[xxix] Extra ; Jansen

916 73 144
                                    

─Seperti halnya pelangi yang makin lama warnanya makin memudar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seperti halnya pelangi yang makin lama warnanya makin memudar.

**

Satu tahun sudah berjalan setelah perceraian Alice dan Lawrence. Kehidupan Jansen kini sepenuhnya berubah, mulai dari ibu tiri, saudara tiri dan ayahnya yang sekarang bersikap beda padanya.

Minggu lalu Jansen dimarahi habis habisan karena dia tidak sengaja membuat Daisy, adik tirinya menangis ketika orang rumah sedang tidur, padahal malam itu niatnya Jansen ingin memberikan sesuatu pada ayahnya yang belum sempat ia tunjukan karena Lawrence selalu pulang larut.

Dan tiga hari yang lalu─lawrence melarang keras dirinya untuk menghubungi Darren atau Alice lagi. Sejak hari itu Jansen sangat takut untuk mengirim atau membalas surel yang dikirim oleh kakaknya, padahal dia sangat merindukan laki laki itu.

Sekarang yang ia lakukan hanya duduk di balkon kamar sambil menatap sayu foto keluarganya. Hari ini dia dihukum lagi, setelah dimarahi, dia dikurung di dalam kamar karena membentak Sophia. Bukan salahnya, wanita itu terus terusan mengusik dirinya yang jelas jelas sangat enggan untuk mengobrol bahkan bertukar pandang dengannya. Sikunya terluka karena membentur ujung kursi setelah Jansen mendorongnya kasar.

Kata Lawrence, jangan keluar dari kamar sebelum ia menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Para pelayan juga dilarang untuk memberikan makanan pada Jansen. Ya, tidak masalah karena dia malah bersyukur jika harus mati kelaparan dikamar nya karena perbuatan ayahnya daripada harus hidup bersama penyihir itu selamanya.

Jansen menoleh, melirik pintu kamarnya yang tertutup rapat ketika ia mendengar suara tangisan bayi. Kepalanya sudah pusing malah ditambah suara menjengkelkan itu.

"Ugh! pasti dia menangis lagi" Ia menggerutu sambil menutup telinganya yang hampir sakit karena terus mendengar Daisy menangis sepanjang hari.

Jansen mengambil earphone dan menyumpal kedua lubang telinganya dengan benda itu, mendengarkan musik sambil berbaring di atas kasur besarnya dan memandangi langit langit kamarnya dengan tatapan kosong.

Musik terus mengalun merdu di telinga Jansen, dan dia masih melamun memandangi bintang bintang yang digantung di atasnya, dulu semuanya bercahaya, namun semakin bertambahnya umur jansen─bintang itu redup satu persatu, seolah benda mati itu tau kehidupan pemiliknya yang makin lama makin abu abu. Setelah lima menit memandanginya, matanya kian memberat dan akhirnya Jansen terlelap.

**

"Apa menurutmu kamu tidak terlalu berlebihan pada Jansen?" Sophia menghampiri Lawrence yang kini tengah sibuk membaca di kursi kerjanya sambil membawa secangkir kopi.

"Kalau kubiarkan terus menerus dia membangkang padamu seperti kemarin, itu akan menjadi kebiasaan buruk dan sulit dirubah ketika dia sudah dewasa nanti" Jawab Lawrence tanpa mengalihkan pandang dari buku tebalnya.

"Lawrence.. Jansen tidak keluar dari kamar sejak kemarin sore, dia belum makan dan minum apapun. Kamu tidak khawatir kalau dia sakit? lagipula mengurungnya dikamar atau di ruang belajar justru membuatnya makin kesal, itu bukan solusi. Kenapa kamu juga mendesain kamar dan ruang belajarnya dengan kedap suara? itu sangat berlebihan"

BROTHERWhere stories live. Discover now