CHAPTER 6

25 14 69
                                    

Dunia fatamorgana yang aku tempati lebih bisa disebut fantasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dunia fatamorgana yang aku tempati lebih bisa disebut fantasi. Tidak bisa dialami banyak manusia, atau bahkan tidak di anggap kebenarannya. Hanya dari serial kartun Jepang bertajuk Doraemon saja mereka menetapkan itu semua tidak nyata, dan hanya penyakit bagi anak-anak. Lalu, apakah kau pernah lihat drama asal Korea yang mengambil latar masa depan dan masa lalu? Berpindah tempat menggunakan alat transmisi kuantum yang disebut pengunggah? Itu juga membuat pusing karena teorinya yang kurang masuk akal. Lantas, berpindah tahun dengan tubuh yang berubah hanya dengan melewati cahaya putih, apa itu masuk akal?

Ah, anggap saja cahaya putih itu alat pengunggah atau pintu kemana saja. Gampangnya, itu adalah mesin waktu. Tapi, hanya orang gila yang bisa membuatnya seperti itu. Jadi, kalau aku yang mengalaminya, apa aku sudah gila? Atau benar-benar gila? Jangan bilang aku telah tiada. Tidak, tidak mungkin seperti itu, 'kan? Aku masih bernapas dan jantungku masih berdetak.

Aku menggosok tanganku karena dinginnya cuaca mulai terasa. Lantas, aku baru menyadarinya, itu akan memanggil Debiru. Memancing keributan lagi dengannya. Mengapa aku bodoh?

"Ah, sial!" Aku memaki dengan halus.

"Kau pasti merindukanku, 'kan?" tanya Debiru dengan percaya dirinya.

Aku duduk pada sofa, membuang napas dengan kasar. "Bukankah, kau terlampau percaya diri?" cibirku.

Debiru ikut duduk di sofa depanku, berjarak satu meja bundar kecil saja. Kita sedang berada di lantai tiga rumahku dengan pemandangan alam buatan yang menakjubkan, rasanya seperti kembali pada rumah Kakek.

"Biarlah aku percaya diri. Lagipula, itulah kenyataannya. Jangan kau sangkal lagi, Ariana." Debiru menjawab.

Aku mendelik, "Lagipula kau ini tidak ada kerjaan lain? Mengapa aku gosokkan tangan kau langsung datang?" tanyaku.

Debiru tersenyum penuh arti. "Itu sudah aku beri mantra, tanganmu sudah ada kendaliku."

Coba bayangkan, apakah itu tidak mengerikan? Mengapa Debiru misterius? Aku ingin memotong tanganku jika nantinya akan tumbuh lagi. Karena, kata kendali sangat menghantui.

"Bukankah tidak sopan mengendalikan bagian tubuh orang?" sarkasku tajam.

Debiru tersenyum licik, "Sebentar lagi hatimu," cicit Debiru.

Aku dengan cepat menyentuh bagian kiri dadaku. "Tidak!"

"Hati itu ada di bawah jantung, Ariana. Tepatnya di bawah dadamu," benah Debiru.

Dengan cepat aku menyentuh bagian yang dimaksud Debiru. "Pokoknya kau tidak boleh melakukannya!"

Debiru terkekeh, perlahan-lahan mulai mengeras dan berhenti sebelum sangat keras. "Kau itu bodoh atau apa?" tanya Debiru.

Aku terbelak, "Maksudmu?!" tanyaku tajam.

Debiru memajukan tubuhnya. "Maksudku, aku akan membuatmu jatuh cinta padaku, Ariana." Debiru menjawab dengan kekehan ringan.

Aku memundurkan tubuhku untuk menyelendeh pada kepala sofa. "Aku tersipu. Shy shy dan dugun dugun. Bukankah kau harus tanggung jawab, sayang?" Aku makin membuat seru keadaan.

Debiru tersenyum sangat lebar. "Ya Tuhan, kau sudah menganggap aku ini belahan hatimu, 'kan?"

"Tidak," jawabku. "Bukankah kau bodoh, Debiru?" tanyaku memancing.

Aku memajukan wajahku, "Lihatlah tubuh kecilmu dan tubuh besarku. Bukankah kita sangat tidak masuk akal? Aku tidak akan pernah menyimpan rasa padamu!" tegasku.

Debiru mengerucutkan bibirnya, "Sudah berkali-kali aku mendengarnya," cicit Debiru dengan gerutuannya.

Aku memundurkan wajahku, "Artinya kau tidak tuli, dan seharusnya kau memahami," celetukku.

"Ah, aku ingin pergi. Hari ini aku sangat tersakiti. Sampai nanti, dan jangan menabung rindu." Debiru langsung pergi, menghilang dengan sprinkel birunya.

Aku tersenyum kecut. Iya, ada rasa kurang memuaskan. Pertengkaran tadi kurang mengasikan. Terlalu singkat.

Aku melanjutkan aktivitasku, pergi bekerja ke gedung pencakar langit. Sebenarnya menjadi dewasa tidak semenyenangkan dulu. Tidak ada waktu untuk merasakan jatuh cinta atau memanjakan diri. Tapi, tidak ada yang lebih menyenangkan selain memiliki banyak uang. Ah, kebahagiaan tidak bisa di beli dengan uang. Tapi, kebahagiaan dapat dirasakan jika kita punya uang. Aku mengakuinya. Mungkin, itu alasan aku bekerja. Agar, aku di masa lalu juga tidak malas. Semoga, setelah ini dan jika aku sempat kembali pada masaku, maka aku akan mengusahakan untuk rajin dalam segala hal.

Bukankah berharap dulu saja, lagipula, 'kan, berharap pada Tuhan bukan pada manusia yang tidak punya kuasa.

Aku menunggu di depan komputer menyala yang menampakkan tabel-tabel laporan juga dengan berkas-berkas pekerjaan karyawan. Apalagi, aku dihadapkan proyek besar. Ah, ini membosankan. Mengapa aku hanya punya Debiru disini? Mengapa tidak berikan saja aku Sinta, agar aku bisa menyombongkan diri dengan apa yang aku punya.

Aku dan Sinta memang berteman dan suka memamerkan barang. Wajar saja, kita masih kecil saat itu. Segala yang baru dan lawanku tidak punya maka aku akan sombong saat itu juga. Aku terkekeh jika mengingatnya. Sekarang, tidak bisa aku sombong. Lagipula dengan siapa? Apalagi pada masyarakat, sangat terkutuk aku ini.

Aku meneguk kopi. Jujur saja, aku yang ini butuh kopi karena mengantuk jika berhadapan dengan layar biru penuh penyakit untuk mata. Padahal, saat itu aku sangat tidak suka lama-lama di depan layar menyala. Astaga, sesuatu yang baik menghilang dariku.

Aku menggosok tanganku karena pendinginnya benar-benar berfungsi dengan baik. Tapi, sesuatu yang baru malah terjadi. Hanya ada sprinkel biru tanpa ada wujud asli dari Debiru.

"Kemana?"

Terima kasih yang sudah membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih yang sudah membaca.
Selamat menikmati karya ini, dan karya yang lainnya akan ada rencana untuk menyusul.

Terud support, tinggalkan jejak. Dan, sampai bertemu pada chapter selanjutnya.





Debiru, Future in 2050Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang