Bab 9

40 4 0
                                    


Adit senyam senyum di dalam kelas. Kepalanya ditopang oleh sebelah tangan yang terlipat di atas meja. Sebuah buku tulis diletakkan di bawah hidungnya. Tangannya sibuk menggoreskan pena ke atas buku tulis.

Kelas sudah selesai. Dosen sudah meninggalkan ruangan. Yang tersisa di dalam kelas hanya serpihan mahasiswa yang mager dan terlalu banyak waktu. Tapi ada juga yang sengaja tetap tinggal di dalam kelas karena modus.

"Kak Adit."

Adit mengangkat kepala dan beradu mata dengan Wike. Adit hanya mengangkat alis tanpa mengeluarkan suara.

"Ini untuk kakak." Pipi Wike bersemu merah sambil menyodorkan sebuah amplop berwarna pink. Sebuah kecupan bibir berwarna merah marun menyegel bukaan amplop.

Adit menerima amplop pink itu dengan tatapan mata yang hampa, sementara Wike yang tersipu malu langsung berlari meninggalkan ruangan kelas.

"Lumayan, mejanya dari tadi goyang." Adit bergumam sambil melipat amplop itu dan menggunakannya untuk ganjalan meja.

"Lo gila yah?" Tanya Lius melongo. "Itu si Wike yang ngasih surat cinta." Wike adalah kembang kampus mereka. Konon, senyuman Wike dapat membuat para pria terjangkit diabetes.

"Lo tau dari mana ini surat cinta?" Tanya Adit curiga.

Lius menatap lesu kepada Adit. "Amplop pink, pakai stempel bibir, mang artinya apa lagi? Nagih utang?" Jangan-jangan penyakit Ihsan menular. Lius membatin.

"Ooohh." Sekarang Adit manggut-manggut maklum. Tapi dia tetap melipat amplop itu dan meletakkannya ke kaki meja. Setelah itu dia kembali senyam senyum sambil menggores buku tulis.

"Oohh??? Hanya itu respon elo setelah dapet surat cinta dari Wike? Lo homo yah?" Lius terbelalak memperhatikan Adit. Cowok lain harus ngambil nomor untuk sekedar ngobrol sama Wike. Lha yang satu ini, portal udah dibuka tapi gak mau masuk.

Adit berdecak kesal saat mendengar tuduhan Lius. "Pikiran lo receh amat sih? Kalo gak suka sama Wike lantas homo gitu?"

"Wike itu cantik, tinggi, badan lulusan ngegym, cara ngomongnya juga bikin hati sejuk. Kalau yang seperti ini lo gak mau, yang lo cari macam apa bro?"

"Itu urusan pribadi gue." Jawab Adit tersenyum. Dia kembali menggoreskan tinta ke buku tulisnya.

Lius terbengong-bengong melihat Adit. Perlahan dia menggeser duduk, dan mengintip ke buku tulis Adit. Tidak ada rumus maupun huruf di atas buku itu. Hanya ada sketsa kasar yang berbentuk kursi malas, di sampingnya ada kotak persegi empat berisi air.

"Itu gambar apaan bro?" Tanya Lius. Keningnya berlipat, berusaha menebak alasan Adit senyam senyum sorang diri.

Adit terkesiap. Secepat kilat dia menutup buku tulisnya. "Gak tau. Gue sembarangan gambar."

Lius sedikit menggeleng sambil menghela napas. "Lo makan obat dulu gih. Gue gak mau kalo sampai ada dua orang Ihsan jadi temen gue."

Adit hanya merespon dengan sekali lirikan mata. Kata-kata Lius berlalu seperti tiupan angin. Sudah lebih dari dua minggu sejak mereka pulang dari puncak. Sejak pulang dari puncak, kolam renang dan kursi malas terlihat berbeda di mata Adit. Bisa bikin Adit senyum-senyum sendiri.

Waktu dua minggu ternyata tidak cukup untuk meredakan rasa hangat yang diberikan oleh tubuh yang menindihnya sepanjang malam. Dan orang yang menjadi penyebab rasa hangat itu belum muncul sejak pulang dari puncak. Dasar. Tidak punya tanggung jawab!

"Yus. Teman gue ada masalah agak rumit. Lo bisa bantuin nggak?" Tanya Adit sambil melingkarkan lengannya ke leher Lius.

"Nggak."

"Nih gini. Bokap dia depresi berat setiap kali lihat dia gak jaga toko, dan setiap kali depresi berat, bokapnya harus dirawat di rumah sakit. Makanya setiap kali dia nggak jaga toko, selalu ada perawat dari rumah sakit yang bawa dia balik ke toko. Karena kalau dia nggak balik jaga toko, bokapnya nggak akan sembuh. Nah, suatu hari, teman gue pengen ketemu sama perawat yang sering bawa dia balik ke toko itu. Tapi, masalahnya, kalau dia jaga toko, perawat itu gak akan datang. Sebaliknya, kalau dia nggak jaga toko, perawat itu pasti datang, tapi bokapnya depresi berat. Sebaiknya gimana yah, biar teman gue bisa ketemu sama perawat itu, dan bokapnya nggak perlu depresi."

"Gitu aja kok ribet amat? Kenapa nggak samperin aja perawat itu di rumah sakit?"

Adit ternganga memperhatikan Lius. "Lo makin pinter Yus."

"Bukan. Elo yang makin tolol." Lius menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Ω

"Halo. Ada apa Pak Adit? Tumben telepon."

Suara lembut di seberang sana menyambut panggilan telepon Adit.

"Halo Bu Megan, aku mau minta alamat rumah sakit tempat Papa biasa berobat." Kata Adit tanpa basa basi. Bu Megan adalah sekretaris Ayahnya yang sudah bekerja lebih dari satu dekade. Mereka sudah saling mengenal sejak Adit masih bermain sepeda roda tiga.

Hening menyelimuti, tidak ada respon dari seberang sana. Adit menjauhkan ponsel dan memperhatikan layar untuk memastikan bahwa ponselnya masih menyala. "Bu Megan? Halo?" Adit kembali memanggil.

"Iya. Aku masih di sini Pak Adit. Tapi aku tidak mengerti, rumah sakit mana yang Pak Adit maksudkan? Memangnya Pak Surya sedang sakit yah?"

"Maksud saya rumah sakit tempat Papa berobat setiap kali depresi. Dia selalu berobat setiap kali aku madol kan?"

Hening kembali menyelimuti untuk sesaat sebelum terdengar balasan dari seberang sana. "Berobat di rumah sakit? Depresi? Pak Surya sehat kok. Dan setau saya, terakhir kali Pak Surya cari dokter adalah waktu sakit gigi. Itu sekitar dua tahun yang lalu. Sejak saat itu, Pak Surya belum pernah cari dokter."

Giliran Adit yang hening untuk sesaat. "Jadi, Papa nggak depresi?" Adit bergumam.

"Setahu saya sih tidak. Bagaimana kalau Pak Adit saya hubungkan saja langsung dengan Pak Surya? Biar nanti Pak Adit yang tanya langsung ke__"

"Eh jangan. Gak usah. Ya sudah, mungkin saya yang salah. Bu, tolong jangan bilang apa-apa ke Papa yah." Adit langsung memutuskan pembicaraan. Berbicara dengan Ayahnya selalu menempati urutan terakhir dari daftar hal yang ingin Adit lakukan. Sederhana saja. Kalau bicara dengan Ayahnya, isi pembicaraan hanya ada dua. Kalau bukan diberi petuah yang lamanya melebihi sholat jumat, sudah pasti perintah yang kalau dijalankan akan terasa seperti menyeberangi lautan api.

Adit merenung. Semakin lama giginya semakin keras saling mencengkeram. Nenek sihir sialan! Gak punya tanggung jawab. Gak bisa dipercaya. Dan jelas gak bisa dimaafkan!

Aditya and Elena (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang