Chapter 13 : Menggoda Seorang Pria (1)

31 11 2
                                    

Font Italic : suara batin/preview chapter sebelumnya/flashback
Chapter 13 : sudut pandang orang pertama

---

14 tahun sesudahnya…

Aku dan pria Youngjo ini kembali menggerakan kedua kaki untuk melanjutkan perjalanan. Aku adalah veteran anak gunung, jadi tidak masalah dengan berjalan kaki, namun aku cukup takjub melihat pria disampingku ini ternyata memiliki stamina monster. Aku yakin stamina sepatu ratusan koinnya akan kalah dengannya. Apa kau tidak kasihan melihat sepatu milikmu itu kau injak begitu lama?

Kami hampir sampai ke kaki gunung. Perjalanan benar-benar memakan banyak waktu ketika kami hanya menunggangi kelima jari kaki kami. Pria yang telah setuju untuk menemaniku tidak protes barang hanya menghela nafas. Agaknya itu menyenangkan hatiku.

“Hwanwoong, apa kau sudah lelah?” kira-kira ini pertanyaan ke-274 yang berulang kali pria ini tanyakan padaku. Aku pun dengan senang hati menjawab tidak. Aku rasa pertanyaan berulang seperti ini lebih menyenangkan daripada tidak berbicara sama sekali.

Aku pikir melakukan perjalanan dengan pria setengah bisu ini akan membosankan karena laki-laki itu hampir tidak ada suara sama sekali. Namun, aku salah. Diam-diam pria ini memperhatikan dan merespon setiap perkataan yang aku ucapkan. Walaupun hanya sekedar deheman atau anggukan-gelengan kepala. Paling tidak pria ini berbicara padaku dua kali sehari. Lebih baik daripada tidak ada jawaban sama sekali. Aku bisa mati kebosanan.

“Tidak. Apa kau lelah?” tanyaku kembali dan benar saja, hanya gelengan kepala yang aku dapatkan. Aku cukup puas.

“Kalau aku tidak salah ingat, setelah gunung ini akan ada pantai. Aku pernah ingin melihatnya ketika aku pergi makan sup nasi. Namun selalu tertangkap oleh paman sebelum benar-benar sampai. Pak tua itu…” Aku terkekeh ketika mengingat memori itu. Aku ingat betul ketika paman pemalas itu hampir memasukanku ke dalam sebuah karung untuk menyeretku kembali ke gunung.

“Selamat tinggal, Gunung Weve, terima kasih telah mau ditinggali olehku” ujarku sok sedih. Bohong. Tulang pipiku terasa sedikit ngilu karena menahan senyum, akhirnya aku pergi ke tempat selain gunung yang membosankan ini. “Agak menyesal aku belum berpamitan dengan Nona Moon sebelum melakukan perjalanan”

Tiba-tiba pria disebelahku ini menginjak rem yang dipasang di kakinya secara mendadak. Ia menoleh kepadaku dengan menampilkan sebuah kerutan di antara alisnya.

“Siapa?” tanyanya. Woah, ini adalah reaksi terbesar yang aku terima atas semua omong kosongku beberapa hari ini. Agaknya sedikit berlebihan untuk sesuatu di dalam dadaku.

“Siapa? Nona Moon?” pertanyaan yang sebenarnya aku mengetahui jawabannya. Namun, pria di sampingku ini masih mau repot untuk mengangguk. Aku mengulum senyum, memutar otak mencari kata-kata paling menyebalkan yang bisa aku gunakan.

Aku menepuk kedua tanganku sekali. “Ah, kau belum bertemu dengannya di Kota Teratai Ungu!” seruku berlagak seperti melupakan hal tersebut. “Sangat disayangkan. Jika kau mengetahui betapa cantiknya paras nona itu, kau pasti akan menyesal seumur hidup karena belum bertemu dengannya”

Kulirik kerutan itu semakin memakan dahinya. Pria itu meletakan kedua tangannya ke belakang punggung terlihat semakin serius. Aku menggigit dinding mulutku, tidak asik jika aku tertawa sekarang.

“Ah, kau tidak akan pernah bisa membayangkan betapa lembutnya tubuh nona Moon. Aku serasa lilin yang dipanaskan, meleleh ketika mendapatkan pelukan darinya. Oh dewa, aku sudah sangat merindukannya”

“…” ayolah, kau belum pernah melihat bagaimana wajahmu yang serupa dengan bidadara surga itu sedang berekspresi sekarang bukan? Tidak tahan mulutku untuk tidak meludahkan minyak di atas api.

The Wind Blew Against The EmeraldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang