Dengan lunglai Revika berjalan masuk ke halaman rumahnya. Wajahnya terlihat lelah dengan bahu yang terkulai ke bawah seolah ia sedang memikul sebuah beban yang berat. Ia menghembuskan nafasnya sejenak lalu membuka pintu rumahnya. Raut wajahnya berubah dingin saat ia melihat sang Bunda yang sedang bermesraan dengan selingkuhannya. Saat ini Ayahnya masih berada di kantor jadi wajar kalau mereka bebas melakukan apapun di sini. Sadar dengan tatapan dingin namun menusuk yang tertuju padanya, Shera—Bunda nya Revika—langsung mengalihkan tatapannya ke arah putri sematawayang nya tersebut.
"Ngapain kamu natapin Bunda kayak gitu?! Masuk ke kamarmu sana! Ngerusak pemandangan aja!" ujar Shera sinis. Revika mengepalkan tangannya erat. Giginya bergemelutuk kesal dengan rahang yang mengeras.
"Ini rumah aku Bunda! Ayah nyerahin rumah ini buat aku, jadi terserah aku mau ngapain! Kalo Bunda ngga suka ngeliat aku di sini, mendingan Bunda keluar!!" seru Revika kesal. Sungguh! Ia lelah sekarang! Tidak bisakah mereka membiarkannya beristirahat sejenak?! Ah, itu terdengar mustahil karena jawabannya pasti tidak. Shera mengepalkan tangannya. Wajahnya memerah menahan amarah lalu ia pun beranjak dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Revika.
"Kamu!!"
'PLAK!'
"Dasar anak kurang ajar!! Mulut kamu itu di jaga! Ayah sama anak sama aja! Bunda nggak nyangka kamu bakalan tumbuh jadi anak kurang ajar seperti ini!! Mana putri Bunda yang manis dan penurut kayak dulu?!" serunya marah. Revika menggigit bibir bawahnya yang mengeluarkan cairan kental berwarna merah karena tamparan Bundanya tadi. Kuku-kuku panjang darinya membuat sudut bibir Revika sedikit robek. Ia mendelik marah ke arah Shera.
"Udah mati Bunda!! Putri Bunda yang dulu udah mati! Bunda yang bunuh dia! Bunda yang nyiksa dia sampe dia kayak gini!!" teriak Revika marah. Mendengar teriakan dari ruang tamu membuat beberapa pembantu rumah itu keluar. Mereka menatap khawatir ke arah Revika yang berdarah.
Shera berdecih kesal. Dengan cepat, ia menjambak rambut Revika. Membuat sang empunya rambut meringis kesakitan. Selingkuhan dari Shera hanya diam menatap mereka. Tatapannya terlihat terhibur seolah apa yang terjadi di depannya saat ini adalah sebuah hiburan yang menarik. Ia meminum tehnya dan tersenyum tipis. Melihat itu, Revika menggeram marah.
"Laki-laki bangsat! Gara-gara lo keluarga gue hancur!" teriaknya ke arah pria itu. Shera semakin mengeraskan tarikannya terhadap rambut Revika.
"Diam kamu!! Ato Bunda akan-"
"Akan apa?"
Shera diam dan langsung menatap ke arah asal suara. Rama—Ayahnya Revika—berdiri dengan raut dingin. Ia menyentakkan tangan Shera lalu memeluk Revika erat.
"Sebaiknya kau pergi dari rumah ini. Besok, perceraian kita akan di sidang." ujarnya datar.
"Oke, aku juga udah muak ada di sini."
Shera menarik selingkuhannya keluar dari rumah tersebut. Meninggalkan Revika dan Rama yang terdiam. Perlahan-lahan air mata mulai turun dari kedua mata Revika. Iapun mulai terisak.
"Yah... Sakit Yah... Hiks.. Dada Vika sakit... Hiks." isaknya sembari mencengkram baju bagian dadanya erat. Rama mengeratkan pelukannya dan mencium kepala Revika sayang.
"Sshh... Gapapa, Ayah ada di sini. Semuanya akan baik-baik aja."
***
Revika terdiam saat menatap pantulan dirinya di cermin. Matanya masih terlihat sedikit bengkak karena menangis kemarin. Ia melirik ke arah sudut bibirnya yang luka dan pipinya yang masih merah. Yeah... Dia tidak heran sih kenapa pipinya masih merah, soalnya dulu Bunda nya pernah ikut kickboxing dan seharusnya pipinya memar saat ini.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Rama masuk dan berdiri di samping putrinya itu. Tangannya dengan lembut mengusap rambut Revika yang kemarin dijambak oleh Shera.
"Luka kamu masih sakit?" tanya Rama lembut. Revika hanya menggeleng sebagai jawabannya. Ia menatap Rama dengan sendu lalu memeluknya.
"Ayah jangan pernah tinggalin aku ya. Jangan tinggalin aku kayak Bunda." lirihnya
"Iya sayang."
Mereka berpelukan dalam diam. Tiba-tiba Revika mengangkat wajahnya dan menatap Ayahnya tersebut.
"Yah... Vika ngga usah sekolah ya. Vika mau ikut Ayah ke kantor." mohonnya dengan raut memelas. Rama hanya tersenyum tipis lalu mengangguk.
"Nanti biar Ayah buatin surat untuk kamu, sekalian kita lihat perkembangan perusahaan kamu di kantor ya." ujarnya lembut dan disambut dengan anggukan antusias oleh Revika.
***
Jam telah menunjukkan pukul 1 siang. Revika hanya bisa berbaring di sofa ruangan Ayahnya. Ia menghela nafas karena bosan. Matanya melirik ke arah Ayahnya yang sedang sibuk dengan berkas-berkas perusahaannya, lalu beralih menatap langit-langit.
"Bosan?" tanya Rama yang dibalas dengan anggukan oleh Revika.
"Kenapa ngga pergi aja sama 'cowok' mu itu?" tanyanya
"Aku kira Ayah nggak suka."
"Gapapa, untuk kali ini aja."
Revika tersenyum senang lalu ia langsung saja mengambil ponselnya dan mencari kontak seseorang. Setelah ketemu, ia pun langsung menelfonnya.
"Lagi di mana?" tanyanya langsung begitu telfonnya tersambung.
"...."
"Ke kantor Ayah gih, jemput Vika."
"...."
"Iya, Ayah bilang gapapa."
"...."
Revika memutuskan sambungan telfon tersebut setelah ia yakin orang itu sudah menyetujuinya. Iapun bangkit dari posisi baringnya dan berjalan ke arah cermin yang terletak tak jauh dari sofa. Ia merapikan rambutnya yang terurai.
"Udah cantik kok." ujar Ayahnya tanpa mengalihkan tatapannya dari berkas-berkas perusahaan itu. Revika mengerucutkan bibirnya, lalu berjalan keluar dari ruangan itu.
"Aku ke cafe ya Yah.."
"Iya.."
Revika pun keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju cafe yang terdapat di lantai dasar. Ia memesan dua gelas cappuccino berukuran besar dan mulai kemainkan game di ponselnya.
20 menit kemudian cappuccino yang ia pesan pun habis. Ia membayar cappuccino tersebut lalu pergi ke area receptionist dan dapat ia lihat seorang pemuda berkulit putih dengan rambut hitam kelam sedang bertanya pada petugas receptionist tersebut.
"Bang..." panggilnya yang membuat pemuda itu menoleh. Pemuda itu tersenyum senang begitu melihat Revika.
"Ngapain ke sini, Bang?" tanya Revika dengan nada humor yang membuat pemuda itu mengacak rambut Revika gemas.
"Mau pergi sekarang ?" tanya Pemuda itu dan dianggukan oleh Revika. Mereka pun pergi menggunakan mobil Mercedez putih milik pemuda itu.
Mobil itu terparkir di dekat pintu masuk sebuah mall. Mereka berdua keluar dari sana dan masuk ke mall tersebut. Revika tersenyum tipis, sudah lama rasanya dia tidak bersantai seperti ini dengan pemuda di sampingnya itu.
"Mau ke mana? Jangan ke Gramed ya." ujar pemuda itu sambil nyengir. Revika cemberut.
"Kita makam dulu aja ya, Vika belum makan siang soalnya." kata Revika dan dianggukkan oleh pemuda tersebut.
Sesampainya di tujuan, Revika langsung mencari tempat duduk sementara Pemuda tadi pergi memesan. Baru saja dia menghempaskan tubuhnya di kursi, seseorang menghampirinya.
"Revika."
Revika mendongak dan terdiam.
"Zelvin?"
Tbc~
28 February 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
His Smile ;)
RomanceRevika Gracelin Qiandra, seorang gadis berumur 15 tahun yang baru saja masuk ke SMA. Gadis yang entah kenapa kepribadiannya berubah drastis dari ceria dan ramah menjadi gadis yang dingin dan cuek. Dia hanya akan bersikap lembut pada sahabatnya, yait...