(13) Diskusi

17 21 1
                                    

"Bulan depan akan diadakan pertarungan akademi lawan akademi. Jadi saya harap semuanya yang berada di sini mempersiapkan diri masing-masing untuk membawa kemenangan bagi Akademi Sakura nantinya. Dan saya mengumpulkan kalian semua dalam satu ruangan ini untuk membahas bagaimana strategi kita agar bisa memenangkan pertarungan ini. Saya harap kita bisa melakukannya dengan baik. Karena pertarungan dalam merebut markas untuk mencetak koin tertinggi, kita belum pernah berhasil mencapai sepuluh besar."

Dalam ruangan ini, Auristela hanya diam menyaksikan Profesor Carlos berbicara tentang hal perebutan markas bersama dua Profesor lainnya dan 12 anggota dewan. Ya, memang saat nanti pertarungan pemilihan pemimpin akan bertarung merebut markas. Jumlah penguasa markas terbanyak maka dialah yang akan menjadi pemimpin. Dan dari seratus markas, ada lima markas utama. Markas-markas inilah yang menjadi incaran seluruh akademi karena poinnya yang tinggi dan memiliki banyak keuntungan.

"Seperti yang kita tahu, poin tertinggi dari pertarungan ini berasal dari markas Rondland. Saya yakin pasti di antara kalian dapat menguasai markas Rondland. Jadi saya mohon kalian harus melatih diri lebih baik agar dapat mengambil alih Rondland," lanjut Profesor Eva dengan kedua matanya yang terlihat jelas ada harapan besar.

Salah satu dewan, Robert di bagian meja paling kanan mengangkat suaranya. "Kita pasti sulit menguasai markas itu."

"Ya, benar. Markas itu pasti akan dikuasai oleh Reigne Auristela dari Akademi Advillence. Nihil bagi kita mengalahkannya," sahut lainnya, Allard. Apa yang dikatakannya itu seratus persen benar. Dari dua tahun yang lalu, Auristela selalu merebut Markas Rondland untuk Akademi Advillence. Jadi sudah dipastikan Auristela akan mengincar Rondland lagi. Karena Rondland memang markas yang paling banyak memberikan mana bagi pemenangnya. Dan sejak tadi Auristela selalu menyadari tatapan Allard selalu tertuju padanya, mungkin karena dendam. Tapi Auristela berpura-pura saja tidak tahu.

"Tentu saja pasti ada cara. Dia juga manusia sama seperti kita. Jadi pasti tidak ada yang mustahil untuk merebut Rondland, asal kita mau bekerja sama," sahut Profesor Eva."

"Benar kata Profesor. Tinggal kita gabungkan kekuatan saja untuk melawannya, pasti manusia sok hebat itu bisa kita kalahkan," sahut Lisa.

"Mana mungkin kita bisa mengalahkannya? Melawan pengikut-pengikutnya saja kuwalahan. Apalagi melawan pimpinan mereka," ujar Rina pesimis.

"Saya yakin bisa. Lagipula saya sudah tidak sabar untuk menghabisinya. Tahun lalu dia mematahkan jari kelingking saya. Maka tahun ini saya mau mematahkan jari kelingkingnya." Kalau ucapan dari orang yang satu ini tentu saja membuat Auristela cekikikan dalam hati. Sewaktu perlombaan itu memang Auristela sempat mematahkan jari kelingking orang itu. Sebenarnya Auristela tidak sengaja, tapi tetap saja Auristela tidak merasa bersalah.

Ngomong-ngomong, hebat sekali mereka menggosipi orang di depan orangnya langsung. Auristela yang mendengar percakapan mereka semua, langsung geram. Tak terima jika akademi beserta orang-orangnya direndahkan seperti itu.

"Bagaimana jika Lauren saja yang dijadikan pion?" tanya Celine menatap Auristela. Oh lebih tepatnya ini bukan pertanyaan. Ini adalah sebuah tawaran.

"Iya, dia kan tidak memiliki elemen apa-apa," sahut Aiden.

Semua pasang mata milik semua orang yang hadir di ruangan ini mengarah kepadanya, sementara Auristela lebih memilih menunduk menatap tali sepatunya. Bukannya Auristela takut sama mereka, melainkan lebih menarik melihat sepatu daripada wajah mereka yang menginginkan dirinya saat ada maunya saja.

Sekarang Auristela tahu kenapa ia dipanggil kesini. Ternyata mereka mau memanfaatkannya. Mungkin jika Lauren yang ditawarkan, dia pasti akan menerima walaupun dia tahu konsekuensinya. Tapi kalau Auristela tidak. Mana mau umurnya jadi pendek hanya karena menggantikan posisi mereka yang hanya sejenak.

"Dia diam, berarti dia setuju, Profesor," kata Celine tersenyum menatap gadis yang menurutnya rasa takutnya kembali muncul lagi.

"Lauren..." Kal yang berada di samping kiri Auristela memanggilnya dengan lirih nyaris tanpa suara sehingga tidak ada yang mendengar selain Auristela. Auristela yang mendengar segera menatap sisi bawah meja. Di sana tangan kiri Kal terangkat mengartikan menyemangatinya. Dan Auristela mengangguk sembari membentuk gerakan jempol tanda setuju di bawah meja. Namun tanpa mereka ketahui, Allard menyaksikan gerak-gerik mereka dari sisi meja lainnya.

Profesor Eva membuka suaranya. "Benar, Lauren menyetujuinya. Jadi strategi kita—"

"Siapa bilang yang setuju? Saya diam bukan berarti setuju!" Tiba-tiba Auristela memotongnya. "Saran saya jangan merebut Markas Rondland karena pasti akan sulit bila melawan Reigne Auristela. Lagipula juga yang seperti kita tahu pertahanan perisai Reigne Auristela sangat sulit dihancurkan walaupun dilawan oleh seribu ataupun beribu-ribu orang. Saran saya, lebih baik Markas Vasileo. Walaupun Markas terbaik nomor dua, tetapi poinnya masih dibilang tinggi."

"Benar apa yang dikatakan Lauren. Kita harus tahu batasan kita. Kita hanya mampu merebut markas Vasileo. Jangan memaksakan ego untuk merebut markas yang besar dengan melawan pengikut yang besar. Nanti kita yang akan rugi dan anak-anak kita yang akan menjadi korbannya," timpal Profesor Smith menyetujuinya. Sementara ekspresi sepuluh dewan terkejut melihat Lauren yang berani menjawab seperti itu.

Profesor Eva masih bersikukuh. "Tidak! Jangan Markas Vasileo! Kita harus merebut Markas Rondland. Apapun caranya, kita harus bisa mengambil itu. Mau dengan cara curang sekalipun, bahkan sampai mematikan nyawa Reignenya. Kalau bisa sekalian juga hancurkan Akademi Advillence."

"Tapi itu mustahil, Profesor Eva. Keselamatan kita lebih penting," ujar Allard.

"Tidak! Tidak ada yang mustahil di dunia!"

"Saya setuju dengan pendapat Profesor Eva!" balas Allison.

"Saya juga sangat setuju," sahut Yuna juga.

"Kita harus mampu merebut posisi tinggi," kata Gara.

"Tapi saya tidak setuju!" ucap Profesor Smith lantang.

"Kenapa anda tidak setuju, Profesor?" tanya Profesor Carlos. "Bukankah di masa lalu anda pernah dikhianati oleh Akademi Advillence? Seharunya anda memiliki emosi dan rasa dendam pada kaum-kaum yang hampir menghancurkan Akademi Sakura dan Kota Sakura. Kita harus menghancurkan balik Akademi Advillence beserta pengikutnya sampai tak tersisa satupun dari mereka."

Auristela diam-diam mengeram marah mendengar keputusan konyol itu. Auristela mengambil sebuah cangkir yang berisi teh hangat. Lantas langsung disiramkan pada wajah Profesor Carlos Kemudian Auristela menutup wajahnya, pura-pura menyesal. "Maaf, Profesor Carlos, saya tidak sengaja."

"Kau-MURID TIDAK PUNYA SOPAN SANTUN!"

Allard lantas berdiri dan hendak menangkap Auristela atas perbuatan pembuat kerusuhan dan ketidaksopanannya karena telah menyiram Profesor Carlos dengan sengaja. Namun belum sempat memegang kedua tangannya, Auristela lebih dulu menendang Allard hingga lelaki itu terpental hingga menabrak lemari yang jaraknya jauh ada di sana. Kemudian Auristela segera berlari dan membuka pintu, lalu keluar dari tempat ini.

Semuanya menatap kepergian seseorang gadis yang tiba-tiba berubah menjadi berani. Mereka bertanya-tanya, dimana rasa ketakutannya? Dimana rasa patuhnya?

Sementara dari semua orang yang ada disini terkejut, membantu Profesor Carlos dan Allard, diam-diam ada seseorang yang mengepal tangannya erat. Dia, Celine tak terima jika Lauren menjadi kuat dan berani seperti tadi. Bahkan apa itu? Padahal Lauren sudah diserang, tapi serangan itu melenceng darinya. Darimana dia bisa belajar sekuat itu tanpa ada elemen?

 Darimana dia bisa belajar sekuat itu tanpa ada elemen?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rabu, 25 Agustus 2021

Sakura Academy (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang