ROMEO
"Dia bawa gue ke unit-nya. Dan lo tau? Kasurnya gue pipisin!" Shanika mengoceh soal tetangga apartemennya, yang menolong dia semalam. Setengah sadar, ia tergelak lalu mengoceh lagi. "Tapi dia malah minta maaf karena ketiduran dan nggak nganterin gue ke kamar mandi. Cute isn't?"
"Untung dia bukan om-om mesum yang dengan antusias unboxing lo."
"Tapi gue mau kok kalo misal di-unboxing dia. He's kinda hot anyway." Senyum di wajah Shanika mengembang. Tubuhnya mulai menggeliat membayangkan sosok laki-laki semalam. "Dan.... yang lebih wow lagi...," lanjutnya, dengan nada menggantung dan diseret karena semakin mabuk.
"Apa?"
"Rahasia..." Shanika menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mata tertutup. "Nan... ti. Nanti gue lo kasih. Eh, maksud gue... nanti gue kasih lo tau."
Tutur kata Shanika semakin berantakan.
"Sssttt... pulang aja yuk. Gue anter."
"Eungh! Lo belum cerita! Gue udah... " rengeknya, tapi menurut saat gue mengajaknya berdiri.
"Udah tadi." Gue berbohong, supaya dia mau gue seret pulang.
"Really?" Shanika bergumam, yang gue balas dengan anggukan saja.
Gue memapahnya keluar club. Di antara langkah kami menuju mobil, Shanika berkicau lagi.
"Ahh... Moza, right? I know... cewek kayak gitu bikin hamil lagi aja biar kapok!"
Gue tertawa pelan. Kehamilan Moza? Justru itu adalah hal yang paling gue hindari untuk sekarang.
MOZA
Dunia masih berjalan sebagaimana mestinya. Aku masih kebanjiran agenda untuk urusan TJ.ent.
Setelah sukses dengan project E-Sport itu, aku baru saja menandatangani kerja sama untuk adaptasi reality show Korea. Disusul peretelan agenda-agenda kecil yang tanpa henti. Seperti kemarin, aku hadir di final salah satu ajang kecantikan hanya untuk memberikan hadiah simbolis kepada pemenang, menggantikan Bunda.
Intinya, dunia akan terus berjalan dengan segala jungkir baliknya. Tidak peduli aku sedang meringkuk sesak terkubur sedih. Tidak peduli aku merintih sakit ditikam perih.
Gugatan itu ibarat serangan rudal yang tiba-tiba. Meluluhlantakkan sebuah rumah damai kecil yang bahkan belum selesai kubangun. Aku baru saja menata batu-batunya. Berharap dengan pelan akan menjadi jalanku pulang, untuk hidup lebih normal.
Namun, Romeo tampaknya telah merencanakan serangan sejak keterdiamannya belakangan ini. Dan, serangan itu diluncurkan. Tepat waktu.
Saat aku sudah menurunkan harga diriku. Menghias diri sedemikian rupa hingga serupa hidangan untuk dinikmati.
Saat itu, tubuhku seolah berada dalam keadaan "mengambang". Otakku seperti tergenang oleh luapan entah apa. Aku tidak bisa berpikir dan bergerak. Hanya mengandalkan refleks.
Dalam hidupku, aku pernah dua kali seperti ini. Pertama saat Arsen menjelaskan perasaannya dengan begitu gamblang. Bahwa ia begitu menyayangiku sebagai sahabat hingga tidak bisa mengubah pandangannya akan itu. Ke dua, saat aku kehilangan darah dagingku. Janin yang tidak pernah kuharapkan, tapi entah kenapa selalu teringat tiap aku melihat darah menstruasi di pembalutku.
Dan hal itu terjadi lagi saat aku membaca gugatan cerai itu, disusul pernyataan Romeo atas perasaannya.
Aku bergeming, tentu saja. Terlalu banyak yang harus kucerna. Maka ketika Romeo berlalu meninggalkanku, tubuhku yang hanya dalam mode otomatis dan autopilot, segera bergerak untuk mengupayakan sisa-sia puing pertahanan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTIDOTE
RomanceMoza : I was poisoned by the thing called love Runnin' deep inside my veins Burnin' deep inside my brain I needed an Antidote. And Romeo was there Romeo : Coba sebutin, berapa persen kucing yang nolak dikasih ikan? Berapa persen singa yang nolak di...