"Selamat pagi Ibu Elena."
Elena ternganga melihat seorang satpam berdiri di depan gerbang gedung kantor, dan memberi hormat kepadanya. "Eh? Se..selamat pagi." Dia membalas dengan tubuh sedikit membungkuk. Lho? Sejak kapan satpam di pos gerbang tahu namanya. Sejak pertama kali bekerja hingga sekarang, ini adalah kedua kali satpam di pos gerbang menyapa dia. Yang pertama kali adalah saat dia lupa mengalungkan tanda pengenal di leher, dan wajah satpam pada saat itu sama sekali tidak ramah.
"Selamat pagi Ibu Elena."
Mulut Elene kembali ternganga. Tangannya terjulur hendak membuka pintu gedung kantor, tapi sudah di dahului oleh petugas keamanan berseragam hitam. Senyum yang melebar dari kuping ke kuping menghiasi wajah petugas keamanan itu, sekilas terlihat seperti bibir ikan lele.
"Se...selamat pa..gi." Elena terbata-bata membalas salam. Wow! Setiap hari ada sekitar enam ribu karyawan yang keluar masuk gedung kantor ini. Dan petugas keamanan ini bisa mengingat sampai nama seorang karyawan receh selevel admin gudang. Benar-benar petugas keamanan yang sangat pro. Luar biasa. Elena terkagum-kagum.
"Selamat pagi Bu Elena."
"Hah??? S..s..lamat pagi." Elena terbelalak melihat dua orang resepsionis cantik yang berdiri di belakang meja, sambil membungkuk memberikan salam kepadanya. Ada yang salah. Elena sudah ratusan kali berjalan melewati meja mereka. Jangankan salam dan hormat dengan membungkukkan badan. Sebelum ini, Elena bahkan tidak sadar bahwa ada dua resepsionis di belakang meja tinggi ini. Karena dua resepsionis ini tidak pernah menyambut dengan berdiri.
"Pagi Elena."
"Pa..pagi." Dengan terheran-heran Elena membalas lambaian dua orang karyawan yang berpapasan dengannya. Siapa dua orang ini? Kenapa bisa mengenal dia?
"Hai Len, met pagi."
"Ha? Hai, pagi." Kembali beberapa orang yang berpapasan dengannya melambaikan tangan. Dan kembali Elena membalas lambaian tangan dan sapaan mereka dengan wajah terheran-heran.
Elena berani sumpah, dia melewati rute yang biasa dia ambil pada saat hendak menuju ruangan kantor kecil mereka. Melalui gerbang depan, kemudian pintu utama, dan terus menuju pintu belakang yang akan membawanya keluar dari gedung utama. Setelah itu akan terlihat gubuk kecil tempat divisi administrasi gudang berkumpul.
Tapi perjalanan menuju ruangan kantornya tidak pernah demikian melelahkan seperti sekarang ini. Sepanjang perjalanan yang pendek itu dia harus membalas sapaan dari orang-orang yang tidak ia kenal tidak kurang dari sepuluh kali. Biasanya tidak sekalipun ada yang memberikan salam. Dilirikpun tidak.
"Sebentar Bu!"
Elena terperanjat mendengar suara pekikan saat dia hendak membuka pintu belakang gedung kantor. Dia membalikkan tubuh dan melihat seorang petugas pembersih berlari mendekat.
"Kenapa? Ada yang salah?" Elena bertanya.
"Oh tidak. Saya hanya mau membukakan pintu. Silahkan lewat Bu Elena." Petugas pembersih itu mendorong pintu, dan dengan setengah membungkuk mempersilahkan Elena untuk lewat.
"Ha? Te...teri...ma...makasih." Elena terbata-bata dengan nada bergetar. Untuk pertama kalinya, dia merasa kantor ini agak menakutkan. Dengan sebelah tangan diangkat menutupi wajah, dia setengah berlari menuju gubuk kecil divisi admin gudang. Dia belum pernah merasa selega ini saat melihat pintu kantor kecil mereka yang bulukan. Lumut dan lapuk telah menggerogoti papan kayu yang menjadi bahan pintu. Engsel pintunya meringkik seperti kuda tua yang kehabisan napas pada saat dibuka.
"Horeeee, Elenaaaaa! Selamat pagiii."
"Elenaaa, ratu kita!"
"Elenaaa, kalo udah jadi mantu Pak Surya jangan lupa kita-kita yah."
"Len, lihat deh, gue dikasih album foto Lee Min Ho. Tapi barter sama nomor hp elo. Bagus kan?"
"Ohh mai gat." Elena menghempaskan diri ke kursi. Begitu rupanya.
Ω
"Cheeerrs. Len, senyum dong."
Elena nyengir kuda ala iklan pepsodent, tangan Lami melingkari pundaknya. Jari tangan mereka membentuk huruf V. Ceklik, terdengar bunyi kamera menangkap momen mereka berdua.
"Giliran gue, giliran gue. Nia, lu fotoin gue sama Elena." Seru Inge riuh rendah. Dia heboh mengatur gayanya dengan Elena. "Tangan kanan nunjuk pojokan plafon Len. Tangan kiri dilipat depan dada. Muka lo hadap atas Len. Senyum yang lebar Len, seolah kita boleh ngutang di kantin."
Elena dan Inge bergaya seperti ksatria baja hitam yang hendak berubah. Elena kembali memamerkan gigi pepsodentnya. Ceklik! Momen mereka berdua diabadikan.
"Giliran gue, giliran gue." Nia dan Erni saling berebut giliran.
Elena duduk menghela napas. Senyumnya hambar, tatapan matanya datar. Bagaimana ini? Kalau ditolak, mereka pasti akan bilang Elena berubah sombong. Tapi kalau didiamkan, semakin lama semakin menjadi-jadi. Elena mulai merasa seperti patung Mc Donald yang harus duduk tersenyum dan siap dijadikan objek foto sepanjang hari. Dan perlahan, dia mulai merasa kepalanya menghangat. Darahnya mulai terdorong naik emosi.
"Heh, kalian ini sedang apa?" Bu Hamid masuk ke dalam ruangan. "Bukannya kerja malah foto-foto. Sudah-sudah, semua kembali ke kursi masing-masing."
Elena menghembuskan nafas lega. Masalah terselesaikan. Rejeki anak soleh, dia membatin.
"Elena, kamu cepat ke lobi utama. Mobil Pak Surya sudah nungguin kamu. Mau antar kamu untuk ketemu Pak Adit. Cepat pergi sana."
"Oh, iya Bu." Elena manut kepada Bu Hamid. Dia berdiri dan hendak melangkah keluar ruangan. Mungkin ini jalan keluar terbaik. Dia memiliki kesempatan untuk menyingkir dari situasi aneh di kantor untuk sementara.
"Eh tunggu sebentar."
"Kenapa Bu?"
"Inge, kamu fotoin saya dengan Elena dulu deh."
Ya ampun. Elena menepuk jidat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aditya and Elena (completed)
RomanceHanya cerita ringan mengenai Adit dan Elena. Adit sejak lahir telah dikutuk untuk menjadi kaya raya. Dia tidak pernah harus berjuang untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Egois, bermalas-malasan, dan tidak mau kalah sudah menjadi sifatnya sejak ke...