17. Yang Kusebut Istri

6.3K 491 117
                                    

Bujukan Ibu Mertuanya yang memintanya untuk tinggal masih terekam jelas di ingatan. Sikap hangat keluarga ini saat menyambut kedatangannya pun masih meninggalkan jejak hangat di hati. Tapi lagi-lagi, Ammara sadar posisi. Berada satu tempat tinggal dengan istri pertama suaminya bukanlah solusi yang tepat.

Semua orang yang ada di ruang tamu ini seolah kompak, tidak ada satu pun yang mencegah keputusannya, selain Shabira yang terus merengek karena tidak ingin pisah dengan Ansel.

Ammara mencoba berbesar hati. Membenarkan letak gendongan Ansel dan mendekapnya erat seraya melangkah keluar dari kediaman keluarga besar Hestamma. Sebisa mungkin ia menjaga Ansel agar tetap terlelap selagi ia harus menyetir.

"Besok aku antar pulang ke Malang. Untuk malam ini kamu nginap dulu di hotel. Ayo, aku antar!"

Ammara tidak perlu meragukan tanggung jawab dari seorang Hestamma, yang sempat membuatnya kecewa karena sikap diamnya. Toh pada kenyataannya, lelaki inilah yang selalu jadi malaikat untuknya dan Ansel.

"Aku bisa sendiri kok, Mas. Jangan pikirkan aku. Aku nggak mau ...."

Tamma memegang pundaknya, menggiring langkah mereka menuju mobil. "Kamu pengin urusanku mudah, cukup diam dan jangan ngebantah. Ayo, masuk!"

Perempuan mana yang tidak akan bahagia bila memiliki pasangan yang begitu baik. Ammara tidak merasa asing, sikap gantleman lelaki ini sudah terbentuk dari usia masih sangat muda, saat pertama kali mereka kenal belasan tahun yang lalu. Alasan itu yang membuat Ammara nyaman berada di sisi Tamma dan pertemanan mereka bisa langgeng hingga ke jenjang yang lebih serius.

Tamma memilih hotel yang tidak jauh dari rumah Ibunya. Setelah memarkir mobilnya di baseman, lelaki itu membukakan pintu dan membantunya turun. Ammara menarik kain jarit untuk menutupi tubuh mungil Ansel agar lebih hangat, sambil mengamati Tamma yang mengambil tas miliknya dari bagasi. Lantas mereka berjalan beriringan memasuki ballroom hotel.

Ammara duduk di ruang tunggu saat suaminya sedang melakukan reservasi kamar. Hatinya bagai tergores benda tajam saat memandangi wajah terlelap Ansel yang damai dan tanpa dosa. Air matanya sudah nyaris tumpah. Peristiwa sesaat lalu rupanya masih menjadi ganjalan di hatinya. Demi Tuhan, Ammara tidak pernah meminta ditakdirkan dengan posisi seperti sekarang. Ia memiliki jiwa empati yang tinggi terhadap sesama perempuan.

"Besok kita ambil perjalanan pagi setelah subuh, Ra ... biar nggak macet." Tamma meletakkan tas berisi peralatan kebutuhan Ansel di atas meja nakas. Membantunya melepas gendongan dan merebahkan Ansel di ranjang. Ammara bergerak lincah membuka Cooler Bag Asi dan menuangkan isinya ke dalam botol. Jikalau sewaktu-waktu Ansel bangun bisa segera diminumkan.

"Tumben banget Ansel tidurnya nyenyak gini." Tamma berbisik sembari mengecup kening bayi itu.

"Jangan bilang tumben ih, entar tiba-tiba bangun!" cicit Ammara lirih.

Tamma terkekeh tanpa suara. Tatapannya masih tertuju pada bayi yang tengah terlelap. "Papi tinggal dulu ya, Dek. Jangan rewel ya. Bangun besok pagi aja."

"Mas, kalau kamu masih pengin di rumah Ibu, aku bisa pulang sendiri kok besok. Nggak usah diantar, nanti kamu repot."

Lelaki itu menatapnya. "Nggak repot."

"Tadi buktinya bisa sampai Surabaya sendiri. Beneran, Ansel nggak rewel ...." Ammara mendengus. Tamma sudah lebih dulu pergi sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.
.
.
.
"Mbak, Din. Ditunggu Ibu makan malam dulu, Mbak."

Ini sudah yang ketiga kali Adik Iparnya memintanya turun untuk makan malam, mereka memanggil secara bergantian. Tapi Diyana memilih untuk menutup telinga dan matanya. Ini memang terkesan kekanakan, setelah tadi Diyana sengaja mengabaikan sapaan perempuan itu, ia tidak mau kedapatan mata dan pipinya bengkak karena menangis. Diyana tidak ingin terlihat rapuh di depan semua orang terlebih penghuni rumah ini. Mereka tidak pernah paham rasanya menjadi korban poligami jika tidak terjun langsung di dalamnya. Buktinya, keluarga ini dengan sangat mudah menerima istri kedua Tamma, sementara Diyana harus menempuh banyak drama untuk menjadi istri yang legawa. Dan itu sangat tidak mudah.

"Nduk, Din ... ayo makan dulu. Tadi di jalan pasti nggak sempat makan." Itu suara Ibu Mertuanya. Diyana semakin yakin jika kedatangan kemari sudah merusak suasana. Ibu dan adik-adik Tamma pasti merasa bersalah.

"Aku nggak makan malam, Bu. Aku mau tidur aja. Capek banget," sahut Diyana pada akhirnya.

Diyana masih mengingat saat awal menjadi menantu keluarga ini, saat pertama masuk ke kamar Tamma setelah akad. Berulang kali wanita paruh baya itu meminta maaf atas kealpaannya memindah foto-foto Tamma dengan perempuan itu dari kamar ini. Meski Diyana tidak masalah karena saat itu perasaannya pada Tamma masih ambigu. Selain Tamma tidak seperti laki-laki yang belum bisa move on dari masa lalunya, Tamma juga tampak tidak terusik saat benda yang menjadi memorinya dengan mantan harus dipindah ke gudang.

Pintu kamar dibuka dan ditutup pelan. Diyana mendengar pergerakan Tamma yang masuk ke dalam kamar mandi. Untung saja ia sudah mengatur lampu nakas, sehingga sangat kecil kemungkinan ketahuan aksinya pura-pura tidur.

Tamma keluar dari kamar mandi dan langsung bergabung dalam satu selimut. Aroma maskulin segera menguar saat lelaki itu memeluknya dari belakang.

"Bangun, Din. Sebentar saja!" bisikan Tamma di telinganya membuat Diyana langsung waspada. Antisipasi dan debar jantung berkejaran. Tangan Tamma sudah masuk ke dalam piyamanya dan meremas semua yang bisa dijangkau. Lalu semua terjadi dengan cepat.

Bisa memadu kasih dengan orang yang kita ingini, rasanya sangat luar biasa, tidak perlu ada diksi yang indah untuk menggambarkan. Cinta dan hasrat, yang bercampur dengan kecewa dan amarah yang terpendam, lebur bersama badai yang keduanya ciptakan.

Senapas Tiga Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang