BAB 17

82.6K 7K 350
                                    

ROMEO

"Maafin aku."

Itu kalimat yang pertama gue dengar setelah beberapa detik ia membawa gue ke dalam pelukannya.

"Maaf udah bikin kamu bosen dan capek nunggu, sampai akhirnya ketiduran," sambungnya, lalu mengurai pelukan.

Wait, ini maksudnya dia lagi merasa bersalah?

Moza sedikit menunduk, memainkan jemarinya sendiri. "Ini perayaan paling buruk ya, Rom?"

Gue mengerjapkan mata, kemudian meraih wajahnya yang kali ini jauh sekali dari kesan angkuh. "Kamu... beneran Moza 'kan? Atau aku masih mimpi?"

Tiba-tiba gue merasakan panas di dada akibat pukulannya. "Kamu apaan sih! Bikin aku makin ngerasa bersalah, tau nggak?!"

Gue mengusap bekas pukulannya yang cukup keras. Ini nyata.

Dan belum selesai keterpanaan gue tadi, Moza kembali meluncurkan kalimat yang nggak pernah gue sangka bakal keluar dari mulutnya.

"Gini aja deh. Sebagai gantinya, jatah tiga permintaan aku yang waktu itu, aku kasih satu buat kamu. Sebagai permintaan maaf."

Gue... nggak tahu harus bilang apa. Tadi gue memang kecewa. Tapi sekarang, kenapa gue malah bersyukur? Ada sensasi aneh di sekitar perut juga dada gue.

"Rom, kenapa diem?" Moza mengoyak lengan gue. "Nggak cukup ya?"

Dan kalimat itu membuat gue meraihnya ke dalam pelukan.

"It's more than enough," gue berbisik, supaya dia diam dan nggak bicara kalimat-kalimat yang bisa-bisa bikin gue menggadaikan seluruh semesta hanya untuk bersamanya.

Namun sialnya, dia masih mengajukan pertanyaan lagi. "Terus udah kepikiran mau minta apa? Mumpung aku lagi ngerasa bersalah dan ikhlas buat ngabulin."

Gue mengeratkan pelukan. "Aku minta kamu. Kamu ada di sini terus, nemenin aku. Ya?"

"Tapi itu bukan..." ia hendak lepas dari dekapan gue, untuk memprotes. Namun, gue nggak memberinya celah.

"Just stay with me, Moz."

Maka dia pun terdiam. Menuruti permintaan gue.

Bagaimana gue bisa meminta hal lain saat dialah hadiah terbaik yang gue inginkan?

Meski gue juga masih mempertanyakan. Apa yang gue miliki dari Moza? Waktunya? Dedikasinya? Atau hanya raganya? Karena gue tahu gue belum menyentuh hatinya.

Namun detik ini, gue nggak peduli. Dengan mendapat ketulusan dari permintaan maafnya barusan, yang berarti dia juga tengah memikirkan perasaan gue..., gue udah selangkah lebih maju.

Seenggaknya gue memiliki arti di hidupnya. Meski mungkin hanya berlandas emosi dan empati.

Dan itu udah cukup buat gue. Seenggaknya untuk sekarang.

****

Gue menuntun Moza ke meja makan. Setibanya di sana, gue mengeluarkan Creamy Mushroom Bucatini dan Pumkin Lasagna yang baru saja dihangatkan.

"Vegan menu, karena aku ngira kamu bakal pulang malem. Nggak taunya pagi." Gue terkekeh, melirik jam yang yang menunjuk di antara angka 12 dan 1.

"Yee... nyindir." Moza menarik kursinya, kemudian menatap menu yang tertata di meja.

"Kalo kamu masih takut gendut gara-gara makan jam segini, habis ini langsung kita bakar bareng aja kalorinya." Gue tersenyum tipis, kalian pasti tahu apa maksudnya.

"Aku lagi mens," balasnya, yang ibarat sambaran petir.

Gue membelalakkan mata ke arahnya. "Bukannya udah minggu kemarin?"

ANTIDOTE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang