Matahari bersinar terik. Taman beton yang tanpa rumput itu terlihat menyilaukan mata. Adit dan teman-temannya menyembunyikan diri di bawah naungan pohon Kiara yang tumbuh subur di taman kampus. Mereka duduk di pagar semen yang membatasi setiap pohon. Menyegarkan mata dengan pemandangan mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu lalang dengan wajah cerah ceria.
"Kok sekarang hidup kita jadi gersang begini yah?" Kata Romi sambil melirik Adit.
"Dulu memangnya gimana?" Tanya Lius pura-pura tidak mengerti.
"Kalo dulu nih, saat-saat gersang begini, kita udah nggak duduk di kampus. Gak peduli ada mata kuliah lanjutan atau nggak, udah ada yang nantangin kita untuk nakal." Romi berkata dengan lantang, mengundang cekakak cekikik orang sekitar yang semuanya mengerling kepada Adit.
Terkecuali Mona. Dia mengerutkan kening, merenungkan kata-kata Romi dengan tingkat keseriusan seorang ilmuwan di depan mikroskop. Kemudian Mona menepuk bahu Romi. "Itu kan belum terlalu lama. Biasanya si Adit yang ngajak kita cuss kemana-mana. Masa lo begitu aja lupa?"
Suara cekikikan terdengar semakin keras. Sementara Mona bingung memperhatikan sekelilingnya.
"Iya, lo bener Na. Gue juga barusan inget. Iya, si Adit yang biasanya ngajakin." Kata Agung dengan penuh semangat. Dia beringsut mempersempit jarak duduknya dengan Mona. Bersiap untuk percakapan yang lebih intens dengan Mona.
"Dit." Romi menggeser duduknya, dan meletakkan tangan di pundak Adit. Dia menunjuk langit. "Langit cerah ini, matahari nantangin kita. Masa kita harus masuk kelas?"
"Emangnya kenapa kalo langit cerah? Lo mau jemur baju?" Tanya Adit. Wajahnya masam.
"Lho, kok malah jemuran yang dipikirin. Gawat lu Dit. Semangat hidup lo ilang ke mana?"
Adit mendelik menatap dalam-dalam ke mata Romi. Temannya yang satu ini enak sekali kalau bicara. Tapi kalau ada bahaya mendekat, dia selalu menghilang. Mau kencing lah, mendadak sakit kepala lah, lupa pake kolor lah. Akhirnya Adit hanya mendesah sambil membuang muka.
"Dit." Romi belum menyerah. "Kita ke puncak yuk. Liburan, seminggu gitu. Mumpung ujian masih jauh."
"Lo orang pergi aja." Kata Adit ketus.
"Lah, kan tinggal di villa elo. Mobil juga pake mobil lu. Lu nggak kangen sop kambing muda? Sate ayam sarasehan? Jagung bakar Bang Abdi yang pedasnya bisa idupin orang mati. Lo nggak kangen?" Romi memainkan alisnya.
Adit meneguk ludah. Bola matanya mulai berputar. Sesekali dia memutar kepala ke belakang punggung, dan memanjangkan leher mengintip ke belakang pohon kiara payung tempat mereka bernaung dari siraman cahaya matahari. Dia mulai gelisah. Kenangan akan kebebasan beberapa bulan yang lalu beterbangan di dalam benaknya. Tapi semuanya buyar saat teringat cewek judes berambut ekor kuda yang buas seperti kuntilanak.
Tapi apa artinya hidup kalau tidak dibuat berarti. Semakin sering masuk kelas untuk kuliah, Adit tidak merasa dia semakin pintar. Yang ada malah semakin suntuk. Adit termenung, matanya sesekali menyambut pandangan mata Romi. Dia berdehem, gerak gerik tubuhnya menandakan bahwa dia mulai gelisah.
"Menurut lo, gue butuh liburan nggak?" Tanya Adit dengan suara rendah kepada Romi.
"Lo bukan hanya butuh liburan bro. Lo juga butuh hiburan. Lo ngaca coba, air muka lo keruh macam kubangan. Keliatan banget lo uring-uringan. Sedikit lagi muka lo sama kek kambing minta kawin."
Adit menarik napas panjang. Dia tidak kaget bahwa teman-temannya dapat melihat perbedaan pada dirinya. Akhir-akhir ini dia memang dalam tekanan luar biasa. Sejak ada makhluk halus cebol yang gentayangan di mana-mana, yang anehnya tahu seluruh tempat persembunyian Adit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aditya and Elena (completed)
RomanceHanya cerita ringan mengenai Adit dan Elena. Adit sejak lahir telah dikutuk untuk menjadi kaya raya. Dia tidak pernah harus berjuang untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Egois, bermalas-malasan, dan tidak mau kalah sudah menjadi sifatnya sejak ke...