Aku mulai menjalani hari baru. Kini, aku bukan Ariana pemalas yang tidak memiliki kerjaan selain menonton yang dikerjakan orang, melainkan aku mulai bekerja pada kantor milikku. Walau pengetahuanku rendah, setidaknya aku banyak menonton film pengusaha. Jadi, sedikit mudah untukku jika di suruh menerapkannya.
Aku bangun pagi di sini, biasanya aku sangat anti untuk terbangun sebelum ayam bergeming. Tapi, kini saat matahari masih malu-malu menampakkan wujudnya aku harus sudah siap karena harus menyantap sarapan.
Beberapa pengawalku hanya menatap heran, cara makanku beda dari biasanya. Katanya aku memakan dengan garpu dan pisau, kini aku hanya memakai tangan saja. Cukup berbeda katanya.
"Nona, kau yakin mampu bekerja?" tanya salah seorang pengawal yang sepertinya kepercayaanku pada dunia yang sekarang.
Aku mengangguk ragu, "Setidaknya aku coba," kataku menjawab pertanyaannya.
"Tapi, bisakah aku datang lebih siang? Kau tau? Aku masih mengantuk akibat semalam," kataku menawar.
Jujur saja saat Debiru datang tiba-tiba tanpa aku minta dan langsung mendaratkan bibir mungilnya pada pipiku membuatku hampir tidak bisa tidur semalaman. Debiru banyak bicara, tepatnya dia banyak mengatakan hal yang tidak jelas. Aku tahu, Debiru masih kecil, pantas jika dia banyak bicara, lagaknya seperti seorang adik, sayang saja aku tidak punya. Tapi, jika aku punya adik seperti Debiru aku akan memasukkannya lagi pada rahim ibu.
"Aku masih mengantuk karena sulit tidur semalaman," ujarku lagi berharap ada pengertian dari pengawalku.
"Terserah saja, Nona. Lagipula kau pimpinannya, aku hanya menyarankan saja," jawab pengawalku.
"Kau bisa pergi, aku terbiasa makan tanpa ditemani," kataku menyuruhnya menghindar. Cukup risih jika mulut terbuka menjadi tontonan untuk orang lain.
Aku ingat kata Bimo selaku pengawalku yang tadi kusuruh pergi. Dia bilang aku mengalami kecelakaan karena tertabrak kendaraan yang baru ingin terbang. Katanya aku sedikit pelupa belakangan, hilang dari rumah hingga mengharuskannya mencari.
Mungkin, aku yang sekarang mengalami hal yang bersamaan dengan aku yang kemarin. Tapi, aku di tahun 2050 tertabrak dua hari lalu, sedangkan aku di tahun itu tertabrak satu hari yang lalu. Jadi, aku yang pingsan selama satu hari penuh, atau aku yang kehilangan jati diri karena menunggu aku yang lain tidak ada?
Ah, membingungkan.
"Hey," panggil Debiru, suaranya kuingat betul. Tertulis jelas di memoriku sebagai suara orang gila yang akan menciumku.
Cup.
Benar kataku, Debiru langsung mendaratkan bibirnya pada pipiku.
"Sopan sedikit, bisa?" kataku malas. "Aku sedang makan, akan muntah rasanya jika dicium denganmu yang bau makam," sarkasku tajam.
Debiru melotot. "Aku belum meninggal! Kau yang tidak ada," jawab Debiru sedikit marah.
Aku memicingkan mata, bertanya apa maksud kata-katanya. "Apa maksud?" tanyaku.
"Kau tidak hidup pada dunia lamamu," jawab Debiru dengan raut ragu.
Aku masih belum bergeming. "Aku tidak–"
"Nona," panggil Bimo. Aku menghentikkan percakapanku dengan Debiru dan beralih menyahuti Bimo.
"Iya?"
"Tiba-tiba kau di minta untuk datang." Aku mengangguk, bangkit dari dudukku dan bersiap pergi meninggalkan Debiru yang rasanya akan menghilang lagi.
Aku di tahun 2038, terhitung masih berumur dua belas tahun. Aku yang masih gemar bermain apalagi gembira ketika hujan turun. Kini, aku di tahun 2050 harus berteduh karena hujan yang mengguyur.
Kupikir karena aku pimpinan aku akan bebas melakukannya. Jujur ini membosankan, aku ingin berlari dan menari! Aku ingin basah karena air dari bumi. Sayang sekali, aku malah berakhir di tengah-tengah ini.
"Semoga kau baik-baik saja, Bu. Kudengar kau mengalami kecelakaan beberapa hari lalu." Seseorang bicara padaku saat rapat sudah selesai.
Aku tersenyum simpul. "Aku baik-baik saja, tapi batinku meronta. Ingin sekali pergi menari di sana," jawabku sambil menatap air yang berjatuhan dari posisiku di dalam ruangan.
Dia tersenyum lalu pergi meninggalkanku. Aku tersirat ide, menekan nomor satu pada telepon berkabel, kubilang, "Bimo, bawakan aku baju ganti. Aku ingin pergi," kataku pada Bimo.
Aku bergegas menuju lift untuk turun menuju lantai dasar. Saat tiba aku langsung berlari ke luar dari lobi. Aku mulai menari di tengah-tengah hujan,merentangkan tangan sambil berputar-putar. Rasanya aku kembali padaku yang berumur dua belas tahun, bukan aku yang berumur dua puluh tiga tahun.
Kini kutau, saat aku ingin merasakan menjadi orang dewasa yang sibuk, aku malah menyesal karena meminta itu. Aku merindukan masa kecilku, menyesal jadi dewasa karena waktu bahagiaku tidak banyak, tergantikan dengan kesibukan yang tidak ada habisnya.
Aku merasakan aku menjadi bocah, tubuhku sama seperti sebelumnya. Aku bahagia karena mulai melihat Kakek yang menatapku datar. Aku juga melihat Mang Wage yang menyorakiku saat hujan-hujanan.
"Kek! Riana rindu!" teriakku nyaring. Rasanya aku akan memeluk Kakek saat itu. Lihat saja, langkahku mulai mendekat ke arah Kakek, aku merentangkan tanganku dan memeluknya.
Cup.
"Jangan bermimpi, Ariana." Debiru berhasil membuyarkan keinginanku.
Aku hanya halusinasi,
membayangkan aku kembali.
Nyatanya, aku masih di sini.Ku pikir ini akan baik-baik saja,
Tapi aku mulai merindukan semua.
Segala hari-hariku di sana.Aku, Ariana Queensha ingin pergi dari sini.
"Nona, ayo beli pakaian."
Finish chapter 3.
Terima kasih sudah membaca, dan jejak sangat berguna baik untuk saya maupun kalian.
Sampai bertemu di part selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Debiru, Future in 2050
FantasyMengapa harus Debiru dari banyak manusia? Mungkin karena aku Ariana. Perjalanan waktu menuju masa depan tak pernah Ariana harapkan, apalagi sampai dewasa tiba-tiba dan bertemu dengan Debu Biru. Bagaimana bisa dia ada di sana? Dan sulit untuk kembali...