BAB 1

258K 13.3K 1K
                                    

Bagi sebagian orang, mobil bukan hanya seonggok mesin berjalan. Ia saksi beragam momen penting dalam hidup

Antidote - Bab 1

MOZA

Di lingkup Asia, tidak ada yang lebih lama menghabiskan waktu di dalam mobil, dibandingkan pengemudi di Jakarta. Survei dari Uber pada tahun 2017, mencatat bahwa rata-rata pengemudi di Jakarta menghabiskan 68 menit di jalan raya dan 21 menit mencari tempat parkir, setiap harinya.

Tidak terhitung momen apa yang dihabiskan dalam kendaraan beroda empat itu. Membaca, berkirim pesan, mengobrol, tidur, sekedar bengong sambil melihat jalanan dan mendengarkan siaran radio, sampai momen-momen penting seperti memulai dan mengakhiri hubungan, atau bahkan make out.

Aku sendiri hampir pernah melewati semuanya. Melamar sahabatku sendiri, bertukar pikiran dengannya, hingga memutuskan untuk mengakhiri pertunangan kami. Semuanya terjadi di dalam mobil. Dan sekarang... seolah belum cukup, Romeo mengajakku menikah di dalam mobil juga? Kurasa aku harus mulai mengurangi aktivitas di dalam kendaraan ini kalau tidak ingin melahirkan anak atau mati di dalam mobil juga!

Romeo mengetukkan jari-jarinya di atas kemudi, lalu menatap ke arahku. Seolah menunggu jawaban.

"What do you expect? I said Yes?" Aku membalas tatapannya. "Come on, Rom... lo punya jokes lebih oke daripada ini."

"What makes you think this is a joke? Karena keluar dari mulut gue?"

Aku hanya tertawa. Memangnya ada reaksi yang lebih wajar dari ini? Jika kau tiba-tiba dilamar oleh seorang kolega atau partner kerja? Well, kami memang pernah pacaran dulunya. Dulu sekali, saat aku masih memakai seragam putih abu-abu.

Namun, Romeo sama sekali tidak menampakkan hal yang sama. Tidak ada tawa cengengesan yang biasa ditunjukkannya. Matanya masih menatapku lekat.

"Listen...," kataku. "Gue udah pernah gagal sama orang yang paling gue percaya di dunia. Dan sekarang gue harus percaya sama lo? Yang pas jalan sama satu cewek, masih ngebekas aroma parfum cewek sebelumnya. Udah gila kali."

"Sekarang gue balik. Sama orang yang paling lo percaya dan udah lo kenal seumur hidup pun, lo gagal. Berarti dua hal itu nggak menjamin jalannya suatu hubungan kan? Nggak bisa jadi tolak ukur."

Aku terdiam. Mengutuk dan membenci setiap kata yang keluar dari mulutnya. Bukan karena salah. Melainkan karena benar adanya. Aku dan sahabatku, Arsen.. kami bersama sejak kecil. Saking kecilnya, kami bahkan tidak ingat kapan tepatnya kami mulai mengenal satu sama lain. Setelah beranjak dewasa, kami memutuskan untuk bertunangan karena yakin bahwa kedekatan kami menjadi modal yang lebih dari cukup untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Tanpa peduli apakah kami pernah jatuh cinta sama lain. Yang kami tahu, kami saling menyayangi dan tidak ingin menyakiti satu sama lain.

Namun, rupanya pernikahan tidak sesederhana itu. Hati tidak semudah itu untuk diatur. Layaknya bisnis, pernikahan harus menemukan partner yang sevisi dan sejalan. Aku siap menjalani hidup selamanya bersamanya, tanpa adanya orang lain. Namun, tidak dengan Arsen. Arsen tidak bisa membina hubungan dimana ia masih menyimpan nama wanita lain di dalam hatinya.

"Bener 'kan?"

Betapa menyebalkannya Romeo, yang sudah tahu bahwa kalimatnya benar, tapi masih meminta penegasan.

Alisku terangkat. Timbul hasrat untuk menantangnya. "Then what's your guarantee? Lo berani stop kebiasaan celap celup lo itu? Apa, hm?"

"Prenuptial agreement," sahut Romeo. "Lo boleh gugat cerai dan ambil harta senilai tertentu kalo gue emang selingkuh."

Aku menilai rautnya yang tampak begitu yakin. Tidak jauh berbeda dengan raut yang diperlihatkannya saat serius membahas dealing besar dengan salah satu partner tadi. Maka, aku pun mencoba mengujinya lebih jauh lagi.

"Gue mau saham lo di TJ dan sebagian SYD Group," kataku. Menyebut saham perusahaan Ayah yang beberapa waktu dibelinya dalam jumlah cukup bernilai, juga sahamnya di group milik keluarganya.

Romeo mengulum senyum. "Ok, lo tentuin aja jumlahnya."

"Gue juga belum mau punya anak," lanjutku.

"Fine. No prob," balasnya sambil mengedikkan bahu. Kemudian, satu tangannya bergerak mengelus dagu. "Tapi..., kita tetep having sex like normal couple 'kan?" tanyanya. Tentu saja ini bagian krusial baginya. "I mean... lo udah nggak ngebolehin gue sama yang lain."

"Just like other marriage aja lah," selorohku. Kemudian menatapnya dari atas ke bawah. "We're both adult. We need that stupid biological thing for sure. Dan lo juga nggak jelek buat dijadiin partner."

"Yes!" Romeo memekik senang.

"Tapi semua atas persetujuan gue. Gue nggak mau dipaksa atau pake dalih harus ngelayani suami." Aku memperingatkan.

Romeo mengangguk saja, masih kegirangan.

"Dan jangan nuntut cinta." Aku menekankan satu hal lagi. Memastikan bahwa ia tidak akan meributkan satu hal yang tidak bisa kujanjikan.

Lagi-lagi ia mengangguk.

"Tapi lo musti test dulu. Bukan cuma tes HIV or STD* ya. Tapi full Medical Check Up." Aku menatapnya serius. "Gue nggak mau kalo ternyata lo punya penyakit menular lain atau penyakit degeneratif tertentu yang bikin gue malah harus ngerawat orang sakit nantinya."

STD : Sexually Transmitted Desease (Penyakit Menular Seksual)

"Ok. Deal," sahutnya enteng.

Dari sinilah aku percaya. Bahwa selain kesepakatan bisnis... dalam 5 menit, kau juga bisa membuat kesepakatan yang memporak-porandakan hidupmu, atau hidup seseorang.

------------------------------------to be continued

------------------------------------to be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gimana-gimana? K-kok... tiba-tiba sepakat nikah? Serius nikah?

Kok aku yang deg deg an ya 😄

****

Lanjut part berikutnya? Yuk gaskeun vommentnya. Masa kalah sama calon couple ngegas ini

ANTIDOTE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang