BAB 34

88.8K 7.4K 3.8K
                                    

MOZA

Aku menggendong ular phyton pertama kali saat usiaku masih lima tahun, saat karya wisata sekolah.

Aku juga pernah berfoto berdekatan dengan komodo, saat melakukan tur bersama keluarga dan orang-orang kantor Ayah. Namun, aku tidak pernah membayangkan akan menangis karena ulah iguana gila. Menurut Romeo, saat ini spesies itu sedang musim kawin, makanya mereka menjadi sangat agresif.

Aku mengoleskan krim berlabel biru untuk mempercepat proses penyembuhan lukaku. Setelah siang tadi dirawat dengan antiseptik dan obat merah oleh Romeo, aku enggan menyentuh air hingga tiba malam hari.

Mau tidak mau aku mandi dan mengguyur tubuhku dengan air supaya bisa tidur. Perih di berbagai sisi tangan bahkan bahuku, membuatku mengeluarkan banyak umpatan di kamar mandi. Kalau saja iguana itu bukan kesayangan Leon, aku sudah membakarnya hidup-hidup bersama kandangnya.

Aku menyingkap baju tidurku saat hendak mengoleskan krim di bagian bahu. Saat itulah Romeo datang dan mengambil tube dari tanganku.

"Aku bisa sendiri," ujarku, hendak merebut kembali tube krim dari tangannya. Yang saat bergerak malah menimbulkan gesekan antara luka dengan bajuku.

Aku memekik, membuat Romeo semakin menampilkan isyarat untuk tidak dibantah. Tanpa menunggu lebih lama, tangannya pun menyingkap rambut dan tali bajuku, kemudian mengoleskan krim ke kulit bahuku. Kami terdiam diiringi helaan napas dan detak jantung masing-masing. Aku tidak suka situasi seperti ini. Romeo yang seperti robot, bahkan saat sedang melihat bagian tubuhku terkeskpos.

Mengalihkan kecanggungan yang mulai merayap, aku mencoba bicara. Well, sebenarnya bukan hanya untuk mengisi hening. Melainkan aku sudah ingin membahasnya sejak tadi.

Pelan, aku memulai. "Soal proyek yang kamu handle, kamu nggak pernah cerita lagi. Kelanjutannya gimana?"

Gerakan Romeo terhenti. Aku menelan ludah. Detik berikutnya, ia kembali melanjutkan aktivitasnya untuk mengoleskan krim di beberapa bagian yang tidak bisa kujangkau.

"Jalan sebagai mana mestinya. Nothing special," katanya, lalu menoleh kanan kiri untuk mencari tutup kemasan.

"In my opinion... it would be great. Partner yang kamu pilih punya track record bagus di banyak negara."

Romeo menyunggingkan senyum ke satu sudut bibirnya. "Nice try, Moz... but if you want to comfort me, it doesn't work."

"Siapa bilang aku nyoba ngehibur kamu? Kamu tau 'kan aku selalu objektif kalau nilai sesuatu."

"Karena faktanya... baik Papa, Zidan, semuanya tau ide aku nggak sebagus itu."

"Itu bukan fakta. Itu pendapat mereka. Hasilnya juga belum kelihatan."

Romeo menoleh, hendak mendebat lagi. Namun, ia malah tidak bersuara dan hanya diam menatapku. Pupil matanya yang berada dalam posisi fokus dan berdilatasi, membingkai dengan jelas apa yang ditangkapnya di sana. Apa lagi kalau bukan bayangan wajahku? Wajahku yang begitu dekat dengannya.

Membuatku mau tidak mau mengamati tiap detail wajahnya. Bulu matanya yang sepertinya lebih lentik dariku, jika aku tidak melakukan eyelash lift, juga mulutnya yang setengah terbuka karena tadi hendak bicara.

Aku meremas jemariku, ketika embusan napasnya menerpaku. Diam-diam aku mengingat apakah aku sudah sikat gigi dengan benar sebelum ini, alih-alih sibuk memperhatikan lukaku. Saat aku masih sibuk menerka-nerka, entah kenapa seperti ada intuisi yang mendorongku untuk maju. Begitu pula dengannya.

Dan tidak sampai hitungan ke sekian, kami memangkas jarak. Bibir kami bertaut, seolah mereka merindukan satu sama lain. Manis dan sensual. Rasa ini.... entah kenapa aku tidak ingin mengakhirinya.

Aku mengangkat tubuhku untuk memperdalam ciuman dan naik ke pangkuan Romeo. Sementara Romeo, dengan instingnya langsung menyambutku. Kedua lengannya yang berotot mendekap tubuhku dan menariknya agar lebih rapat ke arahnya.

Aku mengerang ketika sentuhannya mengenai lukaku. Namun, perih justru memantik gairah. Karena selanjutnya Romeo langsung mengambil kesempatan dari bibirku yang terbuka, untuk melesakkan lidahnya ke dalam mulutku.

Kami hanyut dalam ciuman, setelah sekian lama saling menjauh. Kedua tanganku tak pasti mana yang meremas rambutnya, mana yang mengusap lehernya. Sementara gigiku menggigit bibirnya setiap kali gerakan kami menimbulkan gesekan terhadap lukaku. Namun seolah tidak peduli obatnya bakal hilang karena terusap, kami tidak berhenti.

Feromonku sudah naik. Aku menginginkan lebih dari sekedar cumbuan di bibir. Maka, tanganku bergerak menelusuri dadanya. Melepas satu per satu kancing piamanya dan langsung melesak untuk membelai dadanya yang bidang.

Ketika jemariku bergerak ke bawah dan menyentuh celananya untuk berbuat lebih jauh, tiba-tiba tangan Romeo menghentikanku. Ciuman kami terlepas, aku menatapnya dan tersenyum.

"You want to take it off by yourself, hm?" bisikku, lalu kembali maju untuk memberikan kecupan di lehernya. Memberinya kesempatan untuk membuka celananya sendiri.

"Moz," panggilnya dengan suara parau. Selalu begini setiap kali bercinta. Napasnya tak terkendali, juga suaranya yang berubah semakin serak dan berat.

"Eumh?" Aku merespons sebisaku, hendak menuju bibirnya lagi.

Namun, Romeo justru menghindar.

"We need to stop," katanya, di sela-sela napasnya yang menderu.

Gerakanku terhenti , lantas menatapnya. Pandangan dan deru napas kami saling bertumbukan. Menjadi saksi gairah sedang menyelimuti kami.

"Kenapa?" Aku masih membelai anak rambutnya.

"Aku nggak bisa."

"Maksudnya?"

Aku bisa merasakannya sudah mengeras di bawahku. Apanya yang tidak bisa?

Belum sempat pertanyaan itu terjawab, Romeo menurunkanku dari pangkuannya.

"Rom, what's wrong?"

"I can't. Enggak saat perasaanku masih kayak gini. Enggak saat kita belum nemuin titik mutual. Sorry." Ia menghindari tatapanku lalu mengancingkan piamanya.

Aku terduduk membeku. Mataku memanas karena malu, tercampakkan, dan tidak diinginkan.

"Terus kenapa tadi kamu mau? Kamu sengaja ya?"

Romeo menoleh ke arahku, setelah susah payah mengatur napas.

"Aku kepancing."

Jawaban paling irresponsible yang pernah kudengar. Aku hanya membalas dengan decakan.

"Listen... it's not that I don't want you. I'm fucking horny right now. But I can't. I know I will regret it next morning."

Aku membenahi baju, juga rambutku. Kemudian menarik selimut dan berbaring memunggunginya. Tanpa sadar, air mataku menetes.

"Aku udah keterlaluan ya, Rom? Sampai kamu jijik sama aku," ucapku sambil menahan getaran dalam suaraku.

"Aku..."

"Stop it!" Aku memotongnya. "Aku nggak mau denger," ucapku, tidak ingin merasa semakin sakit.

Malam itu, menjadi salah satu malam paling buruk dalam hidupku.

------------------------------------to be continued

Next? Komen yang buanyaakkkkkkkkkkkkkkkkkkk

ANTIDOTE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang