Aku memakai jas agar melengkapi setelan kerjaku. Harus terlihat rapih dan berwibawa.
Aku meneguk secangkir teh yang ada dimeja kerja sembari memeriksa berkas proyek yang akan dikerjakan. Bukan hanya proyek besar berupa pembangunan, tetapi juga ada produk baru yang akan diluncurkan.
"Kamu sudah mencari siapa modelnya?" tanyaku pada salah seorang pegawai.
Dia mengangguk sempurna. "Sudah dijadwal, dia akan datang hari ini," jawabnya.
Aku mengangguk dan mengizinkannya keluar. Kuperiksa lagi berkas-berkas berantakan, lalu aku tata rapih pada rak diruangan setelah kuperiksa. Bagiku, hadir atau tidaknya Debiru belum berperan banyak pada hariku. Tetapi, memang sedikit membosankan karena tidak ada yang mengajakku ribut.
Aku menggosok tangan, hanya iseng siapa tau Debiru ingin datang. Tapi, hasilnya tetap nihil. Mungkinkah Debiru sedang ujian di sana? Pun, mengkhawatirkan masa depan itu perlu. Katanya juga dia ingin menikahiku, 'kan? Harus sukses dulu kataku. Tapi, ternyata sukses tidak terlalu perlu, asal selalu ada itu harusnya cukup.
Aku bangkit dari kursi, berdiri tepat di depan jendela hingga bisa melihat keluar. Kaca yang besar mampu membuatku melihat kemana saja. Mataku memicing dengan wajah yang tengak-tengok ke kanan-kiri. Ku lihat banyak kendaraan yang lebih memilih berjalan di bawah, teduh yang kurasa, hawa mendung dan dingin mampu menusuk kulit. Pohon di pinggir-pinggir menari ke sana-ke mari hingga membuat daun kering warna kekuningan berjatuhan dari dahan. Aku rasa pekerjaan pembersih lingkungan kota akan lebih terasa.
Banyak orang memilih berjalan kaki, kulihat mereka asyik berbincang santai sambil meneguk kopi hangat. Lalu, beberapa orang tampak mengayuh sepedanya pada jalur khusus. Ada juga yang sekedar duduk dan melihat aktivitas orang lainnya seperti aku sekarang.
"Jenuh? Tidak ada aku?" Aku langsung berbalik saat kudengar suara sopan mendekati barinton menusuk telingaku perlahan. Aku tersenyum senang walau sedikit kutahan. Tapi, tidak ada. Debiru tidak ada di sini, baik di belakang atau samping kanan-kiriku.
Aku hanya halusinasi.
Mungkin, aku merindukan Debiru.
Aku coba gosok kedua tanganku lagi. Tapi, lagi-lagi hanya debu biru yang berhamburan diudara.
"Aku salah apa sampai dia tidak datang?" tanyaku pada diriku. Sedikit gila tapi itu kenyataan.
Aku mendengkus kesal, aku tendang kursi kerjaku ke depan dengan satu dorongan.
Dug!
"Ada apa, Nona?" tanya Bimo yang datang tiba-tiba.
Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal sembari menggeleng pelan. "Hanya sedikit kesal," jawabku.
Aku berjalan ke kursiku, "Ada apa?" tanyaku sembari duduk dan menunjuk kursi di depanku agar Bimo juga duduk.
"Ini sudah waktunya pemotretan, Nona. Kau ingin melihatnya?" ujar Bimo.
Aku mengangguk dengan senyum tipis lalu bangkit, "Iya," jawabku.
Bimo berjalan di belakangku, aku menaiki lift hingga sampai pada ruang pemotretan di tempat yang paling tinggi. Aku memasuki ruangan yang sedikit berantakan karena pakaian dan rias wajah tidak ditata.
"Kenapa berantakan?" cicitku. Tapi, semuanya masih sibuk pada pekerjaan masing-masing.
Sang juru kamera mempersiapkan kameranya, lalu ada yang menata latarnya, juga ada beberapa orang yang membereskan pakaian dan rias wajah.
"Mana modelnya?" tanyaku sambil melihat sekeliling ruangan.
"Belum datang, Nona. Mungkin sebentar lagi," jawab sekretarisku.
Semuanya masih sibuk, aku duduk di belakang kamera. Kulihat juru kamera masih menata penempatannya.
Sekretarisku berlari mendekat dengan napas yang terengah-engah. "Kenapa?" tanyaku.
"Sedikit gawat, karena modelnya mengalami kecelakaan. Sedangkan penggantinya sibuk. Aku harus apa?"
Aku menghela napas, "Sama sekali tidak ada?" tanyaku memastikan.
Dia menggeleng, "Kalau aku, bagaimana?" tanyaku mengajukan diri. Pun, sesungguhnya aku ingin menjadi model dari kecil, berlenggok atau bergaya di depan kamera walau aku kaku dan risih. Setidaknya ada hal baru yang akan aku coba.
"Tapi, apa, Nona tidak keberatan?" tanyanya.
Aku menggeleng, "Sama sekali tidak."
"Siapkan pakaiannya, rias wajahku. Siapkan tempat dan produknya. Kini aku modelnya, bukan pimpinan."
Semuanya mengangguk. Aku tipe orang yang mudah berganti peran, dan orang harus paham peran baruku. Aku sebagai pimpinan memang harus dihormati. Tapi, sebagai model aku harus rela disuruh ini-itu.
Aku siap dengan pakaian dan wajah yang sudah dipoles sedemikian rupa hingga wajahku nampak seperti boneka hidup. Sangat cantik, kataku, dan aku memuji diriku, juga Tuhan yang menciptakanku.
Aku memegang satu kardus berwarna merah muda sembari tersenyum pada kamera.
Beberapa gaya aku tunjukkan dengan lampu kamera yang menyala-nyala. Setelah selesai bergaya aku diharuskan mengganti pakaian dan model rias wajah yang lebih natural.
Aku memegang pakaian baru, ingin melangkah ke ruang ganti tiba-tiba suara halus itu kembali.
"Masa, sudah membuat produknya malah menjadi modelnya. Membayar untuk diri sendiri?" sindir orang itu.
Kulihat Debiru tersenyum jahat padaku dengan punggung yang berselendeh pada sofa.
"Mengapa ada anak kecil di sini?"
Terima kasih sudah membaca sampai chapter 8 di bagian 9.
Terima kasih untuk jejaknya, dan yang belum mohon berikan karena tidak di pungut biaya. Sampai jumpa di chapter selanjutnya dengan sesuatu yang baru karena kehadiran Debiru yang mulai berwujud!
KAMU SEDANG MEMBACA
Debiru, Future in 2050
FantasiMengapa harus Debiru dari banyak manusia? Mungkin karena aku Ariana. Perjalanan waktu menuju masa depan tak pernah Ariana harapkan, apalagi sampai dewasa tiba-tiba dan bertemu dengan Debu Biru. Bagaimana bisa dia ada di sana? Dan sulit untuk kembali...