Ammara memarkir Honda Jazznya di pelataran rumah yang sangat luas. Sejenak, perempuan berambut sebahu itu mengamati bangunan rumah bergaya mewah kuno berdiri menjulang dengan gagah di depan sana. Untuk yang pertama kalinya Ammara menginjakkan kakinya di rumah ini setelah hampir 1 tahun menjadi Nyonya Hestamma. Ingatannya segera mundur dan terlempar ke masa silam, lima belas tahun yang lalu.
Tidak banyak yang berubah dari rumah yang dulu sering menjadi tempat singgahnya yang kedua, yang hampir setiap hari ia kunjungi sepulang sekolah. Mungkin pohon palem di sepanjang halaman rumah yang semakin banyak jumlahnya membuat suasana di sini tampak beda. Ammara lantas keluar dari mobilnya membawa desiran darah beserta detak jantung abnormal. Tamma yang menikahinya tanpa mengantongi restu orang tua berdampak ketidaknyamanan pada posisi Ammara sebagai menantu dari Ibu Mertuanya.
Perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu membiarkan bayinya yang terlelap di jok samping kemudi, sementara ia mengeluarkan keranjang berisi tiga menu masakan yang ia olah menggunakan tangannya sendiri, oleh-oleh khas Malang dan beberapa macam koleksi tanaman yang ia budidaya dan perbanyak.
Seseorang tampak tergopoh-gopoh menghampirinya, mengambil alih keranjang berukuran besar tersebut. Syukurlah, menggendong Ansel yang sedang tidur dengan menenteng barang bawaan membuat Ammara cukup kerepotan.
"Terimakasih, Mbak." Ujar Ammara pada perempuan berstatus asisten rumah tangga itu.
"Sama-sama, Ibu. Mari, silakan masuk!"
Berbulan-bulan Ammara telah menyiapkan mental untuk segala resiko berkunjung kemari. Dimaki-maki, sumpah serapah dan segala macamnya. Ammara sangat tahu diri, sehingga ia akan menerima dengan lapang dada segala resiko tersebut. Tapi ternyata dugaannya salah. Meskipun bukan senyum lebar, tapi Adik Ipar beserta Ibu Mertuanya sangat mengerti bagaimana cara menghormati tamu.
"Ini semua yang masak Mbak Mara sendiri?" Ganis, adik Tamma yang paling bungsu menanyakan perihal masakan yang ia olah khusus, tiga menu seafood yang menjadi makanan favorit. Bertahun-tahun menjalin hubungan dekat dengan Tamma membuat Ammara paham segala hal tentang keluarga ini.
"Mbak Mara memang masakin khusus buat Ganis. Kan Ganis suka banget sama Cumi Udang Lada Hitam." Ammara masih saja menganggap Ganis bocah delapan tahun yang memintanya menemani bermain boneka dan akan menangis kencang saat ia pamit pulang karena sudah terlalu larut. Bocah itu kini telah menjelma menjadi gadis dewasa yang matang.
"Semua anak Ibu suka sama seafood, Mbak. Musti aku jadiin status nih biar Mbak Lia sama Mbak Laras ngiler. Bentar, HPku mana ya ...."
Ganis baru saja menyebutkan nama kedua adik Tamma yang lain. Usia Lia dua tahun di bawah Ammara dan Laras dua tahun di bawahnya lagi.
Ammara terpaku dengan pigura berukuran besar yang terpajang di tembok. Sebuah gambar yang sangat menarik, hal pertama yang akan menjadi fokus seseorang ketika memasuki ruang tamu ini. Gambar yang sempurna karena menampilkan sepasang suami istri yang serasi.
"Kamu tadi ke sini atas kemauan sendiri apa dikasih tahu Tamma kalau Ibu baru saja jatuh?"
Ammara kembali fokus pada wanita paruh baya yang duduk di sebelahnya. "Sendiri, Bu. Mas Tamma aja nggak tahu kalau Mara ke sini. Sudah dari kemarin-kemarin pengin main, tapi baru bisa kesampaian sekarang."
Jarak tempuh antara Malang-Surabaya cukup satu setengah jam, tapi keberadaan Ansel menjadi pertimbangan tersendiri. Ia tidak mau terjebak berdua dengan Ansel yang rewel karena perjalanan jauh.
"Ibu cuma nggak tega sama Ansel. Kenapa kamu nggak pakai pengasuh? Kan enak kalau ada pengasuh, kamu nyetirnya juga tenang, sewaktu-waktu Ansel rewel di jalan."
"Pengasuh Ansel yang Mara berhentiin kemarin kacau banget, Bu."
"Kacau gimana?"
"Nggak telaten sama Ansel. Bubur yang Mara bikin buat Ansel dibuang, Bu. Kelakuannya ketangkap basah ART yang lain. Bobot Ansel jadi di bawah standar. Dari situ Mara agak trauma."
Ibu Mertuanya terlihat kaget dan prihatin setelah mendengar informasi tersebut. "Oalah, kok apes banget. Nanti Ibu carikan yang amanah. Di sini banyak perempuan baik-baik butuh kerjaan."
Tidak heran bila chemistry antara Ammara dengan wanita ini masih terasa kental, karena dulu keduanya sangat dekat. Ammara sudah dianggap anak sendiri oleh kedua orang tua Tamma sebelum musibah yang menimpa Ayahnya membuat hubungan baik itu harus berakhir.
"Mas Tamma paling bentar lagi sampai, Mbak. Katanya dia nggak balik ke rumah, dari sekolah Shabira langsung otw ke Surabaya. Kayaknya Mas Tamma nggak tahu kalau Mbak Ammara di sini."
Ammara justru berharap Tamma tidak mengetahui kunjungannya di rumah ini. Sudah cukup ia membebani lelaki itu dengan kehadirannya yang mungkin belum diterima 100% oleh keluarganya.
"Shabira besok sekolah kok malah diajak ke sini? Apa nggak repot?"
"Nggak tahu. Tadi bilangnya cuma Mas Tamma otw ke sini sama Shabira. Kayaknya cuma sama Shabira aja. Kalau nggak weekend Mbak Diyana mana mau diajak ke sini, Bu. Dia kan sibuk."
Mendengar nama perempuan itu disebut, tubuh Ammara seketika menegang. Bersamaan itu pula, terdengar suara mesin mobil dari luar rumah. Dan beberapa menit kemudian teriakan salam yang nyaring segera memenuhi ruangan ini.
"Loh, kok ada Tante Ammara?" Bukannya menyambut uluran tangan Neneknya, Shabira justru berbelok arah mendekati Ammara yang tengah memangku Ansel. "Ini baby boynya, Tante? Lucu banget!" pekiknya antusias.
"Kalau sudah ada baby boy, lupa ya sama Mbah Putri, Cah Ayu!"
Ganis mendekat dan mengambil alih Ansel dari gendongannya. Katanya mau diajak lihat burung lovebird bersama Shabira. Terdengar dari dalam saat bocah itu berulang kali meminta izin pada neneknya untuk menggendong Ansel, tapi selalu dilarang karena takut jatuh. Membuat Ammara tersenyum kecil dihujani kehangatan.
"Sudah lama?"
Ammara menoleh. Di sebelahnya sudah ada Tamma masih mengenakan kemeja kerja dengan dua kancing teratas sudah terbuka dan lengannya digulung sampai siku. Ammara mengerutkan kening, Tamma sedikit berantakan kali ini, atau hanya perasaannya saja?
"Mas, sori ... aku nggak izin. Aku pikir, kapan lagi ke sini kalau ditunda-tunda terus." Ammara segera merengkuh telapak tangan lelaki itu dan menciumnya.
"Tadi di jalan Ansel nggak rewel?"
"Rewel bentar, setelah minum susu terus tidur lagi sampai Surabaya dia baru bangun."
"Di mana dia sekarang?"
"Sama Ganis di belakang. Shabira pengin gendong Ansel, tapi sama Ibu dilarang." Ammara berharap informasi lucu barusan bisa mengubah ekspresi Tamma yang suram menjadi lebih baik. Tapi nyatanya lelaki itu hanya meresponnya dengan anggukan dan langsung menuju ke belakang rumah. Ammara semakin yakin jika lelaki itu sedang dalam masalah.
"Nginap aja, pulang besok pagi." Ujar Ibu Mertuanya untuk yang kesekian kali. Ammara akhirnya menurut, karena ia tidak mungkin melakukan perjalanan jauh di malam hari dengan membawa bayi.
"Sebenarnya Mara nggak berniat nginap, Bu. Tadi juga nggak sempat bawa baju ganti."
"Gampang. Pakai punya Ganis. Daster Ibu banyak yang baru bisa kamu pakai."
Baiklah, Ammara tidak lagi punya alasan untuk menolak. Terlebih suaminya sendiri juga memintanya tinggal. Tapi yang terjadi berikutnya benar-benar di luar dugaan. Kehadiran seorang perempuan yang langsung menciptakan suasana tegang di ruangan ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senapas Tiga Cinta (TAMAT)
RomanceDiyana tahu lelaki yang dijodohkan oleh Ibunya sudah memiliki seorang kekasih. Meski begitu Diyana tidak pernah menolak. Karena setelah mereka menikah, tidak susah membuat Tamma jatuh cinta padanya. Sepuluh tahun rumah tangga yang dijalani sangat ba...