Ujian Nasional sudah berakhir. Tinggal menunggu hasil nilainya. Semua sudah berusaha semaksimal mungkin untuk ujian ini. Begitu pun Kena dan Aldi. Mereka sedikit bisa bernapas lega meski belum sepenuhnya lega karena belum tahu hasil nilainya.
Lulus nanti, Kena berkuliah satu kampus dengan Aldi. Meski beda jurusan. Ia merasa senang, karena ia pikir setelah lulus SMA tidak bisa bertemu Aldi lagi. Tidak tahunya ia malah satu kampus nantinya.
Ia dan Aldi akan berjuang sama-sama untuk masuk ke Universitas Indonesia.
“Aldi ke mana, ya? Di perpus nggak ada, kayaknya di taman, deh. Gue coba ke sana aja, lah. Siapa tahu dia di sana.” Setelah menghabiskan tumis buncisnya tadi, Aldi pamit pergi entah ke mana. Kena tidak bisa langsung menyusul karena ia harus membersihkan meja makan dulu.
Hari ini, ia memasakan Aldi tumis buncis lagi anggap saja sebagai hadiah untuk kesuksesan menghadapi UN. Tumis buncisnya kali ini tidak gagal. Rasanya lebih nikmat dan pasti Aldi memakannya sangat lahap. Kena begitu senang melihatnya. Dia layaknya ibu yang menatap terharu menyaksikan anaknya melahap habis masakannya tanpa berkomentar aneh-aneh.
Sekarang Kena pergi ke taman yang terletak di belakang rumah. Seperti dugaannya Aldi berada di sana. Duduk di kursi dengan pandangan ke depan. Apa yang sedang di pikirkannya?
“Al,” panggil Kena.
“Hm?” Kepalanya menoleh, menatap balik Kena.
Kena mengambil posisi duduk di sebelah Aldi. “Nggak nyangka, ya, sebentar lagi kita lulus SMA. Terus kuliah. Gue belum siap, nih, pisah sama teman-teman sekolah apalagi Letta. Nyebelin banget, masa dia ambil kuliah di Bandung.” Kena bercerita dengan menggebu-gebu. Aldi memperhatikannya, sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas. Kena tidak sadar karena masih asyik bercerita.
“Kalian masih bisa kontakan meskipun nggak satu kampus lagi. Atau, liburan kuliah nanti kalian juga bisa bertemu, kan. Setelah lulus SMA, kita semua punya jalan tujuan masing-masing, nggak selamanya teman bakal ngikut kita terus. Meskipun berpisah setidaknya komunikasi tetap nomor satu.” Begitu balasan dari Aldi ketika Kena selesai bercerita.
Kena terkekeh pelan, “Tapi, beruntungnya kita masih satu kampus nantinya. Gue senang nggak berpisah sama lo. Nanti kita juga ada ospeknya, kan? Wah, nggak sabar, deh, pengin cepat-cepat lulus.”
Tidak ada balasan dari Aldi membuat Kena menoleh ke samping. Laki-laki itu termenung. Wajahnya tak terbaca. Seperti menyimpan sebuah rahasia yang tak dapat ia bagi.
Diamnya Aldi seketika memuncul satu pertanyaan di otak Kena: apa Aldi tidak suka satu kampus bersamanya?
Ah, sepertinya itu mustahil.
Ia mencoba menyingkirkan pikiran itu.
“Aldi, lo kenapa? Ada yang lo pikirkan?” tanya Kena menatap khawatir.
“Nggak ada. Gue juga senang bisa satu kampus sama lo.” Aldi tersenyum.
Meski begitu, Kena melihat di balik senyum itu ada sesuatu yang Aldi sembunyikan kepadanya. Namun, Kena tidak tahu apa itu.
Akhirnya, Kena tidak bertanya sampai Aldi mau menceritakannya sendiri.
***
Semenjak obrolan mereka di taman, mereka tidak bertemu lagi. Sama-sama sibuk mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi. Ketika di sekolah Aldi jarang terlihat. Sesekali Kena melihatnya di kantin. Itu pun bisa dihitung pakai jari. Sepertinya cowok itu bersungguh-sungguh ingin lolos ke Universitas Indonesia.
Kalau begitu Kena tidak mau kalah. Ia juga harus berusaha lebih keras lagi meski ia sudah mempersiapkan SBMPTN dari jauh-jauh hari bahkan sebelum UN.
Hasil SNMPTN memang belum keluar, tapi ia juga tidak boleh terlalu berharap pada satu hal yang belum pasti. Karena jika ia tidak lolos di SNMPTN harapan satu-satunya adalah SBMPTN.
Kena membalik halaman berikutnya. Tangannya menari-nari di atas buku. Kena fokus mengerjakan soal TPA yang mengasah otaknya untuk bekerja lebih keras. Hingga dering panggilan dari ponselnya memecah konsentrasinya. Ia lupa tidak mematikan ponselnya.
Panggilan masuk dari Aldi.
Kena mengangkatnya, “Iya, Al, kenapa?”
Di seberang sana, Aldi berbicara, “Lo bisa ke perpustakaan? Gue mau ketemu lo.”
“O-oke,” kata Kena patah-patah. Akibat hatinya yang tidak tenang. Aldi meminta bertemu dan bagaimana bisa ia bersikap normal. Jantungnya berdetak cepat. “Gue bakal ke sana sekarang.”
Kena merasa ucapannya itu seperti seorang kekasih yang sudah tidak sabar bertemu pacarnya karena lama tidak bertemu. Bisa gila ia kalau memikirkan hal itu. Lebih baik ia segera pergi ke rumah Aldi.
***
Terbesit sebuah ide ketika kaki Kena sampai di depan pintu perpustakaan milik keluarga Aldi. Bibirnya tertarik ke atas. Ide untuk mengejutkan Aldi tiba-tiba saja tercetus di pikirannya.
Pelan dia membuka pintu. Sebisa mungkin agar Aldi tidak sadar akan kehadirannya. Kena berjalan sambil berjinjit. Menutup lulutnya menahan tawa.
Posisi Aldi membelakanginya. Duduk di sofa menghadap jendela. Matanya fokus membaca novel tebal, entah berjudul apa. Dalam hitungan ketiga, Kena ingin mengagetkan cowok itu.
Satu....
Dua....
.... Ti—belum selesai mengucap kata tiga, kepala laki-laki menoleh ke belakang. Sontak Kena menyemburkan tawa. Lebih karena usahanya gagal. Aldi lebih dulu mengetahui keberadaannya.
“Sori, Al.” Kena masih tertawa.
Aldi diam. Menatapnya dengan pandangan tak terbaca.
Melihat laki-laki itu tidak tertawa, Kena menghentikan tawanya. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres melihat sikap Aldi hari itu. Diam. Tatapannya kosong.
Kepala Aldi kembali beralih ke novelnya.
Gue dicuekin, nih.
Aldi kenapa, ya?
Kena ikut mendudukkan pantatnya di kursi samping Aldi. Ia memilih menutup mulutnya rapat-rapat. Tidak berani merusak mood Aldi lagi.
Pikiran Kena berkelana ke mana-mana. Suasana hening membuatnya tidak nyaman. Seharusnya sebelum ke sana ia mengambil buku dulu jadi ada peralihan untuk dirinya daripada diam saja seperti ini.
“Ken,” panggil Aldi. “Setelah hari kelulusan gue akan pergi ke paris untuk melanjutkan sekolah. Berkuliah di sana.”
Secepat kilat, Kena menoleh ke arah Aldi. Tubuhnya bergeming. Ia merasa jantungnya seperti berhenti berdetak. Apa yang diucapkan Aldi itu seperti sebuah bualan. Mana mungkin Aldi melanjutkan kuliah di paris?!
“Kenapa?” Hanya satu tanya itu yang mampu keluar dari bibirnya. Untuk saat ini Kena tidak tahu harus mengucapkan kata apa selain ‘kenapa’.
Kena hanya butuh alasan kenapa Aldi pergi ke Paris, meninggalkannya, dan mengingkari janjinya yang akan berkuliah bersamanya.
“Papa menyuruh gue untuk melanjutkan kuliah di sana karena beliau khawatir gue sendirian di sini. Kalau di sana, papa bisa mengawasi gue dan mengajak tinggal bersama.” Aldi berkata. Memberitahu alasan kenapa dia harus melanjutkan sekolah di negeri nan jauh. “Awalnya, gue ingin menolak, karena gue ingat janji kita buat kuliah bareng di Universitas Indonesia. Tapi, ada sisi dalam diri gue yang ingin mendekatkan diri ke keluarga papa gue. Mungkin dengan gue tinggal bersama mereka, hubungan gue makin dekat.”
Kena mencerna setiap ucapan yang keluar dari mulut laki-laki itu. Separuh hatinya tidak ingin melepas Aldi, tapi dia sadar dia siapa bisa seenaknya mencegah kepergian Aldi, pacar saja bukan!Namun, separuh hatinya lagi, menerima keputusan Aldi setelah mendengar alasannya. Sangat jahat jika Kena menghalangi Aldi dan keluarganya. Padahal Aldi bersekolah di sana karena papanya khawatir dan ingin menjaga Aldi. Bisa saja itu sekaligus untuk mendekatkan diri dengan Aldi setelah berpisah begitu lama dan hanya bertemu dalam hitungan jari tiap tahunnya.
“Maaf, Ken... gue baru memberitahu sekarang. Karena gue belum siap dengan respons lo. Gue takut lo kecewa sama keputusan gue.” Kepala Aldi tertunduk dalam. Tidak berani menatap Kena.
Tangan kanan Kena menyentuh pundaknya, “meski sedikit berat, apa pun yang menjadi keputusan lo, gue dukung. Gue ... gue nggak apa-apa. Lo nggak perlu pikirin gue, Al.”
Aldi mengangkat kepalanya begitu mendengar balasan Kena. Dia menatap Kena, mempertanyakan apakah yang diucapkan Kena bukan sebuah kebohongan.
“Ken....”
“Gue nggak apa, Aldi. Lagian nanti di kampus gue bakal dapat banyak teman. Karel sama Nita—teman kecil gue di Bandung—katanya kuliah di UI juga, kok.”
Kini Aldi bisa melemparkan senyum samar. Ya, meski tidak lebar.
“Nanti sebelum gue berangkat ke Paris. Kita jalan-jalan dulu, ya?” tanya Aldi.
Kena mengangguk. “Iya,” balasnya.
Sekuat apa pun Kena mencoba tangisnya agar tidak pecah, pada akhirnya air matanya itu mengalir tepat kakinya melangkah masuk ke kamar. Kena berjalan ke meja belajarnya. Mengambil buku SBMPTN. Mungkin dengan ini dia bisa meredam tangisnya.
Malam itu, Kena habiskan dengan menggeluti buku SBMPTN-nya seraya terisak dalam diamnya. Dia tidak ingin kecewa, namun terlalu sulit.
Sebisa mungkin dia berusaha melepaskan Aldi meski berat.[LANJUT BAGIAN DUA PULUH TUJUH]
(geser ke atas)
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Koma Belum Titik [END]✔
Teen FictionBerawal dari pertemuan pertama di lapangan basket, Kena untuk pertama kalinya bertemu dengan Aldi, salah satu siswa populer di sekolahnya. Hingga pada pertemuan selanjutnya, saat kunjungan industri yang diadakan sekolahnya, membuat hubungan Kena dan...