BAB 19

78.5K 7.3K 177
                                    

Eits.. sebelum baca, jangan lupa klik bintang dulu ya. Udah aku ingetin di awal biar ga lupa hehe

****

ROMEO

"Belum."

Moza menjawab pertanyaan gue bahkan tanpa berpikir. Seolah kesiapan memang bukan hal yang dia pertimbangkan.

Gue menilai yang menjadi pertimbangannya bukanlah "siap" atau "tidak siap". Melainkan "ingin" atau "tidak ingin".

It's different kind of thing.

Nggak siap berarti lo bisa berusaha untuk siap karena lo menginginkannya. Di mana usaha itu bisa dikendalikan dan terukur. Tapi kalau udah nggak menginginkannya, lo nggak akan usaha..., sampai nantinya lo bakal menginginkannya. Dan itu bukan faktor yang bisa dikendalikan. Butuh trigger dari luar yang memantik keinginan itu timbul.

Sementara gue, meski nggak terlalu mengharapkan kehadiran anak dalam waktu dekat, apalagi sampai mendorong Moza... Namun, gue akan dengan senang hati bila seorang anak melengkapi keluarga kami.

Keluarga. Sebenarnya gue nggak ingin berekspektasi terlalu tinggi pada pernikahan ini. Namun, apa yang bisa gue lakukan kalau sisi melankolis dalam diri gue mulai bermain?

Meskipun hubungan ini awalnya berlandaskan "benefit" yang ikatan antar mitranya kami jamin dengan status pernikahan, kebersamaan yang berlangsung selama beberapa bulan ini membuat gue nggak bisa mengelak kalau gue memiliki perasaan lebih untuk Moza.

Deretan pertanyaan tiba-tiba muncul di kepala. Bagaimana jadinya kalau Moza sampai mengandung? Apakah dia bakal manja ke gue? Akankah itu akan menjadi suatu titik kemajuan dalam hubungan kami?

Lamunan gue terhenti ketika dia menyingkirkan seledri dari mangkok sotonya.

"Sori tadi aku lupa bilang buat nggak pake seledri," ucap gue, lalu membantunya menyingkirkan yang masih tersisa.

"It's ok. Makasih," katanya begitu kuah sotonya bersih dari irisan seledri.

Gue tersenyum, kemudian mengingat agenda yang akan gue jalani besok.

"Moz..."

"Hm?" sahutnya sembari mengunyah.

"Aku udah mulai inisiasi buat rombak sistem. Ada sebagian prosedur yang musti dipangkas. Sejauh ini manajemen oke. Tinggal Papa."

Moza mengangkat wajahnya yang semula menunduk. "Kamu..., udah siapin argumen kuat buat keputusan kamu 'kan?"

Gue mengangguk, lalu memegang tangannya yang berada di atas meja. "Makasih ya, udah bikin aku yakin sama diri sendiri."

Moza mengangkat alisnya, tersenyum. "No prob. Good luck."

Tanpa sadar, gue mengeratkan tautan pada jemarinya. Dingin logam dari cincin pernikahan yang melingkar di jarinya menyentuh kulit.

****

Menjelang pukul dua belas, gue kembali ke ruangan. Selang lima menit, Vivie, sekretaris gue udah siap melakukan agenda rutinnya untuk memberikan berkas baru yang harus gue periksa, mengambil berkas yang sudah selesai, serta update informasi terbarum

"Ini proposal kerja sama dari PT. Tanusia Perkasa. Terus minute of meeting sama Pak Bungaran tadi udah saya kirim ke email semua peserta meeting."

"Ok, good."

"Oh iya, tadi waktu Bapak meeting, Pak Zidan nanyain apa bisa dijadwalin ketemu siang ini."

Gue menjeda kegiatan gue sejenak, sebelum akhirnya merespons. "Oh, nanti saya ngomong sendiri aja ke dia. Makasih, Vi."

Setelah Vivie menghilang dari balik pintu, gue menghubungi Zidan. Kakak gue satu itu pasti menunggu untuk dihubungi lebih dulu. Kalau nggak, dia akan menyemprot sekretaris gue seakan-akan sekretarisnya sendiri.

"Halo," sapanya dari seberang.

"Lo mau ketemu gue? Gue free jam makan siang."

"Nggak usah deh. Cuma mau ngomong bentar. Gue denger lo mau perbaruan sistem sama ekspansi baru. Kenapa nggak bilang-bilang?"

Udah gue duga. Pasti topik ini. "Gue bilang-bilang kok, ke departemen bersangkutan. Kita baru aja rapat."

"Ke gue sama Papa maksudnya."

"Draftnya mungkin bakal selesai Selasa dan langsung gue kasih ke ruangan Papa. Baru kita diskusi sekalian lihat draftnya. Lo bisa ikut juga."

"Tumben lo ngambil keputusan tanpa diskusi atau minta pendapat dulu? Sheren gimana?"

"Jauh-jauh hari gue pernah mention masalah ini ke Kak Sheren. Dia masih mikir. Tapi pas gue jalanin sekarang, katanya dia mau lihat hasil rapat sama direksi dulu. Tar dia juga kasih masukan."

Gue bisa mendengar helaan napas dari Zidan. "Kita lagi pegang proyek-proyek penting. Kestabilan dibutuhin adalah penyangga mutlak buat kita. Lo jangan aneh-aneh."

Aneh-aneh? Kini giliran gue menghela napas. "Iya, gue tahu. Lo bisa lihat draft perubahannya kalo mau kasih masukan. But overall, gue udah diskusi sama ahlinya. That's worth to try."

"Try? Lo jangan trial and error di sini ya. Pilot study* di kampus sana, kalo mau trial and error."

*Pilot Study : Studi atau penelitian skala kecil

Gue menggertakkan gigi. "Gue bilang trial, bukan berarti trial and error. Semua yang baru kan emang dicoba dulu buat diterapin. Dan gue sama tim pake perhitungan kok. Lo gue kirimin konsepnya deh lewat email."

"Good. Gue mau lihat."

Sebelum menyudahi percakapan, gue bicara lagi. "Kak, untuk urusan ini... keputusan di tangan gue sama Papa 'kan? Lo cuma bantu kasih masukan."

"Kita lihat nanti lo bisa ngeyakinin Papa atau enggak. Dan yang terpenting, pertimbangan terbaik."

Kalimat itu pun menjadi penutup obrolan kami. Gue meremat jemari dan setengah membanting ponsel ke meja.

Belum lama setelah mendarat, benda itu berdering lagi.

Nama Moza terpampang di layar. Tanpa menunggu dering ke sekian, gue langsung mengangkatnya.

"Ya Moz?"

"Aku lagi di deket kantor kamu nih. Free nggak? Makan shabu-shabu, yuk."

Seketika sumbatan di kepala gue melunak seiring dengan Moza bicara. Melebur bersama bayangan kuah shabu-shabu.

---------------------------------to be continued

Uwuuuu saling menguatkan ya kalian.. Gakpapa gak usah ngegas dulu hubungannya. Yang penting selalu ada dan ngelakuin hal2 kecil yang berarti.

 Yang penting selalu ada dan ngelakuin hal2 kecil yang berarti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gimana??? Gantengnya udah kayak model iklan shampo belom?

Jangan lupa vote & komen ya..

ANTIDOTE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang