BAB 25

79.7K 7.1K 370
                                    

MOZA

"You look prettier day by day, Moz."

Bianca, instruktur yoga-ku, berbasa-basi di akhir sesi kelas virtual yang kami lakukan. Biasanya hari Minggu seperti ini aku akan datang ke studio. Namun karena tidak terlalu fit hari ini, aku memutuskan untuk melakukannya di rumah.

"Lo mau gue jawab kalo gue kelihatan lebih oke gara-gara ikut kelas lo 'kan?"

Bianca tergelak. Lesung pipinya terlihat. Parasnya tampak fresh di usianya yang menginjak kepala tiga. Selain instruktur, dia adalah seniorku semasa kuliah. Ia mendirikan studio kebugaran di Jakarta Selatan, dengan beberapa cabang seperti di Kelapa Gading dan Bintaro. Kami lumayan akrab sehingga bisa bicara informal seperti ini.

"Nggak bisa digombalin nih customer satu," katanya. "Eh tapi bener loh. Lo kelihatan agak cubby sekarang."

Aku mengangkat bahu. "Efek potong rambut kali."

Bianca mengangguk untuk menyetujui kemungkinan itu. "Well, apapun penyebabnya. Lo tetep beli paket-paket wellness dari gue 'kan?" Dia terkekeh, mengungkit produk-produk minuman kecantikan dan kebugaran yang ia tawarkan ke pesertanya.

Aku tidak membantah. Usai satu dua kalimat perpisahan, kami akhirnya menyudahi sesi hari itu.

Aku berjalan ke arah dapur, ketika aku mendengar suara aliran di kamar mandi. Rupanya Romeo sudah bangun. Semalam ia lembur dan aku tidak tahu ia datang jam berapa, karena aku lebih dulu tertidur. Sehingga kami belum sempat bertegur sapa hingga pagi ini.

Aku mengambil beberapa buah untuk dijadikan smoothie. Biasanya Bi Kuri selalu menyiapkan jus atau smoothie di pagi hari. Namun karena beberapa kali aku enggan meminumnya dan menjadikannya terbuang, aku melarangnya untuk menyiapkan lagi sebelum aku benar-benar ingin.

Maka pagi ini, aku mengolahnya sendiri karena kebetulan Bi Kuri aku minta untuk membereskan yang lain. Setelahnya, aku menikmati strawberry smoothie di kursi sambil iseng mencari tontonan Netflix.

Samar-samar terdengar langkah Romeo dari belakang. Sesaat kamudian, ia turut merebahkan tubuhnya di sebelahku. Tak sampai di sana, aku membaca gerakannya hendak mencuri kesempatan untuk mencicipi smoothie-ku. Membuatku refleks untuk menjauhkan gelas itu darinya.

"Bikin sendiri," ucapku, yang disambut helaan napas olehnya.

"Pelit," katanya, lalu menengadahkan kepala di sandaran sofa.

Aku menyedot sekali lagi, sebelum tersenyum dan merespons. "Udah aku bikinin, Rom... Ambil aja di kulkas."

Seketika kepalanya terangkat dari sandaran. Matanya berbinar menatapku. "Beneran?"

Aku mengangguk, kemudian berseru kepada Bi Kuri supaya mengambilkannya untuk Romeo. Ketika minuman itu benar-benar datang, Romeo mencium pipiku dengan modus ucapan terima kasih.

"Kamu sering banget lembur akhir-akhir ini." Aku berkomentar usai meletakkan gelas kosong ke meja.

"Ada audit. Terus ya sama proyek-proyek baru," katanya disela-sela menenggak minuman kental itu. "Oh iya, akhir bulan ini aku bakal ke KL. Sekitar empat atau lima hari. Kamu nggak pa-pa, aku tinggal sendiri?"

"Ya nggak pa-pa."

"Bi Kuri suruh nginep aja."

Aku mengangguk, tapi kedua alisku juga bertaut. "Oke.... Kamu nggak kuatir aku bakal ketakutan 'kan?"

Romeo menoleh ke arahku, ia tersenyum tipis sambil meletakkan gelasnya yang sudah kosong di atas meja. "Nggak sih. Aku lebih kuatir kamu kesepian malem-malem nggak ada yang meluk."

ANTIDOTE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang