Bab 24

37 4 0
                                    


Elena terkejut saat melihat Adit melangkah masuk ke dalam gedung gelanggang olahraga. Ngapain Adit masuk ke sini? Selama Elena mengekor Adit keluar masuk kampus, belum sekalipun Adit membawanya masuk ke dalam gelanggang olahraga ini.

Saat Elena melihat gedung sunyi ini, dia langsung merasa ini adalah tempat yang sangat sempurna untuk menghindar sesaat dari Adit. Tapi ternyata, tidak juga.

"Hei, lu ngapain di sini. Kok handphone lo gak nyala?" Tanya Adit. Dia setengah berlari menaiki deretan bangku penonton hingga tiba di samping Elena.

"Gue? Duduk aja. Ngadem. Lha, lu ngapain?"

"Gue nyariin elo. Lu kenapa mendadak ngilang gitu?"

"Kok lo bisa tau gue ada di sini?"

Adit mengangkat bahu dan memberikan seringai misterius. "Gantian dong. Lu dulu juga bisa tau gue ke mana aja."

Elena terbelalak. Apa maksudnya? Elena tau karena Pak Surya memasang lusinan alat pelacak di berbagai tempat. Di dalam mobil Adit, jaket, sepatu, ransel, dsb.

"Bokap lo yang kasih tau?"

Giliran Adit yang tercengang. "Bokap? Ya enggak lah. Ada-ada aja. Masa bokap gue bisa tau lu ada di mana?"

Elena menghembuskan napas lega. Dia hampir saja memeriksa sepatu dan tas ranselnya. "Lah. Makanan lu mana? Bukannya tadi barusan dibawain Maya? Seharusnya lu masih makan ini."

"Gak laper gue. Lu sendiri gimana? Lu gak mau makan siang dulu?"

Elena menggeleng. Gelanggang olahraga yang besar dan lengang itu membangkitkan keheningan. Iseng dia membentuk corong dengan tangannya, dan berseru, "Huuuu." Suaranya terperangkap di dalam ruangan besar itu dan memantul sana sini. Untuk sesaat seolah ada empat lima orang yang berturut-turut ikut berseru di segala sudut.

"Eh. Gemanya panjang amat." Adit ikut membentuk corong dengan tangannya dan berseru. "Whoiii!" Suaranya ikut memantul sana sini hingga menghilang di dalam kesunyian.

Mereka tertawa bersama. Suara tawa mereka ikut bersahutan, memanjang hingga seolah ada beberapa kelompok yang sedang saling menertawakan.

"Hari Minggu besok jangan ke mana-mana yah." Adit mewanti-wanti.

Elena mengangkat alis dan menoleh. "Kenapa?"

"Gue jemput. Lu ikut aja nanti."

"Mau ke mana? Minggu gue libur. Gak harus temenin elo."

Adit terdiam. Dia menoleh dan memperhatikan Elena dengan seksama. "Len. Memangnya lu harus ditugasin, baru mau pergi sama gue?"

Elena bertukar pandangan dengan Adit. Rasa penasaran yang sangat pekat terpancar dari pandangan mata Adit.

Elena memiringkan kepala dengan alis berkerut. Beberapa bulan yang lalu, dia bisa dengan mudah menjawab pertanyaan itu. Tanpa perlu berpikir. Sekarang sudah berbeda. Dia harus memeras otak untuk menemukan jawaban yang tepat. Dan itupun akhirnya berakhir hampa.

Akhirnya Elena hanya menghela napas. "Bukan gitu juga sih. Tapi, gue selama ini heran. Dit, sebenarnya, kenapa sih lu maunya gue temenin ke mana-mana? Apa kita kurang sering ribut?"

Bola mata Adit berputar. Dia menaikkan sebelah kaki ke bangku, matanya menerawang. "Kenapa? Sebetulnya, ceritanya panjang. Alasan gue yang sekarang dengan yang dulu udah berbeda."

Mata Elena membesar. Dia menegakkan tubuhnya. "Gue banyak waktu. Sepanjang kereta juga gue ladenin. Ceritain dong."

"Tapi lu jangan marah yah. Kalo lu marah, gue langsung berhenti cerita."

"Ok." Kepala Elena mengangguk kencang.

"Awalnya karena gue pingin bikin lo kesal." Adit nyengir lebar kepada Elena.

Elena menatap datar kepada Adit. Kalau mengenai itu, dia sudah bisa menduga. "Trus, kalau sekarang gimana?"

"Kalau sekarang.....rasanya ada yang kurang kalau gak ada elo."

Tatapan mata Elena menyimak wajah Adit. "Terus?"

"Terus apaan? Ya udah, itu aja. Udah terjawab kan?"

"Lu bilang ceritanya panjang. Apa panjangnya kalo hanya segitu?"

"Kalau diceritain secara mendetil jadi panjang. Tapi intinya ya itu tadi. Itu aja udah cukup jelas kan?"

Elena masih merengut. Dia mengharapkan penjelasan yang lebih. Katanya gak boleh marah? Dia sudah mempersiapkan mental, tapi ternyata alasannya hambar. Kalau hanya seperti ini, mana mungkin Elena marah?

"Sebetulnya, bukannya panjang sih. Tapi....sebenarnya gue juga gak ngerti, entah sejak kapan, rasanya ada yang aneh kalau gak ada elo. Jadi kalau harus diceritain, jadi aneh. Mungkin pendek jadinya, tapi pendek itu karena gue sendiri gak ngerti cara jelasinnya."

"Lo bego soalnya."

"Nah, itu juga salah satu sebabnya gue merasa ada yang kurang kalo gak ada elo."

"Hm? Salah satu sebabnya? Yang mana?" Elena bingung.

"Makian elo."

"Hah? Lu suka gue maki? Kuping lu gatel yah kalo gak dengar makian gue." Elena terbelalak menatap Adit. Ada ketagihan rokok, ketagihan bir, bahkan ketagihan micin. Tapi ketagihan makian, Elena belum pernah dengar. Ada juga orang yang segila ini yah?

Adit malah tertawa saat melihat Elena terkejut. "Gue susah jelasinnya. Pertama-tama memang ngeselin liat lu marah-marah. Tapi, lama-lama lu jadi keliatan lucu waktu marah-marah. Mungkin karena lama kelamaan gue paham, lu gak pernah serius waktu marah-marah."

"Eh? Tau dari mana gue gak serius?" Elena melotot. Jadi selama ini, dia marah gak dianggep?

"Lu kalo serius sama omongan lo waktu marah, gue udah mati puluhan kali." Sahut Adit sambil tertawa kecil.

"Itu karena gue pemaaf."

Adit tertawa kecil. "Terserah, lu mau bilang apa. Sekarang, kembali lagi, hari Minggu ini sediain waktu yah. Siang gue jemput."

"Mau ke mana?"

"Ke rumah gue."

"Ngapain?"

"Bokap gue mau datang ke rumah. Dia jarang ada waktu untuk nyantai. Jadi, kalau dia kebetulan datang ke rumah, biasanya kita ngadain pesta kecil-kecilan. Tapi makanannya enak-enak."

"Pesta?" Wajah Elena mengeriput. Dia tidak suka menghadiri pesta. Bajunya saja dia tidak punya. Dia menguras otak, memikirkan alasan yang tepat untuk menolak. Ini adalah mengenai Pak Surya. Elena tidak bisa sembarangan menolak.

"Bukan pesta seperti yang ada di pikiran elo. Ini hanya acara makan-makan biasa. Bukan yang harus pake gaun macam cinderella, dan muka didempul bedak setengah senti. Lu pake begini aja juga gak apa-apa. Gue juga hanya pakai baju rumahan." Adit menambahkan, seolah dapat membaca pikiran Elena.

"Pake baju santai aja?" Tanya Elena ragu-ragu.

"Iya. Pokoknya, seperti yang biasa lu pake. Lagi pula, bokap gue pasti mau ketemu elo."

"Pak Surya mau ketemu gue? Kenapa?"

"Dia mau liat, pusar kepala lo ada berapa?" Akhirnya kesabaran Adit habis. Si Mak Lampir ini bawel sekali. Anak ini cocoknya langsung diseret ke tempat tujuan. Kalau dirayu, malah makan waktu.

"Eh, gue kan nanya. Masa begitu cara lo mau ajak anak gadis orang? Lu harus kasih keterangan yang jelas dong. Gue kan takut hilang." Bibir Elena mengerucut.

"Pokoknya, lu duduk di rumah, tunggu gue datang. Di dalam mobil lu juga duduk. Di dalam rumah, lu juga duduk. Pokoknya, lu hanya duduk, makan enak, senyam senyum, setelah itu gue antar pulang. Enak kan?"

Elena menghela napas panjang. Dia tidak mengiyakan, juga tidak menolak. Ngomong-ngomong soal makan, dia tiba-tiba merasa lapar.

"Gimana kalo nanti kita bahas lagi, setelah lu traktir gue makan. Gue susah mikir kalo perut masih kosong."

Adit terkekeh geli sambil bangkit berdiri. 

Aditya and Elena (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang