CHAPTER 10

7 1 0
                                    

Aku memilih tidak melihatku yang terbaring lemah ditahun 2038

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku memilih tidak melihatku yang terbaring lemah ditahun 2038. Tapi, Debiru memaksaku untuk melihatnya agar aku yang remaja bisa kembali hidup jika aku yang dewasa ingin kembali pada tubuhku.

Aku sampai pada lorong waktu yang Debiru tunjukkan. Debiru menggenggam lenganku pelan untuk mengajakku masuk kedalam ruangan berwarna biru gelap seperti luar angkasa. Sebelum aku melangkah aku menghela napas panjang, aku tidak tega melihat aku remaja terbaring lemah.

Aku memejamkan mataku sebentar lalu mengangguk mantap, aku ikut melangkah masuk kedalam. Beberapa langkah aku keluarkan hingga tanpa sadar ruangan putih berbau obat-obatan berada di depan mataku.

Aku dapat melihat Kakek diam dengan pandangan sendu karena menatapku terbaring lemah. Aku juga dapat melihat orang tuaku duduk di samping bankar. Sungguh aku merasa bersalah karena aku malah hidup bahagia di masa depan.

"Apa kau tidak ingin kembali, Ariana?" tanya Debiru memastikan.

Aku menggeleng dengan senyum kecut, "Tidak ada niat," jawabku tegas.

Aku melangkah pergi, tapi sebelumnya aku sempat tersenyum melihat keluargaku baru aku melangkah kembali pada lorong waktu.

Aku berlari sekuat tenaga menjauhi Debiru yang baru keluar dari lorong waktu. Aku berlari sejauh mungkin, entahlah aku dimana. Melewati padatnya kota hingga lama-kelamaan berubah menjadi pedesaan. Aku memegang lututku karena kelelahan, lalu mengatur napas yang memburu tak karuan.

Aku dapat melihat pertenakan dengan banyak hewan yang nampak indah dipandang. Aku sedikit terkesima seperti awal aku masuk ke tahun ini. Kupandang dengan senyum yang masih mengatur napas memburu. "Jika begini bagaimana aku ingin kembali?" tanyaku untuk diriku, aga menyeramkan tapi itu lumrah,'kan?

"Debiru, bukannya aku tidak merindu dengan keluargaku. Tapi, aku enggan kembali menjadi bocah yang selalu dimarahi, aku nyaman mandiri seperti ini."

"Walau aku kadang bosan menjadi dewasa. Pun, aku bebas memilih nantinya. Menjadi dewasa selama beberapa hari bukan masalah, 'kan? Tapi menjadi bocah remaja selama beberapa tahun itu hal yang berat."

"Masalah percintaan, belum lagi impian dan cita-cita. Apalagi sampai ada bumbu-bumbu rumah tangga." Aku masih berbicara sendiri tentang fakta diumur belasan yang sering terjadi. Sakit hati, keluarga yang berantakan, dan otak yang dipaksakan belajar.

Aku mulai melangkah pelan masuk kedalam pedesaan yang lumayan sunyi walau ada beberapa orang yang menjaga ternak dan bertani. Aku tersenyum saat mereka melihatku.

"Apa kau Ariana yang terkenal itu?" tanya salah seorang wanita paruh baya yang tubuhnya hampir membungkuk.

Aku mengangguk dengan senyum. "Bagaimana Nekek bisa mengenalku?" tanyaku spontan.

Nenek itu tersenyum senang, "Lihat postermu di sana," ujar sang Nenek sembari menunjuk poster yang melekat pada tiang.

"Ahh," gumamku mengerti maksud sang Nenek. "Aku juga ada di televisi, 'kan?" kataku bercanda. Sang Nenek mengangguk antusias dengan senyum manisnya.

"Aku tersesat, atau ingin jalan-jalan. Entahlah, intinya kakiku membawa aku kemari," ujarku menjelaskan karena paham akan tatapan Nenek yang heran.

"Ingin menginap?" tawar sang Nenek. Jelas aku mengangguk setuju. Aku berjalan mengikuti Nenek dari belakang. Beberapa orang menatapku dengan kagum dan senyum ramah. Pun, tidak diragukan ada beberapa orang seumuranku yang tatapannya tidak lepas dariku.

"Anak muda di sini malah terpesona denganmu. Lagipula rahasia cantikmu apa?" tanya sang Nenek penasaran.

Aku tersenyum kikuk, ku jawab, "Sama seperti rahasia cantik Nenek."

Sang Nenek tersenyum senang karena jawabanku memujinya. "Bagaimana kau tau aku muda seorang kembang desa?" tanya sang Nenek.

"Hanya menebak, lagipula mungkin aku pernah mengenalmu," jawabku.

Sang Nenek terkekeh, "Tidak mungkin, aku hanya pernah mengenal Ariana Queensha yang pemalas, bukan pekerja keras," jawab sang Nenek membuatku bungkam.

"Kau... Mengenalku?" tanyaku hampir terbata.

Nenek mengangguk pasti, "Bukankah kau cucu dari Zier?" tanya sang Nenek.

Aku langsung membuka mulutku sedikit karena terkejut dengan mata yang melebar. "Kau mengenal Kakekku?"

Nenek mengangguk dengan pasti, "Kau itu lupa apa bagaimana? Aku ini istri dari Mang Wage yang selalu kau banggakan."

Sungguh aku masih tidak menyangka. Bagaimana bisa Mang Wage masih ada di sini? Ah bukannya aku meragukan umurnya, tapikan...,

"Mang Wage? Astaga! Apakah dia masih ada?" ucapku dengan cepat tanpa jeda.

"Kau meragukan umur suamiku? Kau itu baru bertemu dengannya kemarin!"

"Aku baru tahu kalau Mang Wage ada di sini, kupikir dia tidak ada di dunia fantasiku," lirihku mungkin masih terdengar oleh Nenek.

"Jadi, apakah tetap ingin menginap?" tawar Nenek lagi.

Aku mengangguk setuju, dan tetap berjalan di samping Nenek sambil memapahnya agar aku tidak terlalu terkesan aku mengabaikan orang tua.

Rumah besar di tengah-tengah desa, dulu itu rumah tempat aku tinggal, rumah Bapak Zier Shalon yang selaku Kakekku. Aku memandang takjub rumah yang masih berdiri kokoh itu padahal sudah berlangsung satu dekade lebih satu tahun, 'kan?

"Nenek tinggal di rumah Kakekku?" tanyaku.

"Kau masih memanggilku Nenek sedangkan suamiku kau panggil 'Mang'? Bukankah kau kejam karena menghina aku ini tua," ujar Nenek tidak terima.

Aku menghela napas sejenak lalu aku tersenyum, "Baiklah, Mbak. Apa Mbak tinggal di rumah Kakekku?" benahku.

"Aku tinggal di belakang rumah ini sama seperti dulu. Rumah Pak Zier kosong, kadang ditempati saudaranya," jelas Nenek.

Aku memang masih memanggilnya Nenek, lebih cocok dengan perawakannya ketimbang 'Mbak' yang untuk orang yang terbilang tidak jauh umurnya.

"Kau ingin menginap dengan pemuda itu? Bukankah dia itu kekasihmu?" tanya Nenek sembari menunjuk orang dibelakangku. Kulihat seorang pemuda seumuranku yang rasanya tidak asing. Aku seperti mengalami dejavu saat melihatnya. Terlihat seperti Debiru dalam versi umur baruku.

Bukankah dunia ini membingungkan?

Terima kasih sudah membaca sampai chapter 10

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih sudah membaca sampai chapter 10. Terima kasih juga yang sudah meninggalkan jejak. Sampai bertemu pada part selanjutnya dengan beberapa kejutan.

Apakah cerita ini banyak mengandung plot twist? Maksudku kejutan yang tidak terduga pada alurnya. Tapi, menyenangkan hingga ingin membaca terus, 'kan?


Debiru, Future in 2050Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang