Tawaran Itu

131 17 12
                                    


Bau kopi yang semerbak menerpa hidungku. Ruangan yang dingin dengan kaca yang dingin pula. Asap dari seduhan kopi mengepul ke seluruh penjuru ruangan yang belum banyak pelanggan ini.

Ini adalah hari Minggu, tapi entah kenapa kafe tidak terlalu ramai. Mungkin karena besok Senin dan orang-orang mulai bekerja? I don't know.

Setelah aku mengantar pesanan, aku sangat bosan, aku pun memainkan ponselku sejenak. Sekedar melihat-lihat beberapa cuitan twitter milik kawan-kawanku. Kebanyakan isinya hanya curhatan mereka saat kesal, haha kasian sekali.

"Harold, Affogato satu dan juga kentang gorengnya!" Seru Liam yang ada di sebelahku. Sialan, dia kan tidak harus berteriak.

Aku langsung mengoper pesanan kentang goreng ke dapur, karena aku hanya membuat kopi di depan. "Tay, ada pesanan kentang goreng satu ya," Taylor pun mengangkat jempol.

Aku pun segera membuat Affogato yang di pesan. Setelah selesai, aku mengecek ke dapur apakah Taylor sudah selesai atau belum. "Ini, Haz. Kau saja ya yang antar, sepertinya aku ada panggilan alam. Itu kentangnya ada di meja," Ujarnya sambil berlari ke toilet. Dasar.

Aku mengambil kentang juga Affogatonya. "Li, ini diantar ke meja berapa?" Tanyaku, tangannya membentuk angka 2 dan 8, berarti meja 28.

Aku mengantarnya dengan hati-hati. "Ini tuan, pesanan anda. Selamat menikmati," Ucapku setelah menaruh pesanannya. Saat mau berbalik, orang itu menahan tanganku. Itu Louis yang kemarin!

"L-louis?"

"Hi, Harry!"

"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku bekerja disini? K-kau stalker ya?" Tanyaku kebingungan, ia terkekeh manis. "Aku bahkan baru tahu ada kafe disini setelah hujan diluar dan kebetulan aku sedang tidak jauh dari sini. Ya sudah, aku pesan sekalian saja," Jelasnya, aku hanya mengangguk paham.

Kalau hujan diluar kenapa dia pesan Affogato? Orang aneh, biarkan saja otaknya membeku, haha.

"Kau bekerja disini rupanya," Ucapnya sambil menyendok Affogatonya. "Ya, begitulah,"

Aku pun meninggalkannya sendiri. Tapi sebelum aku mulai melangkah, tangan bertato itu mencekalku. "Hey, jangan pergi dulu. Kita bisa berbincang sejenak, bukan?" Tanya nya. Aku memutar mataku, "Aku harus tanya bos ku dulu," Ia pun mengiyakan dan melepaskan genggamannya.

Aku menuju kasir dimana Zayn-bos ku- sedang membuat kopi. Aku yakin itu untuk dirinya sendiri, karena ia lebih suka membuatnya sendiri. Aku menepuk pundak Zayn pelan, "Z, aku ijin istirahat sebentar ya. Ada yang harus aku bicarakan dengan temanku di meja 28 sana," Ujarku, ia berdeham sambil fokus dengan kopinya.

"Sure, take your time, Harold. Tapi, jika Liam memanggilmu, kau harus kembali, okay?" Ujarnya sambil merengkuh Liam yang ada di sebelahnya, mereka pun tersenyum penuh makna, mereka lucu sekali.

"Baik, love birds,"

"Carilah 'Love Bird' mu sendiri, Haz. Tatomu saja punya pasangan," Ledek Liam yang masih direngkuh oleh kekasihnya. Sialan. Aku menjulurkan lidah ke arah mereka.

Aku pun menuju meja milik Louis. Sepertinya ia sudah menunggu sejak tadi. Aku duduk di depannya, "Baik, Lou. Ada apa?" Tanyaku. "Tak apa. Aku hanya ingin tanya kabarmu dan aku mau tanya soal kontrak kita kemarin," Ah sudah kuduga dia akan menyinggung hal itu.

Sebenarnya hal itu sudah menghantuiku seminggu ini. Rasanya ingin aku terima, tapi aku takut aku tak bisa mempertanggungjawabkannya. Teman-temanku bilang untuk segera menerima tawaran tersebut, tapi aku tetap ragu.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, "Sebenarnya aku masih bingung dengan tawaranmu. Aku takut jika nantinya aku tidak bertanggung jawab atas kewajibanku," Kataku dengan nada ragu.

Ia tersenyum manis sambil menggenggam tanganku dengan kedua tangannya. Tangannya ternyata lebih kecil dari dugaanku, aku kira tangannya berotot. Namun, aku tetap tersentak kaget dengan sikapnya yang tiba-tiba.

"Hey Harold, kau harus percaya diri. Kau pasti bisa menjalankan semua itu. Dari lubuk hatiku yang terdalam aku tahu kau bisa melakukannya. Maka dari itu, ada aku yang akan membantumu untuk sukses. Bagaimana?" Katanya, sekejap matanya berbinar indah.

Netra biru laut itu menyihirku, seolah aku tak boleh berpaling, bahkan sekadar bergerak. Aku merasakan hawa panas dingin diseluruh badanku, jantungku juga berdetak terlalu kencang, aku sampai takut jika Louis bisa mendengarnya.

Ia orang yang baru seminggu ku kenal, tapi mengapa ia sangat yakin dengan diriku yang tidak berguna ini? Apa yang ia lihat dariku? Aku sangat ingin menanyakan banyak hal kepadanya.

"H-harry?"

Mataku mengerjap, aku tersadar karena pertanyaannya. Demi tuhan, aku benar-benar malu sekarang. Aku melepaskan genggaman tangannya dengan segera. "Ah, um, m-maaf aku mendadak melamun tadi. Terima kasih atas kata-katamu, Lou," Kataku sambil tersenyum salah tingkah.

Louis kembali tersenyum, "Sama-sama, Harry. Jadi, bagaimana keputusanmu?" Tanya Louis.

"Sepertinya aku akan mencoba. Tidak ada salahnya kan?" Balasku sambil masih salah tingkah.

"Akhirnya!" Louis memelukku erat secara tiba-tiba. Apa orang ini tidak bisa pelan-pelan?

Tentu saja pelukan itu mengejutkanku, bahkan aku yakin wajahku memerah.

Tuhan, tolong jangan biarkan Louis mendengar degup jantungku.

Aku melepaskan pelukan kami dengan canggung, wajahnya sedikit bingung namun sepertinya ia mengerti aku kaget.

"Eum, kalau begitu nanti aku kabari apa saja yang harus kau siapkan, okay?" Ujarnya, aku hanya tersenyum dan mengangguk.

"HAROLD!" Teriak Liam dari kasir, nampaknya mulai ramai.

"Sudah dulu ya, Lou. Nanti kirim pesan saja," Ujarku sambil beranjak, ia melambaikan tangannya. Oh iya, dia sudah dapat nomorku.

Aku pun kembali ke kasir membantu Liam

Around The World # Larry StylinsonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang