Bab 5

55 8 1
                                    


"Lu kok bisa ada di sini?" Adit berseru terkejut bercampur lega. Dia belum memutuskan, bagaimana seharusnya dia menyikapi ini. Mana yang lebih buruk, bertemu perampok di villanya, atau bertemu mak lampir.

Elena yang tertidur pulas di atas kursi malas itu mulai menggeliat. Tangannya yang menggelantung ditarik untuk merapikan anak rambut yang tercerai belai oleh angin malam. Matanya mulai membuka. Dia berkedip berulang kali melawan sorot lampu yang membutakan mata.

"Hadeh, gue kira mayat Mpok Minah." Lius menarik napas lega sambil mengelus dadanya. Dahinya mengkilap bermandikan keringat dingin. Kursi malas bergetar keras ketika dia menghempaskan tubuh bulatnya.

Elena menegakkan tubuh sambil merapatkan handuk, sebagian rambutnya masih meneteskan air kolam renang. Dia menguap berulang kali, mata lesunya menyimak wajah Adit yang masih tercengang di depannya.

"Lo santai aja dong. Jangan teriak-teriak gini. Gue nggak budek." Kata Elena. Matanya masih berair, wajahnya masih kuyu tak bersemangat.

"Santai??? Lo enak-enak duduk di sini, pintu bawah gak dikunci, dan gak ada yang jaga. Gue kira lo perampok tau?"

"Oh. Sori. Gue lupa, tadi gue suruh Mpok Minah dan Mang Udi belanja. Setelah itu gue berenang sebentar, nyender di sini, dan ketiduran." Elena cengar cengir.

"Lo suruh Mpok Minah dan Mang Udi belanja?" Adit terbengong-bengong. Ada hak apa Elena nyuruh mereka berdua. Dan kenapa mereka berdua nurut?

"Ya. Bokap lo udah bilang sama mereka. Mulai sekarang, kunci pintu utama villa ini, gue yang pegang. Gue berhak tentuin, siapa yang boleh masuk, atau siapa yang nggak boleh." Elena melirik wajah Adit yang melongo.

"Lo gila yah. Ini villa keluarga gue. Dan lo bukan anggota keluarga. Masa gue yang harus tanya elo, boleh masuk ke sini atau nggak?" Adit meledak.

Elena hanya memberikan tatapan mata iba, seolah Adit akan segera masuk ke dalam rumah jagal. "Kasihan deh lo. Masih aja belum sadar. Bisa sampai seperti ini karena salah lo sendiri. Lo mau madol satu minggu kan di sini?"

Adit ternganga memperhatikan Elena. Dia sudah berusaha untuk merahasiakan perjalanan ini serapat mungkin. Bagaimana mungkin si mak lampir ini bisa tahu? Putus asa, Adit bertukar pandangan dengan Lius yang sama bingungnya dengan Adit.

"Lu kok bisa tau? Dasar nenek sihir." Adit mendesis.

Elena mendengus. Alisnya mulai merapat di atas hidung. Tapi sinar matanya masih cukup lembut untuk ukuran seorang Elena. "Gini, untuk sekali ini, gimana kalau kita gak perlu bunuh-bunuhan? Kalau elo jadi anak baik, lo boleh liburan di villa ini sama teman-teman lo selama dua hari. Lumayan kan, refreshing dua hari. Kalau lo ajak ribut, villa ini akan gue tutup. Semua listrik akan gue matiin. Pilih yang mana?"

Gigi Adit gemelutuk. "Lo ngancem?"

Elena berdiri dan melenggok santai hingga tepat berada di samping Adit. "Bukan ngancem. Tapi niat."

"Lo adalah cewek paling gak ada kerjaan yang pernah gue liat." Adit menggeram.

Elena mendelik. Gak punya kerjaan? Si brengsek yang membuat dia pontang panting mencari dia, memastikan agar dia masuk kuliah sesuai jadwal, dan masih menanggung rasa waswas agar dapat lolos masa percobaan kerja di kantor. Berani bilang dia gak punya kerjaan? Tangan Elena mengepal.

"Lo adalah cowok paling gak tau diri yang pernah gue kenal. Dari awal gue udah bilang, kalo gak mau liat gue, cukup masuk kuliah setiap hari. Kalau gak senang, sana telpon bokap elo. Dah, eneg gue. Kek ngomong sama anak kecil. Sekarang juga semuanya bubar. Semua pu...." Elena mengaum murka.

"Tunggu, tunggu dulu Len. Sabar. Ini udah jam berapa? Semua orang butuh tidur. Kita sama-sama baru nyampe. Perjalanan pulang pergi itu panjang. Urusannya nyawa kalau ngantuk-ngantuk bawa kendaraan di jalan pegunungan begini. Kalau ada masalah, kita omongin baik-baik. Kita cari jalan keluar yang enak, gimana?" Lius menengahi. Sebelah tangannya mendorong Adit dan memberi tanda agar dia tidak bersuara.

Adit dan Elena sama-sama mengatur napas yang senin kemis menahan emosi. Tanpa sengaja pandangan mata mereka bertemu.

"Cih!" Serentak mereka membuang muka.

"Len, lo yang lebih kenal sama bokapnya Adit. Tapi gue yakin, bokapnya Adit juga gak mau kalau sampai Adit harus ngantuk-ngantuk bawa mobil pulang ke Jakarta." Suara Lius selembut anak kucing yang sedang mengeong minta susu.

Elena terdiam. Dadanya masih kembang kempis menyedot udara, tapi kepalanya seketika dingin ketika mendengar kata-kata Lius. Lius benar, tengah malam begini, dan belum beristirahat, pasti bahaya kalau memaksakan bawa kendaraan di jalan pergunungan.

"Ok. Dua hari. Hari ketiga semua harus pulang."

Elena melangkah meninggalkan kolam renang. Saat melewati Adit, pandangan mata mereka tanpa sengaja kembali bertemu.

"Ciihhh!" Kembali keduanya serentak membuang muka.

"Kalau menurut gue, sebaiknya kita jangan pulang dulu." Kata Ihsan sambil bersantai di atas kursi malas.

Ω

Villa milik keluarga Adi mewah, dan sangat besar. Tapi terasa kurang besar untuk ditinggali Adit dan Elena bersama-sama.

Udara pagi di puncak biasanya sejuk dan menyegarkan. Tapi pagi itu berbeda. Walaupun kicau burung pipit masih menemani, tapi tidak ada kesejukan dan kesegaran pada saat mereka sarapan.

Dengan prihatin, Lius dan Romi memperhatikan Adit dan Elena yang duduk berseberangan. Ruang makan yang besarnya cukup untuk membuka restoran terasa sempit dan menyesakkan. Meja makan yang memisahkan tidak dapat menghentikan pertarungan mata di antara Adit dan Elena. Setiap kali pandangan mata mereka bentrok, suasana yang mencekam sangat kental terasa.

"Kok rasanya menegangkan yah?" Kata Romi.

"Rasanya enak kok." Sahut Ihsan. Sedikitpun tidak terpengaruh oleh aura peperangan yang sangat pekat menggantung di atas meja makan. Ihsan tetap menyuap nasi uduk di piringnya dengan lahap.

Romi hanya melirik lesu kepada Ihsan.

"Len, lo ke sini sama siapa?" Tanya Lius. Dia berusaha mencairkan suasana.

"Sendiri." Jawab Elena.

"Wuih. Hebat lu Len. Berani banget lu. Cewek, sendirian, berani jalan jauh." Puji Romi.

"Kata siapa dia cewek?" Adit menyelak pembicaraan.

Suasana langsung kembali membeku.

Elena melirik tajam kepada Adit. Tapi hanya sampai di situ. Kemudian dia kembali menikmati sarapannya dengan tenang. "Kenapa harus takut? Di antar jemput pakai mobil mewah, dan disediain supir. Pak Surya sangat peduli sama kesehatan gue kok. Beliau paham, jaga bayinya itu nggak gampang."

Adit balas memberikan lirikan tajam. Embun masih melekat di tunas pohon, matahari belum menyala penuh. Hembusan angin bahkan menggoyang kalender besar yang menghias dinding villa. Tapi hawa di dalam ruang makan itu mendidih. Suasana semakin mencekam.

"Tapi, waktu kita belum nyampe, berarti lo sendirian di dalam villa ini kan Len? Berani lu yah. Lo gak takut kalau ada setan gitu Len?" Lagi-lagi Romi bertanya, disertai dengan puja puji.

"Ngapain dia takut? Mereka sejenis kok." Adit bergumam. Sengaja tidak terlalu lirih agar semua orang yang di meja makan mendengarnya.

Lirikan mata Elena yang mengandung percikan api kembali menyambar Adit. Tapi nada suaranya tetap tenang. "Gue gak boleh takut setan. Kalau gue takut sama setan, gimana dong dengan anak kecil yang harus gue jaga? Dia bisa nangis meraung-raung."

Adit mendengus keras. Ruang makan yang luas itu terasa demikian sesak, hingga semua orang sulit bernapas di sana. Lius menendang kaki Romi di bawah meja, dan memberi tanda kepadanya agar menutup mulut.

Setelah beberapa suap, Adit menyingkirkan piringnya dan melangkah meninggalkan ruang makan. Lius dan Romi menarik napas lega. Setidaknya pagi itu tidak ada piring yang pecah.

Aditya and Elena (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang