Kena turun dari motor saat sudah sampai di depan rumah Aldi. Memang hari ini Aldi berjanji mengajaknya main ke rumahnya lagi, karena mamanya ingin bertemu Kena. Katanya sih, mengajak makan bersama sebagai bentuk terima kasih karena sudah menjenguknya dan menghibur Aldi.
"Mama? Mama, ngapain di dapur? Kan, ada bibi. Mama istirahat aja nggak perlu ikut masak." Aldi terkejut mendapati mamanya berada di dapur.
"Sekali-kali Mama pengin masakin anak mama, masa nggak boleh sih?" balas Mama cemberut.
"Bukan gitu, Ma. Cuma Aldi takut Mama kenapa-napa. Mama kan perlu banyak istirahat." Aldi masih bersikukuh dengan pendapatnya.
"Iya, ini terakhir Mama masak, nanti nggak lagi, deh." Pada akhirnya Mama mengalah, kemudian menolehkan kepalanya ke arah Kena. "Maaf, ya, Aldi ini cerewet banget. Lebih cerewet daripada Tante. Oh, ya, kamu temennya Aldi, kan?"
Kena mengangguk sopan, "Iya, Tan. Saya Kena."
"Tante tahu, Aldi banyak cerita soal kamu. Ternyata kamu cantik banget ya, Ken." Mama Aldi tersenyum lembut, bibirnya yang pucat tertarik ke atas.
Setelahnya, Mama menyuruh Aldi berganti baju sedangkan Kena ikut membantu memasak. Hari ini mama Aldi membuat tumis buncis, katanya ini adalah makanan kesukaan Aldi.
"Maaf, Tan, aku nggak jago masak." Kena terkekeh malu.
"Nggak apa-apa, Ken. Kalau dibiasakan belajar juga lama-lama bisa." Tante memaklumi. Beliau memotong bawang putih, bawang merah, dan cabai. "Yang penting kamu bisa masak tumis buncis, karena ini makanan favorit Aldi. Tante tahu, umur Tante udah nggak panjang lagi dan Tante pengin kamu nanti masakin Aldi."
Mendengar itu, Kena membeku di tempatnya. Bagaimana bisa mama Aldi berkata seperti itu, seakan beliau sudah menyerah dengan penyakitnya. Jika Aldi tahu mungkin dia sudah mengomeli mamanya.
Kena mengangguk pelan, "Iya, Tan. Tapi, nggak semestinya Tante bilang seperti itu. Tante harus semangat! Tante pasti bisa sembuh!"
Mama Aldi, Hani, tidak membalas ucapan Kena, tapi Hani tersenyum karena energi positif darinya. Mereka melanjutkan memasak sambil mengobrol tentang keseharian Aldi di sekolah.
"Kamu satu kelas sama Aldi?" tanya Hani.
"Enggak, kok, Tan. Kita beda kelas." Kena membalas sambil mengiris buncis.
"Terus kenapa bisa bertemu dan temanan, sepertinya ada kejadian yang nggak terduga ya waktu kalian bertemu sampai bisa seakrab ini. Tante tahu banget Aldi itu anaknya susah bergaul apalagi sampai bawa temennya main ke rumah. Kamu orang pertama yang diajak ke sini."
Jadi, gue orang pertama yang diajak Aldi main ke rumahnya? Wah, ini benar-benar mengejutkan.
"Sebenernya, pertama kali ketemu itu di lapangan basket, Tan. Tapi yang paling berkesan itu waktu kita satu bus dan duduk bareng. Aku muntah dan Aldi bantuin, dari situ kita jadi temenan."
"Aldi memang selalu gitu, dia nggak enakan sama orang. Kalau nggak bantu orang kayaknya dia gatal. Didikan papanya dari kecil bahkan dulu kita bercerai juga karena kebaikan hati papanya." Hani menggelengkan kepalanya, kemudian bergeser ke arah kompor untuk menumis buncis.
"Maaf, Tan, kalau saya ikut campur, memangnya kenapa Tante sama Om bercerai?" Bodoh. Seharusnya Kena memilih diam saja daripada mengatakan pertanyaan bodoh seperti itu. Bagaimana nanti kalau Tante berpikiran aneh-aneh tentang dirinya.
"Panjang sih ceritanya, tapi yang pasti Tante cerai sama Om itu baik-baik, aja. Nggak ada pertengkaran bahkan sampai detik ini Om selalu berkunjung ke sini. Lihat Aldi, kadang juga ngajak Aldi liburan ke rumahnya yang ada di Paris." Saat menceritakannya Hani tidak berhenti menunjukan raut bahagia. Ternyata tidak semua perceraian itu berakhir menyedihkan, namun ada pun yang bahagia dengan perpisahan itu dengan sikap dewasa mereka masih berhubungan meski tidak bisa bersama lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Koma Belum Titik [END]✔
JugendliteraturBerawal dari pertemuan pertama di lapangan basket, Kena untuk pertama kalinya bertemu dengan Aldi, salah satu siswa populer di sekolahnya. Hingga pada pertemuan selanjutnya, saat kunjungan industri yang diadakan sekolahnya, membuat hubungan Kena dan...