BAB 2

177K 9.8K 411
                                    

"Proposing" bukanlah hal yang membutuhkan cinta. Tujuan dan strategi. Itulah yang dibutuhkan. Sama halnya seperti saat kau melamar sebuah perusahaan atau mengajukan kerja sama.

Antidote - Bab 2

ROMEO

GUE BAHKAN NGGAK PERCAYA SAMA APA YANG BARU AJA GUE LAKUKAN!

Gue seakan nggak menapak lantai saat memasuki rumah, usai lamaran random tadi. Dengan gerakan tubuh yang terasa mengambang, gue membuka pintu kamar lalu menatap diri gue sendiri di depan cermin.

Raga gue masih utuh. Gue bukan sedang berkeliaran dalam bentuk ruh di alam mimpi. Yang terjadi barusan adalah nyata, bahwa gue mengajak Moza menikah dan dia menerima.

Gila! Apa gue bahkan punya rencana ke depannya? Gue memeriksa ponsel untuk melihat tanggal dan waktu. Bicara soal rencana, yang ada justru rencana kencan dengan Blaire akhir minggu ini. Dia adalah desainer gaun yang tengah naik daun berkat video-video promosinya di media sosial. Dan... astaga. Gue bahkan ada janji makan siang dengan Tesha, banker manis yang sempat menangani kredit proyek Syadiran Group.

Sama sekali nggak ada "menikah" dalam rencana gue. Seenggaknya dalam jangka waktu dekat.

Serpihan-serpihan ingatan tentang kedekatan yang kembali terjalin antara gue dan Moza akhir-akhir ini, mulai terangkai. Dari makan malam dengan ayahnya dan para kolega untuk membahas kerja sama perusahaan kami, peristiwa marathon dan setelahnya, kencan kami yang berakhir di club malam*, hingga kejadian tadi.

*baca Heroin

Secara garis besar, gue memang menginginkan Moza. Menginginkannya untuk bersama gue, memilikinya dan... mungkin ini terdengar bullshit, tapi kalau diberi kesempatan, gue ingin sekali melindunginya. Yang mungkin bisa diwujudkan kalau kami menikah.

Pasalnya, gue nggak mengira dia akan menyetujuinya semudah ini. Gue menggelengkan kepala. Nggak. Dia pasti menganggap ini sebagai gurauan lalu besok saat matahari terbit, dia akan bersikap seolah malam ini nggak terjadi apa-apa.

****

Hari berganti. Seperti yang gue katakan semalam, semua akan berlangsung normal saja begitu matahari terbit. Gue pun menjalani hari seperti biasa, tanpa dipusingkan dengan kejadian semalam.

Yeah, anggap saja yang semalam itu hiburan. Ciuman adalah hal biasa bagi kami. Dan melihat track record gue, seorang Moza nggak akan menganggap kalimat gue semalam adalah serius 'kan? Kami bahkan bisa bercanda dan membual besok bakal kencan dengan dengan pangeran atau putri dari Spanyol.

Dan bicara soal kencan, kini gue tengah berada The Cafe, restoran di hotel Mulia, untuk makan siang bersama Tesha. Siang ini dia mengenakan dress warna biru cerah, serasi dengan tas yang ditentengnya. Obrolan kami berlangsung cukup asyik. Dia tahu banyak hal dan punya selera jokes yang oke.

"I've never thought you are that good," komentar gue, saat kami baru saja menghubungkan antara politik ke dalam dark jokes.

Ia tersenyum, lalu meminum lagi minumannya. Lipstiknya nggak luntur ataupun transfer. Mengundang penasaran bagaimana jika ketahanan lipstik itu diuji dengan hal lain. Ciuman misalnya.

Ketika akhirnya gue dan Tesha beranjak dari meja untuk menuju pintu keluar, langkah gue terhenti kala melihat Moza tengah berjalan bersama beberapa koleganya. Disusul ia juga menyadari keberadaan gue sesaat kemudian.

Dan ternyata nggak cuma kami, rupanya Tesha juga kenal dengan segelintir orang yang tengah bersama Moza. Kami pun saling sapa.

Gue masih membeku kala Moza berdiri dekat gue sambil menyapa...

ANTIDOTE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang