Bab 2

76 6 0
                                    


"Len. Dari mana aja lo?" Nia menyapa Elena saat melihat dia masuk ke dalam ruangan kantor dengan punggung melengkung. Wajahnya murung.

Seisi kantor administrasi gudang itu menoleh dan memperhatikan Elena. Semuanya langsung menghentikan kegiatan mereka dan merapat, menjadikan Elena sebagai titik pusat. Nia, Inge, Lami, dan Erni, adalah teman-teman kantor Elena.

Kantor administrasi gudang ini adalah divisi paling kerdil di perusahaan raksasa tempat mereka berada. Letak kantornya juga terpencil. Menempati satu bangunan tersendiri, memojok di belakang gedung kantor megah milik perusahaan itu yang berlantai dua puluh. Kalau dilihat dari jauh, kantor mereka seperti toilet umum di belakang istana Raja.

"Apaan sih? Lo orang kenapa?" Elena memutar kepala. Teman-temannya melotot memperhatikan, seolah-olah dia tumbuh kumis.

"Lo jemput anaknya Pak Surya lagi yah?" Tanya Inge.

Elena menghela napas, kemudian menghempaskan diri di bangku miliknya. Dia tahu, sudah beberapa minggu ini teman-temannya heboh. Kantor kecil yang biasanya terlupakan ini, tiba-tiba menjadi pusat perhatian seluruh perusahaan. Sejak Pak Surya, pemilik perusahaan raksasa ini, seringkali memanggil Elena untuk melaksanakan sebuah tugas pribadi yang tidak ia berikan kepada orang lain.

Dengan wajah murung Elena mengangguk. Teman-temannya langsung memajukan tubuh, menyempitkan jarak dengan Elena.

"Lena, gue bangga banget jadi temen elo. Sekian lama, divisi kita dianggap anak tiri di perusahaan ini. Sejak ada elo di sini, semuanya berubah. Sekarang tiba-tiba semua orang perhatiin kita Len." Kata Inge dengan mata berkaca-kaca.

"Iya Len. Benar. Kalau dulu-dulu, kantor ini seperti ban serep. Kalo lagi susah baru inget ada kita. Kalo lagi senang, anak-anak di kantor ini mah gak pernah diajak." Kata Lami sambil mendorong naik kacamatanya yang merosot ke ujung hidung. Wajahnya bercahaya, seperti Ibu mertua bertemu menantu idaman.

"Ngomong-ngomong Len, sebenarnya, lo ada hubungan apa sih sama Pak Surya?" Tanya Inge.

"Boss sama karyawan lah." Jawab Elena.

"Ah, masa sih hanya itu." Erni menatap Elena penuh curiga. Pandangan matanya menyapu Elena dari puncak kepala hingga dasar kaki. "Lalu, kenapa yang lain-lain gak pernah disuruh? Kenapa selama ini hanya elo doang? Eh Len, asal lo tau yah. Gue tujuh tahun kerja di sini, gak pernah bertemu langsung sama Pak Surya. Hanya lihat muka dia di tivi sama majalah doang. Lah elo, baru kerja sebulan di sini. Hampir setiap hari dipanggil ke ruangan Pak Surya."

"Iya. Kenapa yang lain-lain gak pernah disuruh Len? Kenapa elo doang? Gue juga mau dong disuruh jemput anaknya Pak Surya. Anaknya ganteng nggak Len. Kasih kita lihat fotonya dong." Nia menyenggol Elena berulang kali dengan wajah memelas.

Elena memperhatikan Nia dengan memasang wajah seolah sedang menatap orang yang belum makan tiga bulan. "Nia, lo percaya gue deh, lo beruntung nggak disuruh-suruh. Gue kagak ada fotonya. Harga handphone gue bisa turun kalo nyimpen foto dia."

"Tapi lo bisa kan, kasih gambaran mukanya mirip artis mana gitu?"

Artis? Elena menatap lesu kepada Nia. "Kalo lo mau tahu mukanya, bayangin aja kaleng krupuk, atasnya ditempel sikat kamar mandi. Tapi kaleng krupuknya dilindas traktor dulu yah." Geraham Elena mengeras. Cukup dengan membayangkan wajah Adit sudah membuat darahnya mendidih.

"Jangan-jangan, lo mau dijodohin sama anaknya yah?" Tanya Inge.

"Pffftttt." Elena yang sedang meneguk air nyaris tersedak ketika mendengar kata-kata Inge. Dia terbatuk-batuk sambil menepuk dada berulang kali. Dengan mata berair dia menatap Inge. Hanya dia yang tahu. Kalau dia dan Adit dikurung di dalam satu ruangan, maka hanya ada satu di antara mereka yang akan keluar hidup-hidup. Tapi Elena tidak mungkin berkata seperti itu di depan teman-teman kantornya. Bagaimanapun, Adit adalah anak Big Boss. Memarahi Adit dengan dukungan Ayahnya adalah satu hal, tapi menjelekkan anak Big Boss di depan karyawan lain adalah hal yang berbeda.

Aditya and Elena (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang