ROMEO
Kissing Adriana Moza is always nice. But the rest of her body is paradise.
Gue mendorongnya hingga menyentuh dinding. Tanpa menghindari guyuran air shower, sehingga membuat basah rambut serta blus putih yang dikenakannya. Seketika pakaian itu berubah nyaris trasparan, menampakkan bra warna hitam di baliknya, berikut dadanya yang memukau.
Gue membalas ciumannya lebih intens. Sementara tangan gue bermain entah kemana.
"Ummh!" Moza memekik tertahan saat gue menyentuh titik sensitifnya. Diikuti tubuhnya yang seolah hilang kemampuan untuk berdiri.
Menerbitkan seringaian di bibir gue, sebelum akhirnya mengangkat tubuhnya. Roknya sudah tersingkap ke atas. Yeah, gue sama sekali nggak melucuti pakaiannya satu pun. Membiarkan semuanya basah dan berantakan.
Gue mengecup tengkuknya, membuatnya semakin merapatkan jarak kami yang sebelumnya sudah rapat. Layaknya sebuah percintaan. You wanna be closer and closer. Never enough.
"Shall we?" gue berbisik.
"Give it to me right now, right fucking now!" balasnya dengan suara terbata, lalu memeluk gue lebih erat. Membuat gue terkekeh pelan.
Gue suka kalimatnya yang kasar saat bercinta. Gue suka nadanya yang otoriter saat berupaya memenuhi hasratnya.
Maka, gue pun melebarkan pahanya. Mencuri celah dari pakaian dalamnya yang belum terlepas..., dan melesak ke dalam dirinya.
Nama gue menggema seantero ruangan, begitu ia benar-benar menerima. Dan kami kembali berciuman.
Damn, this is fucking hot!
****
Wonderful sex before sleep. It's the best way to end the day.
Gue melenggang lebih dulu ke tempat tidur. Moza masih berada di kamar mandi. Saat gue berinisiatif untuk membantunya membersihkan diri, seperti menggosok punggung atau memijat kepalanya seperti di salon, gue malah diusir keluar dengan alasan ia ingin mandi dengan cepat dan segera tidur.
Seyakin itu bakal lebih lama kalau gue bantuin. Memangnya gue mau ngapain?
Gue melemparkan diri ke tempat tidur. Belum sampai terpejam, gue teringat untuk memeriksa ponsel. Tepat saat itu, ponsel Moza yang diletakkan nggak jauh dari ponsel gue, membunyikan nada pesan masuk.
Tanpa sengaja gue melihat nama pengirim yang muncul diri. Arsen. Rasa penasaran mendorong gue untuk mengambil ponsel itu dan membaca pesannya dari jarak lebih dekat. Sehingga meski nggak membuka locksreennya, sepintas isi pesan masih terbaca.
Arsen :
Moz, kazi nanya. Kamu udah sampe rumah belum?
Ingin sekali gue mengetikkan balasan :
Udah. Udah ena-ena sama Romeo malah!
Terbayang bagaimana raut kecut si Arsen andai membaca balasan dari gue. Namun, senyum gue mendadak lenyap ketika menyadari arti di balik pesan itu.
Sesaat kemudian, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Gue segera meletakkan ponsel milik Moza ke atas nakas, kemudian meraih ponsel gue sendiri dan naik ke tempat tidur.
Ketika akhirnya ia duduk di tempat tidur sambil memeriksa ponselnya, lalu menampakkan raut yang tidak biasa... Gue nggak bisa menahan diri untuk nggak bertanya.
"Tadi ketemu Arsen?"
Moza diam sejenak. Ia beralih menatap gue yang tengah melihat ke arah ponselnya.
"Kamu buka hp aku?" tanyanya balik.
"Nggak sengaja lihat ada pesan masuk."
"Terus kamu lanjutin baca?"
Gue nggak menjawab. Moza meremat tangannya, kemudian setengah melempar ponselnya ke nakas.
"Bahkan anak kecil tau soal aturan privasi," sinisnya. "Sejak kapan kamu berhak atas barang-barang pribadiku? Sejak kapan kamu berhak tau urusan aku?"
"I'm sorry," hanya itu yang bisa gue suarakan. Karena memang salah.
Mata Moza menatap gue lurus, dadanya sedikit naik turun. Entah apa yang dirasakannya hingga bisa menampilkan raut pedih seolah gue habis menorehkan luka.
"Stop acting like we're normal couple. We are not."
Kalimat itu ibarat tamparan yang menyadarkan gue dari mimpi. Ya, mimpi kalau selama ini kami adalah pengantin baru yang dimabuk romantisme.
Gue tersenyum pahit. Memangnya lo pikir apa alasan dari pernikahan ini, Rom? Moza tergila-gila sama lo? Enggak.
Tanpa menunggu balasan dari gue, Moza berbaring menyamping, memunggungi gue. Gue menatapnya untuk beberapa saat. Ia mengenakan baju tidur bertali spagetti, membuat gue bisa melihat bahu dan beberapa kiss mark di sana. Sisa percintaan tadi.
Seketika kepala gue menghubungkan satu demi satu titik dari peristiwa hari ini. Moza yang nggak pernah tertarik lebih dulu, tiba-tiba mengejutkan gue seperti tadi. Seperti dejavu, saat dia meminta gue untuk menciumnya di mobil di malam kami sepakat untuk menikah.
This marriage. Sejak awal memang ada karena kebutuhannya. Lalu kenapa saat menyadari dan mengingat fakta itu, seperti ada yang memecut gue?
Gue menelan saliva, masih menatapnya. "Jadi ini alasan kamu tiba-tiba kayak tadi? Karena habis ketemu Arsen?"
Ada jeda sejenak sebelum Moza akhirnya menarik selimut dan menjawab.
"We both enjoyed it. Don't be such a victim." Ia membalas sarkas. Bahkan tanpa berniat membalikkan tubuhnya.
Did I enjoy it? Yes, I did. Gue bahkan berpikir Tuhan begitu baik meluluhkan keras dan tingginya hati seorang Moza hingga bersedia meminta lebih dulu.
Gue tertawa miris. Menertawakan kebodohan diri gue sendiri, tanpa sanggup membalas kata-katanya.
Jarum jam hampir menunjuk angka sepuluh malam. Tapi kantuk gue mendadak hilang.
Gue beranjak dari tempat tidur sembari meraih satu pack rokok yang tergeletak di atas meja.
I would rather die because of nicotine than die because of this stupid feeling.
Maka, gue keluar kamar. Meninggalkan Moza dalam dunianya. Berharap beberapa batang rokok bisa membakar kesal dan kecewa yang mendadak bangkit.
----------------------------------to be continued
It's affection, always
You're gonna see it someday
My attention's on you
Even if it's not what you needAffection - Cigarettes After Sex
****
Gimana? Udah mulai krenyes-krenyes?
See you on next chapter 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTIDOTE
RomanceMoza : I was poisoned by the thing called love Runnin' deep inside my veins Burnin' deep inside my brain I needed an Antidote. And Romeo was there Romeo : Coba sebutin, berapa persen kucing yang nolak dikasih ikan? Berapa persen singa yang nolak di...