ROMEO
Moza sedang duduk di sofa sembari memangku semangkuk snack, ketika gue menghampirinya dan meletakkan draft perjanjian untuk meminang sebuah Brand tas yang ingin ia akuisisi.
"Pihak Zexa mau discuss sama kamu, before they decide. Aku udah link ke sekretaris kamu langsung," ucap gue, kemudian hendak pergi meninggalkannya.
"Aneh. Kenapa sekarang aku nggak excited, ya?" Moza bergumam, membuat langkah gue terhenti.
"Kalo mau batal, aku nggak akan lanjutin. Tapi mereka kayaknya tertarik sama penawaran kita."
Sudut bibir Moza menarik senyuman. Mangkuk yang tadi dipangkunya, kini beralih ke atas meja. Sementara tangannya membolak-balik lembar demi lembar berkas. "Pasti tertarik, perusahaan baru berdiri gitu. Mereka harusnya bersyukur nanti bisa aku kasih space di acara-acara TJ.Tv, juga akses ke PH-PH di sana."
Gue menatap rautnya yang meredup. Berbeda dengan nyala semangat saat dia mengutarakan permintaan ini beberapa waktu lalu. "Nggak semuanya diukur sama materi, Moz. Ini bisnis mereka yang lagi grow up. Mereka mulai dari nol. Berat juga buat ngalihin sebagian besar kepemilikan ke orang lain."
Moza menghela napas, lalu meletakkan berkas itu dan beralih menatap gue. "Idealisme mutlak kayak gitu yang bikin perusahaan nggak maju. Peluang nggak datang dua kali. Bahkan satu kesempatan pun nggak bertahan lama. Buktinya aku sekarang udah nggak terlalu antusias. Kalau nanti mereka ngulur-ngulur waktu, aku juga nggak bakal buang-buang tenaga buat ngebujuk mereka."
Seperti biasa, Moza menghubungkan titik demi titik dengan akurat, kemudian menarik kesimpulan dengan percaya diri. Hanya saja, satu yang luput dari perhatiannya.
"You know what, Moz? Kenapa keinginan itu nguap gitu aja? Karena sumbernya udah nggak ada."
"What do you mean?"
"The baby is gone. That's why you don't want it anymore."
Kalimat itu terucap, diiringi langkah gue untuk beranjak dari ruangan. Meninggalkannya entah dengan raut seperti apa. Gue sengaja nggak melihatnya, karena nggak sanggup bila reaksinya adalah reaksi yang lagi-lagi nggak bisa gue terima.
****
Entah sudah berapa malam gue lewati di kamar ini. Hari sudah larut saat gue masuk ke dalam. Saat gue melepas kancing kemeja, Moza menyusul dan membuka pintu kamar, lalu bersandar di pintu.
"Tadi aku telponan sama Mama. Katanya Leon udah sembuh dari cacar dan nanyain kamu."
"Weekend ini aku mau ke sana. Nginep." Gue mengeluarkan tangan dari lengan kemeja, lalu merespons tanpa menoleh ke arah Moza. "Kamu nggak harus ikut kalo nggak bisa."
Terdengar suara decakan. "Yang bener aja, nggak pantes lah aku nggak ikut. Nanti mereka ngira kita kenapa-napa."
"Bukan ngira, tapi tahu. Faktanya, kita emang lagi nggak baik-baik aja." Gue mulai melepas ikat pinggang.
"Emang sampai kapan sih kita kayak gini terus? Udah berminggu-minggu kamu uring-uringan kayak anak kecil!"
"Sorry... kalo aku nggak cukup dewasa buat menyikapi ini. Nggak kayak kamu." Gue menatapnya. "Sorry... kalo aku malah bikin drama yang nggak perlu di hidup kamu."
"Rom..."
"Aku butuh waktu buat ngerti ini semua."
Moza mendekat. "Ngertiin apa? That miscarriage? Harus aku jelasin berapa kali kalo itu kecelakaan?"
"Kita, Moz.... Masalah utamanya adalah kita. Bukan keguguran itu."
"Kita?" Moza menaikkan alisnya. "Kamu kali. Kamu berharap lebih sama apa yang udah kita sepakati."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTIDOTE
Любовные романыMoza : I was poisoned by the thing called love Runnin' deep inside my veins Burnin' deep inside my brain I needed an Antidote. And Romeo was there Romeo : Coba sebutin, berapa persen kucing yang nolak dikasih ikan? Berapa persen singa yang nolak di...