"Paling nggak sekarang muka lu lebih segar." Kata Adit. Setelah itu perlahan senyumnya melebar menjadi tawa.
"Kenapa lu ketawa?"
"Lu adalah cewek paling nggak romantis yang gue kenal." Tawa Adit mengeras.
"Lalu kenapa lu bisa suka?" Sahut Elena ketus.
"Suatu saat lu akan tau. Eh , lu tunggu sebentar di sini yah."
"Lu mau ke mana?"
"Kita udah lama duduk di sini. Kasian teman-teman gue yang lain. Mungkin mereka nyariin gue. Gue masuk sebentar, mau ajak mereka semua gabung di sini aja. Lu tunggu sebentar yah."
Elena diam tapi mengangguk. Dia memperhatikan punggung Adit hingga menghilang di balik daun pintu. Setelah itu ia memejamkan mata dan menghembuskan napas panjang.
Dia bisa memakai topeng dan bersandiwara di depan orang orang lain seolah segalanya akan berlangsung biasa saja. Tapi dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Gemuruh di dalam dadanya sama sekali tidak menghilang.
Tadi itu bukan mimpi kan? Adit benar-benar bilang suka. Si brengsek itu bilang suka. Sebentar, dia sebenarnya tidak terlalu brengsek. Elena menampar jidatnya sendiri. Otak bego, baru disogok sedikit rayuan langsung berubah pikiran. Bagaimana ini? Elena menggigit bibirnya sendiri.
"Heh. Anak kere macam elo bisa punya baju bagus juga yah?"
Elena tersadar dari lamunannya saat sebuah suara merdu tapi dingin dan penuh kebencian merusak gendang telinganya. Dia mengangkat wajah. Di depannya ada Maya dan Rima. Keduanya melipat tangan di depan dada, sorot mata mereka menusuk dan mencincang Elena.
Ya, ampun. Elena menghela napas. Dua wanita berkelas sedang berusaha menakut-nakuti Elena. Bahkan kuntilanak harus bekerja lebih keras kalau ingin menakuti dia.
Pikiran Elena melayang. Tak tertahankan bibirnya mengulas senyum tipis. Kurang apa coba Maya. Cantik, tinggi, berkelas, dan jelas sangat menyukai Adit. Tidak ada seujung kukupun dari Maya yang dapat ia tandingi. Tapi, ada satu hal yang sangat diinginkan oleh Maya tapi malah dimiliki oleh Elena.
"Cengar cengir, hanya begitu dia bisanya. Diam, cengar cengir, sok manja sama Adit." Umpat Rima.
Maya melangkah mendekati Elena. "Eh, betina jalang. Lu jangan kira gue gak tau mengenai latar belakang elo yah. Lu hanya karyawan rendahan di perusahaan bokapnya Adit. Nyokap lu sakit-sakitan. Lu mau ngerayu Adit biar bisa hidup lebih enak yah? Lu mau porotin dia kan? Nih, gini aja biar gampang. Gue kasih lu duit, sekarang juga lu pulang."
Elena menatap Maya hampa. Dia berkedip beberapa kali, dan nyaris menguap. Pengalaman telah mengajarkan kepada Elena, hinaan dari orang lain akan menyakiti hati hanya jika kita mengizinkan kata-kata itu mengendap di dalam pikiran. Orang lain hanya tahu kulit luar dari kehidupan Elena.
Yang menghina Elena selalu adalah orang yang tidak mengerti keadaan sesungguhnya. Yang mengerti, tidak akan menghina. Persis seperti saat ini.
Maka Elena hanya diam memperhatikan Maya dengan gusar mengeluarkan segepok uang berwarna merah. Maya meraih tangan Elena, dan memaksakan uang itu ke dalam tangannya.
"Pulang sana. Jangan pernah lu deketin Adit lagi. Kalau lu masih berani deketin Adit, jangan salahin gue kalau hidup lu jadi makin susah. Jangan salahin gue kalau sakit nyokap lu makin parah."
Geraham Elena beradu. Ibunya diancam. Mata Elena melebar. Kantuknya langsung hilang. Ini berbeda. Kalau hinaan, Elena sudah biasa. Tapi kalau Ibunya diancam, selangkahpun dia tidak boleh mundur.
Elena bangkit berdiri dan memangkas jarak dengan Maya, jarak hidung mereka sekarang sisa setengah jengkal. Mata Elena memercikkan api saat menyorot kepada Maya. Elena harus meneguk ludah berulang kali sambil mengingatkan dirinya bahwa ini adalah pesta ulang tahun Adit. Demi menghargai Adit, dia harus menahan diri agar tidak sampai menampar Maya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aditya and Elena (completed)
RomansaHanya cerita ringan mengenai Adit dan Elena. Adit sejak lahir telah dikutuk untuk menjadi kaya raya. Dia tidak pernah harus berjuang untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Egois, bermalas-malasan, dan tidak mau kalah sudah menjadi sifatnya sejak ke...