"Hoseok-ah."
"Ya, Hyung?"
"Kau melamun?"
Hoseok tersenyum lalu menggeleng guna menjawab pertanyaan Seokjin.
"Aku tidak melamun, Hyung. Hanya saja, aku berpikir, kenapa aku bisa menciptakan sosok Jhope dalam hidupku?"
"Hoseok-ah. Maafkan, Hyung yaa.."
"Kenapa Hyung minta maaf?"
"Hyung, gagal menjagamu dengan Jimin dari kekangan Ayah. Seharusnya, kau juga menjalani sesuatu yang kau inginkan. Tapi, karena Ayah.."
"Hyung sudah.. Jangan mengungkit lagi masalah itu."
"Hyung hanya merasa bersalah padamu, Hoseok-ah."
"Tidak ada yang aku salahkan dalam hal ini, Hyung. Jadi, jangan seperti ini lagi. Ini menyakitiku."
Seokjin langsung memeluk Hoseok saat itu juga. Menggumamkan kata maaf berkali kali, membuat Hoseok harus mengusap punggung Seokjin untuk menenangkan Seokjin. Seokjin, adalah kakak yang terbaik bagi Hoseok. Hoseok bahkan tidak mengerti kenapa Seokjin selalu merasa bersalah pada dirinya. Padahal, jika dibanding dirinya, Seokjin lebih terkekang menurut Hoseok. Seokjin bahkan rela menyelami dunia kedokteran yang saat itu Seokjin sangat takut pada darah sama seperti dirinya.
Tapi, karena sang ayah yang memaksa, Seokjin harus bisa menghilangkan traumanya terhadap darah. Dan Hoseok tahu, itu sulit untuk Seokjin. Hoseok bahkan sering melihat Seokjin yang berkeringat dingin dengan wajah pucat ketika pulang kerumah setelah praktek di Universitasnya. Tentu saja prakteknya yang berhubungan dengan darah. Namun, Seokjin selalu bisa menutupi itu semua. Hoseok semakin merasa bersalah pada Seokjin karena menurutnya, Seokjin mungkin sudah bisa mencapai apa yang menjadi cita-citanya, jika saja Hoseok yang memaksakan diri untuk melawan traumanya pada darah.
"Terimakasih, Hyung. Sudah menjadi salah satu penguatku. Maaf, kalau suatu saat nanti, sosok Jhope mungkin akan membuatmu pusing."
Seokjin terkekeh lalu ia melepaskan tautan diantara mereka.
"Untuk sekarang, kau tidak perlu merasa terbebani oleh Jhope. Biarkan dia membantumu. Tapi aku harap, kau juga jangan terlalu keasikan dengan sosoknya yang bisa melakukan apa yang kau ingin lakukan selama ini."
Hoseok mengangguk lalu tersenyum.
"Ya sudah. Istirahatlah. Aku akan keluar sebentar bersama Jimin."
Hoseok menautkan kedua alisnya.
"Hanya berjalan-jalan mencari angin. Sudah lama juga, aku tidak jalan berdua dengan anak itu. Tidak masalah, kan?"
"Tidak sama sekali. Aku senang, kalau akhirnya Hyung mau menerima Jimin. Terima kasih, hyung."
"Hyung berangkat dulu."
"Nee, hati hati. Salam untuk Jimin ya, Hyung."
Seokjin mengangguk lalu meninggalkan kamar Hoseok.
-EGO-
Seokjin hanya bisa menggelengkan kepalanya saat tangannya ditarik kesana kemari oleh sang adik, Jimin.
"Hyung! Lihat! Ini bagus tidak untuk Hoseok hyung?" Tanya Jimin seraya memperlihatkan mantel yang menelan tubuhnya karena kebesaran.
"Bagus." Ucap Seokjin dengan kekehannya. Ia mengusak rambut Jimin gemas.
"Aku akan memberikan kado ini saja untuk Hoseok hyung." Final Jimin.
"Kado lagi? Topi dan tas tadi? Bukannya untuk hadiah Hoseok juga?"