MOZA
Tidak pernah ada dalam sejarah hidupku, aku diperlakukan kasar.
Memang, Ayah keras jika memarahiku. Namun semata-mata untuk mendidikku. Bukan untuk merendahkanku seperti yang dilakukan Romeo tadi.
Aku meringkuk di balik selimut. Pintu sudah otomatis terkunci saat aku menutupnya tadi. Namun, jantungku masih berdetak cukup kencang.
Tindakan Romeo tadi benar-benar membuatku shock.
Aku akui mulutku memang tajam. Tapi semua yang aku tuntut darinya tadi hanya mengacu pada komitmennya. Di samping aku tidak suka dibodohi.
Di saat hubungan kami berada di titik terendah seperti ini, lantas kenapa aku tidak mudah menyetujui keputusan untuk bercerai? Meski dia terlihat begitu menginginkannya.
Karena menurutku perceraian bukanlah solusi untuk masalah kami, atau pun masalahnya.
Perceraian ini berarti kegagalan untuk kami berdua.
Di sisi Romeo... Aku sudah sering mendengar bagaimana dia diremehkan, dimaki, dan dicemooh. Bagaimana jika perceraian ini semakin membuatnya dipandang gagal dan lagi-lagi disalahkan? Semua akan memandangnya sebagai sosok yang lepas tanggung jawab dan lari dari masalah, alih-alih menyelesaikannya.
Perceraian jelas bukanlah hal bagus. Apalagi perusahaan kami sedang menjalin kerja sama.
Sedangkan di sisiku... Aku tidak mau gagal lagi. Tidak untuk ke dua kalinya, setelah pertunangan konyol dengan Arsen waktu itu. Tidak dengan cara, alasan, juga waktu yang sesingkat ini.
Aku menatap lingkar logam di jariku. Pernikahan ini... kenapa tidak bisa berlangsung dengan penuh suka cita saja? Kenapa harus ada perih yang menghadang di depan?
Air mataku perlahan jatuh membasahi bantal. Aku terpejam.
****
Alarmku sudah berbunyi mungkin lebih dari tiga kali. Namun, aku masih bergelung di tempat tidur. Rasanya aku ingin bekerja dari rumah saja.
Kepalaku pening, kelopak mataku terasa berat. Aku meminum segelas air yang terletak di samping tempat tidur, lantas termenung untuk beberapa saat.
Buruk. Kondisiku dan Romeo benar-benar buruk. Tidak ada kebaikan saat berjumpa, selain sinis dan makian.
Maka aku menghindari untuk bertemu dengannya dulu. Aku tidak akan sarapan ketika ia masih duduk di meja yang sama. Aku tidak akan keluar kamar dulu, saat ia masih di dekatku.
Aku menunggunya pergi. Hingga akhirnya terdengar suara ketukan di pintu.
"Moz, udah bangun?" Romeo bertanya dari balik pintu. Nadanya terkesan lembut, berbeda dari semalam.
Aku menelan ludah, masih terdiam.
"Sorry about last night. Aku kelewatan."
Mendengarnya mengucapkan kata maaf, membuatku menyesali tuduhanku semalam. Namun, aku masih belum sanggup bersuara.
"Are you ok? Aku mau berangkat. Tapi aku perlu mastiin kamu nggak pa-pa. Biasanya jam segini kamu udah keluar. Please, let me know."
Aku beranjak dari tempat tidur, perlahan mendekat ke arah pintu. Apakah aku akan membukanya? Pada akhirnya aku hanya bisa bersandar di sana.
"Aku nggak pa-pa. Cuma males ngantor aja."
Jeda sejenak, sebelum akhirnya Romeo berucap lagi.
"Would you..." jeda sesaat. "I know, you won't open this door. Sorry for making you feel unsafe."
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTIDOTE
RomanceMoza : I was poisoned by the thing called love Runnin' deep inside my veins Burnin' deep inside my brain I needed an Antidote. And Romeo was there Romeo : Coba sebutin, berapa persen kucing yang nolak dikasih ikan? Berapa persen singa yang nolak di...