Mengapa harus Debiru dari banyak manusia? Mungkin karena aku Ariana.
Perjalanan waktu menuju masa depan tak pernah Ariana harapkan, apalagi sampai dewasa tiba-tiba dan bertemu dengan Debu Biru.
Bagaimana bisa dia ada di sana? Dan sulit untuk kembali...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kau kemana saja?!" Aku bertanya dengan nada membentak.
Debiru meneguk es sirup dengan gaya angkuh. "Kau merindukanku? Tante?" tanya Debiru dengan nada menggoda.
Aku menimpuk wajahnya dengan bantal setelah Debiru menurunkan gelas ke meja. "Jangan ulangi panggilan itu, sangat menjijikan!" kataku mempertegas.
"Lagaknya, padahal tadi kau yang menyuruh," cibir Debiru.
Aku menghela napas. "Langsung intinya saja," kataku.
"Kemana saja selama ini? Sudah aku gosokkan tangan dengan iseng tapi hanya ada debu yang bertebaran," lanjutku.
Debiru meneguk es sirup lagi lalu menyentuh lehernya dengan lagak menikmati. "Ahhh." Debiru mendesah nikmat karena air berwarna itu berhasil lolos dari kerongkongannya. "Ini nikmat, tambah lagi, ya?" ujar Debiru.
Aku mendelik, "Ck," desisku. Bimo datang membawakan seteko air sirup yang sudah diseduh. "Bisa jawab pertanyaanku?" tanyaku lagi.
Debiru sibuk mengunyah, "Mulutku masih penuh," jawab Debiru dengan semburan biskuit yang keluar dari mulut.
"Jorok," sarkasku.
"Sirik," balas Debiru.
Debiru menepuk tangannya karena banyak remahan biskuit yang menempel. "Emang nanya apa?" tanya Debiru dengan wajah tanpa dosa.
"Kemana saja? Aku gosokkan tangan kau tetap tidak muncul?" tanyaku dengan menekan setiap katanya.
Debiru ber-oh ria. "Hanya tidak ingin datang. Pun, pengaruh tangannya sudah hilang. Dan lagipula aku sedang menambah ilmu teleportasi dengan semedi di gunung."
Aku menatap tajam kosong. "Seriuskah?" tanyaku.
"Kau tidak percaya? Buktinya orang-orang mampu melihatku. Artinya, semediku berjalan dengan baik," kata Debiru.
Aku mengangguk, "Ah, ya, sudah yang penting Debu Biru ada di sini," kataku.
Debiru mendelik, "Ah, aku ingin pergi lagi."
Aku langsung terkesiap dengan cengiran bodoh yang aku tunjukan. "Hanya bercanda. Masa, aku buat nama kesayangan kamu tidak suka," cibirku.
Debiru menyunggingkan bibir ke arah kiri, "Ah, rupanya nama kesayangan. Ya, sudah, boleh!" jawab Debiru dengan semangat.
"Tapi hari ini berubah menjadi julukan untuk musuh," kataku berhasil membuat Debiru mengerucutkan bibirnya.
"Oh iya," kata Debiru berhasil membuatku menoleh.
"Apa?"
"Mendekatlah padaku," titah Debiru yang anehnya malah membuatku menurut.
Aku mendekat kearahnya lalu duduk pada sofa di samping Debiru. "Hm?"
Cup Cup Cup Cup
Sebelum bibirnya melayang untuk kelima kali aku mendorong tubuh Debiru menjauh. Aku tidak menyangka akan dicium sebanyak ini, empat dan hampir lima kali.
"Mengapa pikiranmu sudah sedewasa itu?" Aku sedikit ketakutan saat membayangkan isi pikiran kotor Debiru dan tanpa sadar aku yang malah berpikiran kotor.
"Ariana, pembelajaran saat usia remaja itu wajar, apalagi di zaman sekarang. Kau juga yang otak dua belas tahun bisa paham," jawab Debiru malah memutarnya padaku.
"Eh? Tapikan aku ditubuh ini sudah dua puluh tiga tahun. Aku sudah legal. Dan, kita berbeda satu dekade," jawabku.
"Ariana, kita seumuran! Baik pada zaman kemarin atau sekarang! Kita berjodoh untuk masa depan! Kau hanya sedang mengalami suatu hal baru pada duniamu yang dulu dan yang ini!" Debiru mempertegas kata-katanya.
Aku mencoba mencerna, diam sesaat lalu merasa pusing karena kata-katanya yang tidak bisa aku pelankan.
"Ah, aku ingin makan. Perutku berbunyi sangat kencang. Dengar?" kata Debiru berhasil membuyarkan lamunanku.
Tanpa pikir panjang aku bangkit dan mengambil tasku, aku tarik lengan Debiru dengan pelan untuk keluar dari ruangan. Aku naiki lift hingga sampai pada bagian kantin dengan cepat. Aku memilah tempat makan dengan menyesuaikan seleraku hari ini. Aku pilih masakan Itali lalu duduk sambil menunggu pesanan.
Tidak banyak, bahkan tidak ada yang aku bicarakan dengan Debiru. Kami sama-sama diam. Entah aku saja yang berpikir atau dia juga. Kata-kata Debiru tadi masih berusaha aku cerna.
Beberapa menit hidangan yang aku pesan datang. Aku ambil alat makan dan melilitkan pasta pada garpu, kumasukkan ke dalam mulut, dan aku makan sampai habis sampai tersisa beberapa potongan dadu kecil dari daging. Lalu, aku beralih pada daging panggang berukuran sedang yang nampak nikmat.
"Kau bisa memakannya?" tanyaku pada Debiru.
Debiru mengangguk tanpa melihat ke arahku, terlalu fokus pada makanannya.
Aku jengkel, otakku berpikir terlalu keras. "Aku tidak tahan. Tolong jelaskan pelan-pelan, baik tentang aku, tahun ini, dan apa yang terjadi padaku di masa lalu!" titahku.
Debiru menaruh alat makannya pada piring, kulakukan hal yang sama. Bahkan ketika Debiru menghela napas aku juga ikut melakukannya.
"Kau koma, apa tidak terasa kau ditabrak mobil truk?"
Aku masih diam, masih tidak sanggup bersuara. Lidahku kelu untuk sesaat.
"Dan ini hanya dunia fantasimu. Artinya, otak dan pikiranmu yang membuatnya."
"Lalu kau juga buatan otakku?" Aku bertanya untuk memastikan.
Debiru menggeleng pasti, "Bukan. Aku hanya lelaki remaja dari masamu yang sukarela datang untuk menemani masa depannya yang adalah kamu."
Aku diam.
"Maksudku, aku sudah menetapkan kalau kamu jodohku dan akan tetap seperti itu. Maka kembalilah pada masamu."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kecepetan ga? Padahal baru part 9. Agak nangis karena otakku ngebug, sudah semacam Jung Jaehyun saja!
Ah, jangan lupa tinggalkan jejak pada part ini. Terima kasih juga karena sudah membaca. Dan, sampai bertemu pada part selanjutnya.