Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. Semoga terhibur 😉
Keep vote and comment***
Seperti sihir Cinderella yang berakhir tepat saat denting jam dua belas malam berbunyi, seperti itulah juga yang terjadi. Malam bagai mimpi itu akhirnya berakhir dan tidak terasa tiga bulan sudah berlalu. Sisy kembali menjadi wanita biasa, seorang CEO sebuah wedding organizer yang sibuk menjalani pekerjaan.
"Selamat pagi semuanya," sapa Sisy saat memasuki kantor.
Karyawan-karyawannya mematung sejenak sebelum membalas sapaan Sisy. "Selamat pagi, Bu."
Sudah tiga bulan ini Sisy selalu memberikan senyuman tipis, tapi entah mengapa mereka semua tetap belum terbiasa dan menatapnya kebingungan setiap kali datang.
Sisy juga sempat membawakan oleh-oleh dan mengadakan pembagian makan siang bagi seluruh karyawan untuk perayaan suksesnya acara yang mereka tangani setelah kembali dari Bali. Dan tak lupa juga Sisy memberikan bonus tambahan untuk bulan itu. Terkadang mungkin karyawannya memang patut diberikan reward atas kerja keras mereka sesekali agar lebih bersemangat. Tapi meskipun Sisy sedikit merasa lebih baik, ia tidak akan sepenuhnya berubah karena sebagai pemimpin, ketegasan tetap mutlak diperlukan.
"Rin, apa ada tambahan kerjaan lagi di luar agenda aku?" tanya Sisy pada Karin saat pekerjaannya sudah habis dan Karin masuk ke ruangannya.
"Kerjaan sih nggak ada, Bu," sahut Karin. "Cuma ada sedikit masalah aja. Bu Jono nggak setuju sama budget yang kita kasi ke dia untuk penata rias. Katanya kemahalan. Dia minta yang lebih murah. Bahkan nggak budget penata rias aja, semua budget dia mintanya yang low."
"Owh," Mulut Sisy membulat. Ia menjalin jemari di meja. "Tapi memang kita harus tetap menyajikan yang terbaik entah dia low budget atau enggak."
Karin berdecak. "Maunya sih juga gitu, Bu. Kalau cuma minta low budget dan nggak neko-neko sih it's ok. Nah ini cerewet banget. Mana nyalah-nyalahin tim kita lagi yang nggak bisa nyari yang murah tapi tetep bagus. Kok nggak sadar diri gitu?"
Sisy menyeringai geli. "I see. Coba sini bawain aja proposalnya. Siapa tahu aku juga bisa kasi solusi."
"Ibu nggak ikutan kesel?" tanya Karin sembari menyerahkan sebuah map.
Sisy menerimanya lalu membuka halaman demi halaman proposal. "Kesel sih, tapi kita usaha dulu sebaik-baiknya. Karakter orang emang bermacam-macam. Kadang nemu yang polos, kadang nemu yang sulit. Let see, aku catat-catat dulu ini yang perlu dicari apa aja..."
Mereka lanjut berdiskusi bersama dan mencari penata rias muda di sosmed yang berdomisili di kota itu dan sekiranya bisa memberikan hasil yang cukup baik.
"Bu Sisy sekarang sudah nggak diganggu Mas Ray lagi kan?" celetuk Karin tiba-tiba. "Maaf, Bu nanya terlalu pribadi. Semoga Bu Sisy berkenan jawab soalnya ada yang nanyain. Katanya dia khawatir."
"Siapa?" tanya Sisy penuh harap.
"Bang Ito."
Sisy terdiam sejenak sebelum berseloroh panjang, "Oooh."
"Kata Bang Ito kalau dia masih ganggu Bu Sisy, Oti siap maju."
Sisy hampir saja tertawa tapi ia menahannya. "Dia udah nggak ganggu aku lagi."
"Wah, baguslah, Bu." Karin tersenyum senang.
"Kabarnya dia udah nemu cewek incaran baru. Jadi perhatian dia sekarang udah ke sana."
"Bu Sisy pasti senang ngerasa bebas ya?"
Sisy menghela napas dan berusaha menyembunyikan senyum, tapi ia tidak terlalu berhasil. Ujung bibirnya melengkung senang. Ia memang merasa bebas. Bukan hanya dari Ray, tapi dari belenggu dirinya sendiri. Sisy takjub dirinya mampu untuk menghilangkan kebenciannya pada Ray sekaligus rasa skeptisnya pada setiap laki-laki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Proposal (END-isi lengkap)
Lãng mạnBisma, seorang wedding fotografer, tidak ingin menikah karena belum menemukan cinta. Sisy, seorang wedding organizer yang skeptis, tidak ingin menikah karena telah tersakiti oleh cinta itu sendiri. Mereka bertemu dan terpaksa bekerjasama meski kedua...