BAB 13

91.4K 7.2K 644
                                    

MOZA

There's empty space in my bed when I wake up.

Aku mengerjapkan mata. Cahaya matahari masih menyorot ramah karena tirai belum terbuka. Aku berguling sedikit dan kembali memejamkan mata, masih enggan terbangun. It's not a joke when someone said that you kinda wake up sore after you had a rough sex.

Tidak hanya itu, aku juga mulai mengalami gejala pilek akibat Romeo yang tidak sengaja menyenggol kran shower hingga membuat shower yang awalnya mengeluarkan air panas, berubah mengguyurkan air dingin. Dan kami berada di bawahnya cukup lama.

Beberapa menit berlalu sejak aku terbangun dan bermalas-malasan, tapi aku sama sekali tidak mendengar suara apapun dari kamar mandi. Bukankah Romeo tidak ada di ranjang karena dia berada di dalam kamar mandi? Karena biasanya, kalau tidak sedang tertidur sambil mengurungku dengan lengannya, ia terbangun lebih dulu untuk buang air.

Aku menoleh ke arah nakas. Ternyata ponselnya juga tidak ada di sana. Ke mana dia? Aku menyingkap selimut kemudian beranjak keluar kamar. Ada kemungkinan dia sedang work out di taman belakang, meski biasanya kalau pagi-pagi begini ia lebih suka memancingku untuk melakukan olahraga lain.

"Romeo mana, Bi?" Aku bertanya kepada Bi Kuri, yang selalu datang ke rumah sebelum jam enam. Well, asisten rumah tangga kami memang berasal dari pemukiman tak jauh dari komplek rumah, sehingga tidak harus menginap di sini setiap hari.

"Tadi pergi sekitar jam setengah tujuh. Pake kaos sama jaket biasa aja sih, Mbak. Kayaknya nggak jauh," jawabnya sembari membersihkan sofa dengan mesin vacuum.

"Oh. Makasih," balasku, kemudian melirik jam yang menggantung di dinding ruangan. Pukul setengah delapan. Mungkin jogging? Whatever.

Aku pun kembali ke kamar untuk melakukan satu sesi yoga ringan, tanpa mengganti baju. Sebelum akhirnya berselancar dengan ipad untuk melihat perkembangan pasar atau update berita lain, juga mengecek weekly dan monthly report dari beberapa karyawan.

****

Saat aku selesai dan hendak beranjak untuk mandi, Romeo datang dengan wajah seperti stuntman aktor laga yang habis melakukan adegan berkelahi berulang-ulang. Pipinya sedikit lebam, sementara udut bibir berdarah.

"Kamu habis digebukin orang?" tanyaku.

"Sparing, di klubku." Ia menjawab singkat.

"Klub boxing kamu yang isinya orang-orang badan gede itu?" Aku teringat postingan instagramnya bersama salah satu anggota klub Thai Boxing berbadan kekar.

"Banyak yang badannya biasa aja kok. Yang gede-gede trainernya," ucapnya, kemudian melepas jaketnya. Ia memekik tertahan saat bagian kasar dari jaketnya mengenai salah satu bagian tubuhnya. Saat itulah aku menangkap buku-buku jarinya juga terluka.

"Klub kamu tuh murahan ya, sampe nggak nyediain sarung tangan?" semburku, lalu mendekat dan meraih tangannya untuk memeriksa seberapa parah lukanya.

"Lagi nggak pingin pake," balasnya, kemudian menarik tangannya.

Kenapa dia? Mendadak dingin dan sok jual mahal begini?

Tak ada suara lagi. Ia kemudian beranjak ke dapur untuk membuka kotak obat yang terletak di dekat lemari pendingin. Diambilnya kapas, antiseptik, kemudian seperti mencari-cari yang lain.

"Sini aku aja. Kamu duduk sana!" kataku seraya menggeser tubuhnya, lalu mengambil serta obat pereda nyeri.

Tidak lupa aku mengambil baskom untuk menampung air dan es batu.

Aku berdecak. "Ada banyak banget jenis olahraga. Kenapa milih yang bikin babak belur begini?" omelku, mulai merawat lukanya.

Ia mendesis pelan, menahan perih. Bodoh. Siapa suruh adu jotos segala?

ANTIDOTE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang