Another Point of View: Louis

82 11 10
                                    

Aku merindukannya.

Tidak. Jangan.

Tapi aku tak bisa bohong.

Apa aku telpon saja? Aku kan punya alasan untuk menelponnya.

Ah jangan, nanti dia akan curiga.

Tapi aku ingin dengar suaranya.

AAARRRGGHHHH DAMMIT! HARRY KELUARLAH DARI KEPALAKU!

"Baru pertama ini aku melihat orang kasmaran jadi pemarah. Biasanya tak begini," Celoteh Niall sambil meminum kopinya. Aku mengangkat gelasnya sedikit sehingga beberapa tetes tumpah ke hoodie putihnya. "Ada apa denganmu, sialan? Bisakah kau tenang sedikit?"

"Tidak,"

"Sudah kuduga," Aku memutar bola mataku tak peduli.

tok tok tok

Tanpa ada yang mempersilahkan, Eleanor pun masuk dengan beberapa kertas di tangannya. "Sedang apa kau disini, Louis? Bukannya kau harusnya di ruanganmu dan menyelesaikan lagu milik Abel?" Tanya perempuan itu tanpa jeda.

"Aku sudah tanya, katanya jangan sentuh lagunya sebelum ia datang," Jawabku malas. Eleanor hanya mengangguk sambil duduk disebelah Niall. "Wajahmu memang kusut, tapi hari ini nampaknya memburuk,"

Aku hanya membalasnya dengan jari tengah. "Ia sedang kasmaran. Tapi dia malah marah-marah tidak jelas karena tidak bisa bertemu Harry," Mataku dan mata Niall melotot lalu aku memukul pundak Niall keras.

"Maaf Louis aku tak sengaja, sumpah demi tuhan!" Ujar Niall sambil menunjukkan kelingkingnya. Pembohong. Moodku semakin jelek sekarang.

"Aku tak ada urusan dengan pertengkaran kalian ya karena ada hal yang lebih penting untuk disampaikan," Ujar Eleanor. Kami berdua duduk dengan benar sambil mendengarkannya.

"Jadi minggu depan aku ingin mengadakan pesta untuk karyawan-karyawan kita. Sebagai tanda terima kasih kecil untuk mereka, bagaimana?"

"Maksudmu semacam prom?"

"Mungkin? Intinya pesta. Kau tahu bagaimana seharusnya pesta kan?" Sudah pasti aku tahu, dia kira aku bodoh atau bagaimana?

Aku mengangguk.

"Berarti kita boleh mengundang seseorang?" Tanya Niall, Ele pun mengangguk. Aku bisa mendengar Niall berbisik yes disana.

Haha pesta. Kemungkinan juga seperti prom. Pasti membosankan. Hanya berdansa dengan pasangan masing-masing. Pada akhirnya juga aku akan makan kue-kue kecil dipojokan.

"Bagaimana menurutmu, Lou?"

"Ya itu ide yang bagus, sepertinya," Jawabku.

"Bagus. Jadi aku tinggal mengatur semuanya. Kalian jangan lupa bawa date masing-masing, okay? Bye boys," Ujar Ele yang langsung keluar ruangan. Aku hanya menghela napasku tajam lalu tidur diatas boneka milik Niall.

"Kenapa kau lemas sekali setelah mendengar pengumuman tadi? Kau harusnya senang, kawan. Karena ini kesempatanmu," Ujar Niall sambil duduk disebelahku. "Kesempatan untuk makan kue-kue manis sambil melihatmu dan Amelia berdansa dengan mesra kan? What a great chance, Horan," Jawabku sarkas, karena memang begitulah pada akhirnya.

"Bukan bodoh," Ia melempar bantal kecil ke wajahku, " Ini kesempatanmu untuk mengajak Harry. Aku yakin ia mau," Lanjutnya.

Kali ini ia berkata benar.

Tapi...

"Kenapa wajahmu tetap begitu? Oh tuhan, Louis jangan membuatku bingung," Keluh Niall sambil mengusap wajahnya karena tingkah kawannya yang membuatnya lelah. "Aku bingung bagaimana caranya aku menanyakan hal ini ke Harry? Maksudku kita belum begitu dekat sebagai teman kau tahu makanya aku sangat-"

"Persetan dengan hal itu. Kalau kau tak berani mengajaknya maka aku yang akan bertanya padanya," Potong Niall sambil mengambil ponselnya untuk menelpon Harry, "JANGAN!"

Ia malah beranjak dari tempatnya agar ia bisa menelpon Harry dengan jelas. "Oh hai, Harry," Ujar Niall, mati lah aku. "Kau ada waktu kosong kapan? Louis ingin berbicara denganmu"

"Ponselnya baru saja tersiram kopi tadi pagi," what the fuck?

"Oh okay, bagus,"

"Bagaimana kalau hari ini di cafemu?"

"Begitu saja ya, nanti aku beritahu Louis. See ya!"

Niall kembali ke tempatnya semula, "Apa yang kau lakukan, huh?" Tanyaku sambil memukul lengan Niall. "Membantu sahabatku yang sedang jatuh cinta, apa lagi?" Ia hanya santay sambil meminum kopinya.

Aku menenggelamkan wajahku ke bantal sedangnya, rasanya malu tak kepayang. "Daripada kau bersikap berlebihan seperti itu, lebih baik kau susun apa yang akan kau katakan padanya. Aku tak mau mendengar kalau kau terbata-bata," Ceramah Niall, aku hanya cemberut.

***

"Kau sudah sampai?"

"Berisik, aku sudah masuk"

"Bagus, jangan matikan teleponku,"  Ujar Niall diseberang sana. Ia memastikan agar semuanya berjalan lancar.

Saat aku masuk, aku sedang melihatnya dikasir, sedang melayani pelanggan. Aku pun melangkahkan kakiku ke meja kasir, ia belum sadar akan kehadiranku. Baru setelah ia selesai dengan pelanggan didepanku, ia baru sadar kalau ada aku disitu.

"Silah- ya tuhan, Louis!" Ujar Harry sedikit kaget, aku hanya tersenyum. "Baik, apa yang bisa ku bantu?"

"Aku mau Vanilla Latte dan satu lagi minuman yang kau suka," Jelasku.

"Yang aku suka? Untuk apa?"

"Untukmu pastinya," Harry memasang wajah bingung namun tetap menulis pesananku. "Ah iya, minumanmu akan ku bayar, jangan berani-berani kau ganti uang ku okay?" Ia hanya memasang wajah pasrah sambil berkata, "Baiklah, terserah kau saja. Lagi pula pelanggan adalah raja, bukan?"

Aku terkekeh. Dia lumayan lucu.

"Totalnya jadi 5.23 Pounds," Aku memberikan 6 Pounds, lalu ia memberiku kembaliannya.

"Sampai ketemu di meja seperti biasanya, hermoso*," Ujarku sambil mengedipkan sebelah mata, pipinya memerah tapi ia malah membuang pandangan ke arah lain. Aku pun tersenyum sambil menuju ke mejaku.

Terdengar suara tawa puas dari earphoneku, "Dasar perayu ulung," Kata Niall.

***

*hermoso: tampan (in spanish)

Around The World # Larry StylinsonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang