Hari ini dan kemarin mampu aku lewati tanpa hadirnya makhluk pengganggu berwujud Debiru. Sungguh aku sujud syukur karena mampu menikmati hari di sini dengan lebih baik lagi.
Aku tetap mengunjungi panti, bertemu dengan Bian dan di sorot media karena kebaikanku. Aku rasa aku risih jika di depan kamera, apalagi hal baik yang aku lakukan malah di rekam dan terkesan ria. Eh, itu malah membuatku menghasilkan pundi-pundi rupiah. Jadi, aku bingung harus bersyukur atau malu karena tingkahku.
Setelah semua kamera mati aku mulai mendekat dan bicara pada Bian. Sejujurnya, Bian alasanku datang, dia mampu melihat wujud remajaku, dan itu membuatku nyaman. "Jika aku punya adik, aku ingin kamu yang jadi adikku," kataku penuh harap.
"Dan aku tidak ingin kamu jadi Kakakku, aku takut kamu akan merasa sensara saat ada didekatku. Ibu bilang aku pembawa sial," lirih Bian.
Aku diam sejenak lalu tersenyum. "Bagaimana kamu yang jadi anak Mamah dan Papahku? mereka baik dan penyayang. Apalagi Kakek." Aku membujuk Bian agar tidak sedih lagi.
"Apa bisa?" Bian menjawab dengan senyum harapan.
Aku mengangguk kuat, "Tentu saja! Aku akan punya adik sepertimu! Aku akan membawamu kembali pada masaku!"
Bian tersenyum senang, "Aku bisa membayangkan kalau aku akan bahagia," ujar Bian pelan tapi senyumnya mengembang.
Aku mengangguk, "Aku juga jamin kamu akan bahagia, karena aku akan mewujudkannya."
Aku mengusap rambut Bian. Bian sangat tampan dimataku. Matanya bening bak cermin, teduh bagai embun dingin, dan wajahnya sangat tampan melebihi Debiru.
Ah, omong-omong soal Debiru. Kemana dia akhir-akhir ini?
Tapi, aku lebih bebas melangsungkan hidup atau tidak perlu takut di anggap gila karena bicara pada orang yang tidak berwujud. Eh, seharusnya bukan orang. Tapi, jailangkung tampan.
"Apa Kak Debiru tidak datang?" tanya Bian.
Aku bergidik dan menggeleng sembari tersenyum kecut. "Jangan bahas dia. Aku tidak ingin kepikiran," jawabku.
"Apa Kak Debiru membuat pusing kepala?" tanya Bian lagi.
Aku mengangguk kuat, "Sangat!" kataku.
Bian tersenyum lalu mendekat dan beralih pada punggungku. "Aku akan memijat kepalamu, Kak," kata Debiru sembari memijat pelan kepalaku.
Aku berpura-pura menikmati pijitan tidak berasanya. "Wah, kau membuatku sangat nyaman!" Aku memberi Bian pujian.
Bian memposisikan wajahnya di samping wajahku dengan jarak beberapa senti. "Apa kau ingin aku pijit begini? Setiap hari?" tawar Bian.
Aku memiringkan badanku, mengangkat badan mungil Bian untuk duduk di depanku. "Apa kau mau?" tanyaku.
Bian mengangguk. Aku tersenyum, "Sebaiknya jangan, tanganmu akan cepat sakit nanti," ujarku.
Bian memandang sendu, rasanya aku tidak tega. "Bukan itu saja, aku punya alat pijit canggih di rumah. Apa kau ingin coba?" tawarku.
Bian mengangkat kepalanya dengan senyum sempurna dia mengangguk antusias. "Apa boleh?"
Aku mengangguk dan tersenyum, "Tentu saja!" responku.
Setelah dari panti hingga satu hari berlangsung pergi, kini pagi hari. Aku meminum teh dan camilan saat memakai pakaian tidur, masih enggan untuk menyentuh air.Aku melihat pemandangan cantik perkebunan kecil di rumah yang sedang disiram oleh beberapa orang. Sedikit tersenyum karena pagi asri dinikmati tanpa keributan antara aku dan Debiru.
Aku memutar musik, lagu di tahun 2018 yang aku pilih, dengan judul Bingung karya Iksan. Bukankah lagu yang bagus? Menyindir para manusia yang adalah aku. Menyindir banyak orang dan seharusnya di dengar banyak generasi, apalagi pada anak-anak sekolah dasar yang bicaranya membekas sampai sekarang. Apalagi padaku yang tumbuh pesat karena melintasi waktu.
Banyak, sangat banyak kata-kata tidak enak yang aku dengar. Aku yang di buang, jelek, tidak disayang. Walaupun sederhana dan bisa aku dengar saat remaja. Tapi, perkataan saat belum menginjak remaja sangat menyakitkan. Mungkin, kalian juga merasakan.
"Menjadi bintang ketinggian," kataku ikut bernyanyi.
"Menjadi tanah kerendahan."
"Jadi matahari gak sanggup," kataku masih bernyanyi kali ini dengan raut wajah menikmati.
"Menjadi bulan terlalu redup."
"Gedung-gedung ditinggikan."
"Akal sehat dihancurkan."
Aku masih menikmati lagu yang menyindir para manusia, khususnya aku. Aku juga sadar Bimo ada di belakangku, tapi aku biarkan saja. Biar Bimo juga ikut tersindir, bukan hanya aku.
"Diam dan nikmati saja. Bukankah tersindir karena lagu malah lebih nikmat?" Aku berkata tanpa berbalik menghadap Bimo.
"Aku baru dengar lagu ini, tapi liriknya sudah sampai ke hati. Ini sangat bagus," kata Bimo menilai lagu pilihanku.
"Tapi bagaimana, Nona, tahu lagu di tahun itu? Itu sudah berlangsung beberapa dekade?" tanya Bimo. Aku bergidik.
Aku bangkit setelah lagunya habis, aku menyuruh Bimo pergi dan aku ingin bebersih.
Aku nyalakan air hangat, biarku isi setengah penuh pada bathup. Aku menggosok tangaku, aku rasa semenjak tinggal di sini cuaca menjadi lebih dingin dan tidak bisa di ramal lagi. Tapi, lagi-lagi yang aku lihat hanya debu biru yang berhamburan di udara tanpa wujud asli dari Debiru yang ingin aku lihat.
"Kenapa gak pernah muncul? Sudah tiga hari, Derian," gumamku.
Terima kasih sudah membaca sampai chapter 7. Maaf dikit, author terbiasa nulis tidak sampai 1000 kata.
Jangan lupa tinggalkan jejak, karena kita mutualisme. Memberikan semangat untukku dan kalian bisa membaca karyaku.
Sampai bertemu pada chapter selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Debiru, Future in 2050
FantasyMengapa harus Debiru dari banyak manusia? Mungkin karena aku Ariana. Perjalanan waktu menuju masa depan tak pernah Ariana harapkan, apalagi sampai dewasa tiba-tiba dan bertemu dengan Debu Biru. Bagaimana bisa dia ada di sana? Dan sulit untuk kembali...