CHAPTER 4

25 17 71
                                    

Aku berakhir di sini, pusat perbelanjaan yang sangat besar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku berakhir di sini, pusat perbelanjaan yang sangat besar. Berbagai barang branded di zamanku juga tersedia di sini. Yang awalnya aku tidak mampu membeli sekarang jadi bebas memilih. Bimo bilang padaku, aku sangat kaya, rumah besar dengan usaha dimana-mana, maka di zamanku dulu ada blackcard di sini juga tidak berbeda.

Aku memasuki beberapa toko besar, barang-barang bagus dengan harga mahal di pajang. Sungguh aku sangat tergiur, apalagi aku mempunyai banyak uang, seakan rich money atau bilioner adalah aku. Aku akan tertawa lebar saat aku memegang banyak uang. I'm rich.

Aku menarik kata-kataku, aku tidak ingin kembali menjadi anak bodoh yang suka bermain kotor-kotoran, aku memilih menjadi gadis dewasa dengan banyak uang. Aku mungkin akan membayar hutang negaraku, sayang saja kini aku tidak peduli.

"Bimo, kau tahu? Aku merasa sangat bahagia, selain hujan-hujanan aku malah membeli pakaian," kataku antusias.

"Jika setiap hari hujan dan aku mandi hujan, selesainya aku membeli pakaian. Aku akan jatuh miskin nantinya?" kataku membayangkan jika aku miskin karena sering berbelanja.

Bimo tersenyum, "Tidak, Nona. Selain kau pengusaha kaya raya kau juga selebritas, setiap beritamu menghasilkan pundi-pundi rupiah. Apalagi Zier Group adalah acuan pengusaha. Kau bahkan mampu membeli negara," jawab Bimo.

Aku terdiam, membayangkan aku akan mandi uang tiap harinya. Astaga, mengapa aku sangat serakah?

"Apa aku tidak memiliki jadwal?" kataku sambil memilah pakaian.

Bimo menggeleng, "Kosong, Nona."

Aku tersenyum mendengarnya, sembari mencocokkan pakaian di tubuhku aku bilang pada Bimo untuk memesan banyak makanan, aku berniat tobat seharian, maksudku berbagi pada sesama.

Aku memilah pakaian yang menurutku sangat cocok di tubuh kecilku. Aku bahkan langsung memakai satu setelan untuk melancarkan aksi berbagiku. Setidaknya aku harus terlihat rapih, itu impianku.

"Apa aku sombong?"
"Ah, tidak. Aku 'kan berniat berbagi, pakaian ini hanya untuk mempercantik."

Aku berbicara pada pantulan diriku di cermin, memutar tubuh karena melihat tampilanku.

Aku keluar dari kamar ganti, tersenyum lebar menatap Bimo agar dia menilai penampilanku. "Bagaimana?" tanyaku.

Bimo mengangguk dengan senyum, "Selalu nampak baik seperti biasanya," jawab Bimo.

Cup.

Lagi-lagi Debiru datang, dia memang datang lalu menciumku, baik di panggil atau tidak, intinya dia menciumku. Ya, seperti itu.

Aku ragu Bimo dapat melihat Debiru, selayaknya Debiru hanya di ciptakan untukku. Hanya aku yang dapat bicara dan melihatnya. Aku memicingkan mata, seakan paham Debiru hanya menggidikkan bahu.

"Kamu cantik, mau berpacaran denganku?" kata Debiru menawariku.

Aku menatap tajam, "Bermimpi, kau masih bocah kencur!" sarkasku tajam.

Bimo melirikku, aku hanya menatapnya dengan mengangkat alisku.

"Kau saja yang tua. Tapi, jika kau masih muda, aku ogah berpacaran denganmu." Debiru mengutarakan pendapatnya.

Aku menginjak kakinya. "Melantur."

Walau aku kerap tersenyum dengan kata atau aksi Debiru, jelas aku dapat mengakui bahwa aku adalah orang dewasa dengan perasaan remaja, aku mudah jatuh cinta. Dan aku dengan mudah mengakui kalau aku menyukai Debiru.

"Jangan pamer. Mentang-mentang baru kaya." Debiru mengeluarkan kata sindirannya, kata yang akan membuatku ingin menerkamnya.

Aku membereskan belanjaanku dan memberikannya pada Bimo. "Diam kau, sampah masyarakat." Aku juga mengeluarkan kata tajam yang kutunjukkan untuk Debiru.

Aku melayangkan belanjaanku hingga dapat menimpuk wajahnya dan membuatnya tersentak, aku terkekeh karena Debiru kesal di buatku.

Aku tersenyum melihat beberapa anak yang kehilangan ibu bapaknya, bahkan mereka juga tersenyum melihatku, apalagi bahagia karena mainan dan makanan yang aku bawa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tersenyum melihat beberapa anak yang kehilangan ibu bapaknya, bahkan mereka juga tersenyum melihatku, apalagi bahagia karena mainan dan makanan yang aku bawa. Aku baru merasakan kalau ini bahagia, dulu aku hanya melihatnya di handphone atau televisi.

"Hai," sapa Debiru sebelum akhirnya mendaratkan bibirnya pada pipiku membuatku memicingkan mata tak suka ke arahnya.

"Debu Biru, bisa tidak menggangguku?"

Debiru menggeleng, "Namaku itu Debiru, bukan Debu Biru," jawab Debiru menekan kata debu biru.

Aku menghela napas, "Aku mengarang, lagi pula cocok untukmu."

"Memang pas dengan namaku, tapi bukan itu."

Aku menatapnya, "Lalu?" tanyaku.

"Derian Bintang Rusen," jawab Debiru.

"Ah terlalu panjang, lagipula Debu Biru lebih cocok untukmu," kataku. Aku tersenyum simpul menatapnya. "Kau menghilang dengan jejak debu berwarna biru, lalu baumu seperti debu, mengganggu indra penciumanku." Aku sedikit menghinanya.

Debiru menatapku tajam. "Ini bau dari perjuangan!" katanya mempertegas.

Aku bergidik, mengalihkan perhatianku pada anak-anak di depanku. Aku mulai bangkit dari duduk dan bergabung ke tengah-tengah mereka, bermain mainan dengan anak-anak. Rasanya aku kembali menjadi anak yang baru remaja dan masih memainkan boneka.

"Aku rindu masa kecil," gumamku.

Seorang anak menyentuh pahaku, "Bahkan Kakak masih kecil dimataku, terlihat cocok juga dengan Kakak itu," kata seorang anak lelaki sambil menunjuk ke arah Debiru di belakangku.

Aku memicing, bertanya apakah anak itu bisa melihat Debiru? Jadi bukan aku satu-satunya, 'kan?

"Kau bisa?"

Terima kasih sudah membaca chapter 4, seperti biasa, mohon tinggalkan jejak agar cerita tetap berjalan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih sudah membaca chapter 4, seperti biasa, mohon tinggalkan jejak agar cerita tetap berjalan.

Sampai bertemu di part selanjutnya.

Debiru, Future in 2050Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang