Chapter 2 : Singa di Tahun Pertama (1)

84 19 3
                                    

Font italic : preview chapter sebelumnya/flashback

Chapter 2 : sudut pandang orang ketiga


---


15 tahun sebelumnya...

"Son Dongju, berpegang erat, kita berbelok!"

"Kau sudah gila!" kepala itu akhirnya mendapat kecupan manis dari telapak tangan Son Dongju. Tiga pemuda terlihat sedang menaiki sebuah kapal kecil beratap kayu menyusuri sungai Kota Lautan Mawar dengan seorang pria mungil yang memegang kendali dayung. Lalu lintas sungai cukup ramai oleh para pedagang buah dan arak. Semuanya berteriak menjajakan barang dagangan mereka. Wangi arak Lautan Mawar yang terkenal itu menggelitik indra penciuman sang sopir kapal, membuat pria kecil itu menengok sebentar ke sumber aroma.

Son Dongju adalah salah satu putra tertua dari keluarga Son. Salah satu putra tertua? Ya, karena ada satu lagi putra tertua dari keluarga Son, yaitu kembarannya bernama Son Dongmyeong. Keluarga Son mempelajari ilmu bela diri dengan busur dan panah sebagai senjata kultivasi. Namun berbeda dengan Dongmyeong yang begitu serius dalam mempelajari praktek ilmu bela diri, Son Dongju hanya pintar dalam teori, strategi, logika, dan juga mempercantik diri. Lihat bagaimana cara ia mengikat rambutnya tinggi tanpa mau memakai pengikat kepala yang seharusnya menjadi identitas keluarga. Ia selalu bilang bahwa pengikat kepala itu tidak cantik. Lalu kemudian mengoleksi hiasan-hiasan rambut kelap-kelip dan ditempelkan di rambutnya.

"Saudara Dongmyeong, bolehkah saudara memukul sesama saudara seperti ini?" tanya pria mungil itu mengadu pada kembaran yang sedang duduk dengan tenang di bawah atap kapal seraya mengipasi dirinya dengan sebuah kipas dengan gambar pegunungan di kertasnya. Son Dongmyeong berdiri sambil tersenyum. Terlihat pengikat kepala di dahinya bergambarkan kepala singa dengan jahitan berwarna jingga. Tangguh dan anggun seperti singa, begitulah kira-kira slogan Keluarga Son Kota Cakar Singa.

"Tentu saja tidak diperbolehkan" jawabnya. Pria mungil itu tersenyum menang ke arah Dongju. "Tentu saja tidak diperbolehkan jika tidak sekeras ini!" kecupan kedua pun didapatkan, bahkan ini lebih keras karena Dongmyeong menggunakan kipas yang dibawanya. Walaupun fokus belajar saudara kembar Son ini berbeda, namun sifat mereka cukup mirip.

"Son Dongmyeong!" teriak pria kecil itu tidak terima.

"Sudahlah, saudara Hwanwoong. Kendalikan kapal dengan benar atau kita tidak akan sampai ke rumah tepat waktu" ujar Dongju kemudian duduk di dalam kapal.

"Baiklah, baiklah" kembali ia raih dayung besar yang ia gunakan untuk menggerakan kapal kembali berlayar.

"Dongmyeong, sebenarnya aku masih belum ingin kembali ke rumah. Aku masih ingin menjelajah" ujar Dongju seraya menyesap teh di meja kapal. Untung saja teh-teh dalam cangkir cantik itu tidak bertaburan ketika berandal Hwanwoong dengan tanpa otak membelokan kapalnya.

"Kita harus belajar, lagipula kali ini kita tidak hanya belajar sendiri. Murid-murid dari keluarga lain juga akan datang untuk belajar di kediaman kita" jawab Dongmyeong yang sudah maklum dengan kemalasan saudara yang lahir satu menit lebih lama darinya itu.

"AH, benar juga, aku melupakan itu. Aku pikir akan tambah menyenangkan bertemu dengan murid-murid yang seumuran dengan kita. Kita bisa bermain bersama. Aku tidak sabar untuk bermain di gunung, berenang di mata air, dan menangkap ayam hutan- ah!" kali ini, kipas yang merupakan hasil karya pengrajin ternama itu terbenturkan ke kepala kelap-kelip Dongju.

"Kenapa di kepalamu hanya ada bermain?"

"Memang apa salahnya? Aku masih 17 tahun, masih berada di umur yang seharusnya bermain" Dongju menjulurkan lidahnya ke saudaranya. Walaupun secara lahir, Dongmyeong adalah kakak dari Dongju, namun anak nakal itu tidak mau memanggilnya kakak dan tidak memperlakukannya selayaknya seorang kakak. "Benar apa yang ku katakan, saudara Hwanwoong?"

The Wind Blew Against The EmeraldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang