Bab 10

40 4 0
                                    


Embun sudah menghilang dari dedaunan ketika Elena tiba di kantor. Tapi cahaya matahari masih lembut, membelai kulit dengan kehangatan yang menyegarkan. Pagi yang cerah itu menghilangkan rasa kantuk, tapi menimbulkan rasa lapar.

Elena masih asyik menikmati lontong sayur yang dia beli dari gerobak yang setiap pagi mangkal di depan gedung kantor.

"Len, lu kok gak pernah dipanggil sama Pak Surya lagi?" Tanya Inge.

Elena melirik curiga kepada Inge yang beringsut menggeser kursi hingga ke sampingnya. Benar saja, sebuah tusuk gigi sudah disiapkan oleh Inge.

"Makan aja sih, gak usah pake modus nanya."

"Lho. Gue tulus nanya. Bantu habisin makanan elo juga dengan tulus kok." Kata Inge sambil mulai mengunyah sepotong lontong.

"Bagus kan? Gue gak dipanggil lagi ke atas, dan sekarang bisa fokus kerja. Jadi lo orang gak perlu ngerjain tugas gue lagi." Kata Elena sambil tersenyum cerah. Sudah dua minggu ini dia hidup tenang. Dan sepertinya akan tenang untuk selama-lamanya. Bocah keparat yang merepotkan itu pasti takut kalau Ayahnya tidak bisa sembuh dari depresi. Bomat! Yang penting gue hepi!

"Tapi Len, kantor jadi hambar lagi. Lo apa gak bisa bikin berita baru gitu? Biar kantor kita jadi pusat gosip lagi. Tugas elo kalo dibagi rata ke kita berempat gak gitu berasa kok. Gue ikhlas kerjainnya." Kata Nia. Disambut dengan anggukan kepala oleh Inge, Lami, dan Erni.

"Iya bener. Sekarang gak ada lagi yang datang ke sini, nanyain elo dan minta foto." Kata Erni.

Elena langsung membeku. Matanya menyorot tajam, tangannya yang memegang sendok menggantung di udara.

"Maksud elo, selama ini anak-anak kantor pada minta foto gue sama lo orang?" Tanya Elena dingin.

"Iya Len, kan enggak semua orang tau muka elo. Mereka pada mau tau, anak kesayangan Pak Surya itu yang mana. Malah ada yang bilang bahwa elo tuh camennya Pak Surya."

"Dan lu orang kasih foto gue?" Tanya Elena.

"Kasih dong. Kan teman kantor. Tapi tenang aja, kita gak kasih gratis kok. Biasanya kita barter sama makan siang."

Elena hanya bisa menghela napas. Begitu rupanya. Bagi dia mengurus Adit itu musibah. Tapi bagi teman-temannya menjadi berkah.

"Iya Len. Sekarang makan siang gratis kita hilang kalo elo nggak dipanggil lagi sama Pak Surya."

"Rasain. Selama ini lu orang ketawa di atas penderitaan gue. Gue yang sengsara, lu orang yang makan gratis. Seharusnya seorang minimal satu kali nih traktir gue makan." Umpat Elena.

"Tenang aja. Gak akan berlangsung lama. Nanti juga akan lanjut lagi yang nanya." Kata Lami dengan penuh keyakinan.

"Lo tau dari mana?" Tanya Erni.

"Memang selalu begitu. Ada masanya mereka ribut-ribut. Tapi nanti pasti baikan dan...aduh." Lami mengelus dahinya yang diketuk oleh Elena.

"Lo lagi ribut sama anaknya Pak Surya?" Tanya Inge.

Elena berdecak kesal. Matanya melirik tajam kepada Inge. "Emangnya kapan gue nggak ribut sama tuh orang? Dari dulu juga udah ribut. Dah, lu orang gak usah pikirin lagi. Pokoknya gue udah senang, gak usah ngurusin dia lagi. Semua pertanyaan mengenai dia, cukup sampai di sini. Gue gak akan jawab lagi pertanyaan lain mengenai dia. Gue mau hidup tenang, dan kerja yang serius. Paham?"

Elena tidak akan mendapatkan jawaban dari teman-temannya. Karena tepat setelah dia menyelesaikan kata-katanya, pintu kantor kecil yang ditempatinya terbuka dengan keras. Turbulensi angin dari daun pintu yang dibuka mendadak meniup kertas di meja hingga beterbangan.

Mereka semua mengangkat wajah dengan tatapan mata terkejut. Bu Hamid tergopoh-gopoh menyerbu masuk ke dalam ruangan. Tidak ada suara selain tarikan nafas Bu Hamid untuk menenangkan dirinya. Tapi wajah Bu Hamid yang menegang sudah cukup untuk menyampaikan pesan kepada kelima orang yang lebih dulu berada di dalam ruangan. Bahwa sesi bersantai mereka sudah selesai.

"Kenapa Bu?" Tanya Nia. Mulutnya setengah terbuka. Bu Hamid biasanya sangat tenang dan sunyi. Kadang mereka bahkan tidak menyadari kehadiran Bu Hamid. Tidak seperti sekarang yang datang bagaikan topan.

"Beresin kantor. Cepat semuanya bangun. Kantor harus kelihatan rapi, sebentar lagi ada petinggi perusahaan yang mau melihat kantor ini." Bu Hamid berbicara dengan kecepatan melebihi putaran daun kipas angin. Kata-kata Bu Hamid disemburkan demikian cepat hingga mereka sulit menguraikannya, dan akhirnya mereka hanya duduk melongo.

"Ada petinggi perusahaan mau datang. Yang tidak rapi dipecat!" Bu hamid mengulang dengan kecepatan seperti anak SD sedang belajar mengeja.

Kantor kecil itu seketika riuh rendah. Bangku ditarik sana dan didorong sini. Kertas-kertas yang tak jelas kegunaannya di sumpal ke dalam laci meja. Ikat rambut dimasukkan ke dalam kantong. Kikir kuku disamarkan dengan staples.

"Elena. Itu mangkuk lontongmu, beresin." Hardik Bu Hamid.

Elena tercekat. Beresin kemana? Di ruangan mereka tidak ada wastafel. Apalagi kamar mandi. Tambah lagi, yang tersisa di dalam mangkuk justru bagian yang paling enak. Kuah kaldu, sayur nangka, dan remah ikan teri kesukaan Elena. Akhirnya dia memutuskan untuk merapikan isi mangkuk itu ke dalam perutnya.

Sementara dia sibuk menuangkan isi mangkuk itu ke dalam mulut, suara lirih dari luar ruangan kantor mulai terdengar. Ada suara percakapan dan langkah kaki yang lirih.

"__kantor administrasi ini memang agak kurang rapi Pak. Karena letaknya terpisah dari gedung. Lebih baik kita ke dalam gedung utama. Di sana Bapak lebih__"

"Tidak apa-apa. Ada yang mau aku cari di tempat ini."

Heh? Elena menghentikan gerakannya mengais dasar mangkuk. Pipinya menggelembung oleh makanan yang memadati mulut. Suara itu. Kok tidak asing?

Suara langkah kaki itu terdengar semakin mengeras.

"Cepat semuanya berdiri tegak. Pasang senyum. Kasih ucapan selamat pagi. Cepat." Bu Hamid memberi aba-aba seperti komandan upacara bendera.

Pipi Elena masih menggelembung, padat oleh makanan. Tapi pintu ruangan mereka sudah terbuka. Elena nyaris tersedak pada saat melihat dua orang yang melangkah masuk ke dalam ruangan kantor.

Semua berdiri tegak dan menahan napas ketika melihat Pak Bambang, Direktur HRD di perusahaan mereka, melangkah masuk menemani seorang pria tampan yang mengenakan setelan semi jas berkesan casual dan maskulin.

Suara-suara kecil yang berasal dari napas yang tertahan dan seruan kagum mengisi sudut-sudut ruangan kantor.

"Zayn malik."

"Soong Jong Kii."

"Xiao Zhan."

"Lee Min Ho."

Seluruh perempuan di dalam ruangan itu membisikkan nama pujaan hati masing-masing dan tenggelam dalam halusinasi yang membuat rahim mereka berkedut.

Hanya Elena seorang yang diam membeku dengan mata dan pipi membulat penuh makanan. Pandangan matanya terbelalak menuju tamu agung yang sedang melangkah santai di samping Pak Bambang.

"Oh? Memangnya Pak Adit mau mencari apa?" Tanya Pak Bambang.

"Aku dengar, di ruangan kantor ini ada seseorang yang sangat pandai merawat pasien depresi."

"Merawat pasien depresi? Di sini karyawan admin gudang Pak. Sehari-hari mereka berkutat dengan tumpukan kertas dan tulisan tangan dari kuli gudang. Kalau pasien depresi di sini pasti banyak. Tapi yang merawat, rasanya tidak ada." Kata Pak Bambang kebingungan.

"Ada kok. Ini dia orangnya." Adit tersenyum lebar sambil melangkah ke hadapan Elena yang berdiri tegak dengan pipi seperti ikan buntal. Matanya mendelik dengan alis merapat di atas hidung. "Ya gak Sus?"

Aditya and Elena (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang