Bab 16

39 6 0
                                    

Biasanya, kalau jam kuliah sudah selesai, Adit akan mengantar Elena kembali ke kantor. Atau, mobil dari kantor akan menjemput Elena di kampus, kemudian mengantar dia kembali ke kantor. Tapi tidak kali ini.

Seperti biasa, Elena pulas tidak lama setelah bersandar di kursi mobil. Dia mengatur sandaran kursinya hingga nyaris datar. Laci mobil di sebelah kiri sudah hampir penuh oleh barang-barang Elena. Sikat rambut, sisir, berbagai macam ikat rambut, hingga botol air. Sekarang dia juga punya sandal cadangan yang selalu ia sembunyikan di bawah jok mobil sebelah kiri.

Adit membawa mobil memasuki pelataran parkir sebuah mal. Dia sengaja menginjak rem agak kasar saat berhenti. Itu adalah cara paling efektif untuk membangunkan Elena, yang entah bagaimana selalu dalam keadaan tertidur di dalam mobil. Menurut Elena, dia selalu naik kendaraan umum untuk pulang kalau tidak sedang menemani Adit. Hingga detik ini, Adit masih tidak mengerti bagaimana caranya anak ini tidak kelewatan halte untuk turun.

Seperti biasa Elena terbangun dan gelagapan. Kepalanya berputar dengan sorot matanya lesu. Dia sudah siap untuk turun, tapi urung. "Ini di mana?" Tanya Elena. Dia tidak melihat lobi kantor mereka, tempat biasa dia diturunkan.

"Mal." Jawab Adit.

"Ha? Eh, kenapa ke Mal? Gue mau pulang."

Adit hanya memberikan satu lirikan datar, seperti sedang melirik batu sungai. Mau ngomong apa coba dia sekarang? Batin Adit menebak-nebak.

"Eh, ini nggak sesuai perjanjian. Gue seharusnya hanya nemenin kuliah. Ngapain gue ikut ke sini?"

"Kalo hanya berdua, tiba-tiba gue bukan Pak Adit lagi?" Sindir Adit dengan dingin. Nenek sihir sialan. Kalo beneran jadi sekretaris gue, mungkin dia hanya anggap gue Boss waktu gajian. Benar-benar harus dikerjain.

"Pak Adit, seharusnya jam kerja saya sudah selesai kan? Seharusnya saya hanya nemenin di kampus kan?"

"Anggap aja lembur. Dan tugas lo nemenin gue, tempatnya bisa di mana aja."

Elena terpaku. Napasnya mulai sesak, geraham mulai beradu. "Kenapa nggak sama teman-teman lo aja? Gue kan kerja."

"Teman gue pada gak mau. Hanya elo yang bisa gue paksa untuk ikut."

"Kata siapa lo bisa paksa gue?" Nada suara Elena mulai mendaki naik.

"Kan lu sendiri yang bilang, lu kerja. Kalo kerja, lu harus nurut sama Boss elo. Tapi, kenapa lu ngomongnya pake elo gue sama Boss sendiri? Yang sopan dong."

Elena terbelalak. Mulutnya membuka dan menutup, berusaha mengatakan sesuatu. Tapi tenggorokannya tersumbat oleh emosi. "I..iya Pak. Tapi...hubungan kerja itu ada batasnya. Dan jam kerja juga ada batasnya Pak. Ini sudah melewati batas." Di dalam pikirannya dia sedang meninju kepala Adit.

"Batas yang mana? Biasanya yang bikin peraturan itu Boss atau karyawan?"

"Boss." Jawab Elena lirih dan bergetar. Matanya melotot, tangannya terkepal.

"Anak pintar. Sekarang, tugas elo adalah temenin gue nonton dan makan. Boss lo butuh refreshing. Ayu, jalan." Tanpa basa basi Adit menarik lengan Elena.

"Eh, tunggu, Adit. Boss gue Pak Surya, bukan elo."

"Lalu kenapa lo panggil gue Pak Adit? Dan lagak lu kalo di depan orang-orang seolah gue budakin."

"I..itu, untuk hormatin bokap elo."

"Lu apa gak pernah kepikiran? Sebentar lagi gue lulus. Dan gue pasti akan terusin perusahaan bokap gue. Pada saat itu, gue akan jadi Boss elo. Coba tebak, kalau gue udah mulai kerja bantuin bokap, orang macam apa yang akan gue minta jadi sekretaris pribadi?"

Oh tidak!! Elena ternganga. "Ma...macam apa?"

"Gue akan minta sekretaris pribadi yang selalu memanggil gue dengan penuh hormat. Kemana-mana dia akan bawain tas gue. Bukain pintu saat gue mau masuk, dan tutupin pintu setelah gue lewat. Beliin makanan, bikinin kopi, sampai kerokin waktu gue masuk angin. Dan gue udah punya bayangan, siapa yang akan gue jadiin sekretaris."

"Adit keparat!! Gue kalo jadi sekretaris elo, pagi gue bikinin kopi sianida. Siang gue kasih lu makan ikan buntal. Lu kalo masuk angin, gue kerok pake golok."

Ω

Cukup dengan melihat sekilas rumahnya, siapapun akan maklum. Sangat jelas terlihat bahwa penghuni rumah itu sedang bertempur hebat melawan kerasnya kehidupan.

Pintu kayu yang bagian bawahnya telah bergerigi dimakan lapuk, ditambal dengan lapisan tripleks yang juga sudah lapuk. Jendela kaca yang retak ditempel begitu saja dengan lakban berwarna coklat. Atap seng yang mencuat keluar dari batas rumah sudah menghitam dimakan karat. Cat bagian depan rumah itu meriah dengan berbagai warna yang tumpang tindih, tambal sulam seperti kain rombeng yang dipakai oleh orang-orangan sawah

Itulah rumah Elena. Tenggelam di dalam sudut tergelap kota metropolitan. Tidak tersentuh oleh gemerlap kemewahan Ibu kota.

Gang kecil di depan rumahnya telah gelap, hanya sedikit bias cahaya kuning dari jendela rumah yang menjadi penerangan.

Elena tertegun saat membuka pintu rumah. Dia langsung beradu tatap dengan Ibunya. Tidak perlu panjang lebar untuk menggambarkan isi rumah Elena. Rumah Elena hanya ada tiga ruangan. Ruang depan serba fungsi yang bisa untuk ruang tamu, ruang makan, sekaligus dapur. Satu ruang tidur untuk Elena dan Ibunya, dan satu kamar mandi. Sebuah sofa tua terletak di samping pintu masuk. Kapuk kuning menyeruak di beberapa bagian yang jahitannya telah terlepas.

"Mah, kenapa belum makan?" Tanya Elena. Seluruh tubuhnya menegang saat melihat sayur di atas meja yang belum tersentuh. Piring Ibunya masih kosong, tidak ada bekas nasi di dalamnya.

Tatapan mata Ibunya kosong dan hampa, seolah tidak mengenali anaknya sendiri.

Jantung Elena berdegup kencang. Kalau Ibunya belum makan, berarti dia belum makan obat. Celaka, jangan sampai terlambat!

Dia tidak menyangka bahwa Ibunya akan menunggu Elena untuk pulang dan makan bersama. Rumah mereka tidak ada sambungan telepon, dan Ibunya tidak punya ponsel. Elena tidak bisa menghubungi bahwa dia sudah makan bersama Adit.

"Mah, cepat makan dulu." Suara Elena bergetar. Dia beringsut menuju kotak obat. Membuka tutupnya, dan menghitung jumlah butiran obat kapsul. Jumlahnya masih sama persis dengan kemarin. Elena tidak pernah lupa untuk mengingat jumah obat di sana. Memastikan Ibunya setiap hari minum obat sudah merupakan kebiasaan Elena selama empat tahun.

Ibunya tidak menjawab. Sedikit gemetar Elena berusaha menyuapkan nasi ke dalam mulut Ibunya. Asal ada sedikit makanan yang masuk ke dalam perut Ibunya, maka dia akan segera memaksa Ibunya untuk minum obat.

"Siapa kau? Kenapa bisa tiba-tiba masuk ke dalam rumah ini?" Tanya Ibunya. Mata Ibunya tidak pernah tertutup sejak Elena masuk ke dalam rumah. Tapi sepertinya baru sekarang Ibunya benar-benar menyimak. Dan dia jelas tidak mengenali bayangan yang tertangkap oleh matanya.

Elena tercekat. Dia meletakkan piring di tangannya. "Tenang Mah. Ini Elena, anakmu sendiri Mah. Lihat aku Mah. Ini anakmu sendiri. Mah, makan nasi dulu beberapa suap, setelah itu Mama makan obat, biar__"

Kalimat Elena tidak pernah selesai. Terputus oleh jeritan Ibunya. Ibunya mulai mengamuk. Elena mati-matian berusaha menenangkan, dia menggunakan kedua lengan untuk memeluk erat Ibunya. Tapi Ibunya meronta. Meja makan itu roboh oleh tendangan kaki Ibunya. Elena ikut terguling saat Ibunya mulai menjatuhkan diri.

Mereka berguling di atas lantai hingga tenaga Elena habis terkuras. Dan saat Ibunya terlepas, Elena tahu, semuanya sudah terlambat.

Piring pecah. Gelas dilempar. Dan Ibunya membabi buta memukuli Elena seolah dia adalah perampok yang masuk ke dalam rumah.

Elena meringkuk di atas lantai. Dia mengangkat kedua lengan untuk melindungi kepala dan wajah dari amukan Ibunya. Tapi sebuah pukulan yang sangat keras lolos dan mendarat telak di pipinya. Telinganya mengiang keras, tak lama kemudian pandangan matanya gelap. Elena terkulai tidak menyadarkan diri.  

Aditya and Elena (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang