Mengapa harus Debiru dari banyak manusia? Mungkin karena aku Ariana.
Perjalanan waktu menuju masa depan tak pernah Ariana harapkan, apalagi sampai dewasa tiba-tiba dan bertemu dengan Debu Biru.
Bagaimana bisa dia ada di sana? Dan sulit untuk kembali...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku terduduk lesu pada hamparan rumput hijau luas di sekitar perkebunan, aku memandang Kakek yang berlalu lalang memberi perintah pada pekerja agar cepat.
Kakek memang tidak suka jika orang lambat dalam bekerja, apalagi melihat aku sebagai cucunya yang pemalas dan hanya bisa rebahan di atas rumput. Atau, aku yang malah cengengesan karena Mang Wage selalu mengejek ocehan Kakek.
Aku—Ariana Queensha—cucu kakek satu-satunya, jadi walau aku sangat pemalas, tetapi aku tetap disayang. Menyalahkan orang tuaku karena tidak memiliki anak lagi jadi aku adalah harapan Kakek satu-satunya, untuk melanjutkan usahanya atau lebih dari itu.
Aku masih berumur dua belas tahun, masih suka bermain lari-larian, atau membiarkan badanku terguyur derasnya hujan sambil bersemedi agar hujan bertambah deras. Aku masih bermain boneka, masak-masakan, atau rumah-rumaha—tentu dengan teman sebayaku walau Kakek kerap kali menyuruhku belajar agar pandai.
Kali ini aku hanya melihat Kakek yang memukul bokong Mang Wage dengan rotan, pukulannya pelan jadi mampu membuatku tertawa karena itu ganjaran mengejek Kakek.
Kakek orang yang disiplin. Mungkin, itu juga yang membuat kedua orang tuaku menitipkanku di rumah Kakek, tempat yang jauh dari kota.
"Kek!" panggilku.
Kakek menoleh, mengisyaratkan aku untuk mendekat. Aku menggeleng kuat, "Kakek yang samperin aku!" titahku.
Kakek menatap tajam ke arahku, "Siapa yang butuh?" sarkasnya dengan tegas.
Aku menghela napas, membiarkan bokongku bangkit dari posisi nyaman dan mendekat ke arah Kakek yang sedang memberi intrupsi pada pekerjanya agar cepat karena senja akan tiba.
"Main, sebentar aja. Ke rumah Sinta," kataku meminta dengan penuh harap.
"Udah mau senja." Kakek menjawab.
Aku menghela napas, "Bentar, lewat belakang. Mau ngambil buku pelajaran," kataku dengan jurus andalan.
Kakek mengangguk sempurna hingga kakiku berlari sekuat tenaga dengan wajah gembira walau mendengar teriakan Kakek agar aku cepat sampai rumah.
Aku mengatur napasku, memegangi lutut. Rumah Sinta sudah terlihat oleh mataku, padahal aku datang untuk memamerkan kalung baru yang Papa berikan untukku, tidak ada hubungannya dengan buku.
Aku terkesima melihat cahaya yang sejajar dengan matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat, cahaya cantik senja yang sejajar dengan kilauan putih berbentuk lingkaran. Mataku masih memandang takjub, kakiku mulai melangkah mendekat tanpa berpikiran yang macam-macam—aku berhasil menerobos lingkaran itu, menutup mataku karena aku malah melihat mentari berbalik arah, tenggelam di ufuk timur melewati kepalaku, rasanya sangat dekat hingga hampir membuatku merunduk saking takutnya, lalu semuanya berubah hitam dengan mataku yang memilih terpejam.
Seperkian jam aku berhasil membuka mataku. Namun, rasa aneh menjalar dalam tubuhku. Asing, tempat yang sangat asing untuk mataku.
Rasanya tadi aku berada di pedesaan, berlari ke rumah Sinta sambil melihat senja–Ah, aku lupa bahwa aku menembus cahaya putih yang entah apa. Lalu aku berakhir di tempat ini, begitu saja?
Mungkin aku akan pingsan. Bayangkan, melihat kendaraan mampu terbang melintasi gedung-gedung pencakar langit yang sekarang tingginya melebihi gunung-gunung, bisa terlihat bahwa semua gedung menembus awan hingga rasanya ini adalah ketidakmungkinan.
Apalagi, gadis berumur dua belas tahun sepertiku malah berakhir di tempat, yang ... entahlah ini apa.
Aku mengusap wajahku frustasi, memandangi tanganku yang sepertinya membesar sempurna. Bukan, bukan bertambah berat badan atau melebar ke mana-mana. Aku, mendadak dewasa!
Kulihat pantulan diriku di kaca sebuah toko, terlihat mata cantik dengan bulu mata melentik, hidung mungil dan bibir tipis, rambut yang rapih dan wajah yang nampak rupawan, ini bukan aku–ah, mungkin aku versi dewasa. Lagipula, ini masih pakaian yang sama yang aku pakai tadi sore.
Aku menengadahkan kepalaku ke langit, pagi ini terik. Iya, ini pagi! Aku teleportasi kemana? Lagipula ini bukan cerita fantasi yang bisa membawaku ke dunia halusinasi.
Mungkin, ini awal fantasiku menuju tahun 2050. Iya, aku melihat tanggal hari ini pada iklan yang di pasang di gedung tinggi. Tertulis, 06 Mei 2050.
Aku memijat pelipisku, tersenyum bodoh sambil menatap pantulan diri lalu menjatuhkan tubuh dengan mata yang menatap sayu.
"Kamu, gila!" makiku untuk diriku, biar saja orang-orang menatapku. Lagipula memang aku gelandangan yang tersasar di negeri dongeng.
Doraemon, tolong aku! Bawa alat ajaibmu ke mari!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lebih dari cukup untuk bagian 1, 'kan?
Anggap ini prolog.
Ada Debiru dan Ariana versi dewasa dengan ceritanya di tahun 2050 menunggu kalian untuk membaca dan tidak melewatkan kisah ini.
Salam kenal dari author, bisa cari author di instagram @kshlnra_
Biar akrab, bisa panggil Kasih.
See you next part.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.