Bab 8 melewati ujian pertama

1 0 0
                                    

Suara motor terdengar, ayah sudah pulang dari kantor. Begitu ayah masuk rumah, dengan menahan tangis bunda bercerita tentang kondisi kakek. Bunda meminta ijin untuk ke rumah nenek dan menitipkan Azizah ke ayah. Melihat keadaan bunda yang tak fokus, ayah tak mengizinkan istrinya itu pergi sendiri.

"Ayo, kita sama-sama ke rumah Nenek," ucap Ayah yang mengurungkan niatnya berganti pakaian.

"Lalu Azizah bagaimana?" Wanita itu masih berada dalam dilema.

"Kita ajak saja, tapi nanti Azizah tunggu di luar dan jaga jarak dengan semua orang." Jalan tengah diberikan ayah. Ayah tak mungkin mengizinkan bunda mengendarai motor dalam keadaan kalut.

Bunda segera menyetujui usul ayah. Tak mungkin berlama-lama lagi, karena kakek dan nenek hanya tinggal berdua. Bunda juga tak bisa meminta Paman Yayat melihat kondisi nenek, karena kakaknya itu masih dirawat di rumah sakit. Hasil tes swab Paman Yayat positif Covid juga. Paman masuk rumah sakit hanya berselang dua hari dengan nenek kakek.

Begitu sampai rumah nenek, bunda segera berlari masuk ke dalam. Tampak kakek sedang berbaring.

"Bagaimana Papah?" tanya Bunda kepada Nenek. Wajahnya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.

"Alhamdulillah muntahnya sudah berhenti," jawab Nenek.

Bunda mendekati kakek dan mengusap tangan lelaki tua itu hanya sekadar memberi tahu keberadaannya. "Kek, apa yang dirasa?"

"Pusing banget," jawab Kakek tanpa membuka matanya.

"Alhamdulillah tadi sudah makan sedikit dan tidak muntah," ucap Nenek.

"Sepertinya Kakek pusing banget, Nek." Wanita berkacamata itu memandang ayahandanya dengan khawatir. Tampak sekali lelaki tua itu tak mampu membuka mata. Setiap membuka mata, lelaki yang sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun itu terasa menahan sakit kepala. Nenek dan bunda hanya bisa menemani kakek di sisi lelaki tua itu. Mereka hanya bisa membuat kakek merasa nyaman.

"Horeee, yes yes yes." Kesunyian dipecah suara dari luar rumah. Bunda mengeryitkan dahi karena mengenal suara itu milik putrinya.

"Kenapa Ziza?" Setengah berteriak Bunda bertanya.

"Akhirnya Ziza lepas dari kurungan." Sambil terkekeh gadis kecil itu menjawab. Semua orang yang mendengar perkataan gadis itu hanya bisa menggeleng dan tertawa. Ternyata gadis kecil itu merasa senang bisa keluar rumah setelah hampir dua minggu tak bisa kemana-mana. Meskipun begitu, bunda tidak mengijinkan putrinya mendekati nenek kakek. Kondisi nenek dan kakek yang baru pulih dari virus corona masih harus dijaga. Menurut dokter, fatal akibatnya jika nenek dan kakek terinfeksi kembali. Saat pulih dari Covid memang tak bisa menularkan, karena virus dalam tubuh sudah mati, tetapi masih bisa tertular. Terkena virus Corona kedua kali bagi lansia akan lebih berbahaya dibandingkan infeksi pertama.

Setelah melihat kondisi kakek telah pulih dan bisa tidur nyenyak, bunda pamit pulang. Bagaimanapun Azizah masih tetap harus melaksanakan isolasi mandiri.

Setiba di rumah, semua diminta bunda untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Pakaian Azizah dicuci terpisah dari pakaian anggota lain. Rumah juga rutin disemprot disinfektan oleh bunda.

*****
Esok harinya kakek segera dibawa ke rumah sakit, untuk memeriksakan kondisi sekaligus melakukan tes swab. Tes swab dilakukan secara mandiri. Alhamdulillah, tes swab PCR kakek dan nenek negatif. Kondisi kakek juga membaik, tak ada lagi muntah dan sakit kepala. Kakek bisa menjalani kemoterapi rutin sesuai jadwal. Operasi kaki kakek yang patah, terpaksa diundur hingga situasi kondusif. Rumah sakit yang menangani kakek adalah salah satu rumah sakit rujukan Covid di Provinsi DKI Jakarta, sehingga untuk sementara tidak bisa menjalankan operasi.

*****
Sudah hari ke tiga belas Azizah melakukan isolasi mandiri. Alhamdulillah, tak ada keluhan apa pun. Tak ada batuk, pilek atau sesak. Menjelang akhir masa isolasi, gadis kecil itu merasa cemas. Gadis itu takut harus diswab lagi. Meski tak sakit, menjalani tes swab merupakan hal yang tak nyaman.

Bunda menghubungi suster Amira dari  Puskesmas Kelurahan untuk menanyakan kapan isolasi mandiri putrinya berakhir. Wanita itu juga menanyakan mengenai tes swab pasca isolasi mandiri.

Suster menjelaskan bahwa bagi pasien tanpa gejala atau bergejala ringan, cukup melaksanakan isolasi mandiri di rumah selama empat belas hari. Jika selama isolasi mandiri tak ada gejala, maka tak perlu dilakukan tes swab ulang. Kalaupun pasien melakukan tes swab ulang dan hasilnya positif, dia tak berpotensi menularkan ke orang lain. Bagi pasien bergejala, virus jahat itu bisa menular sampai dengan sembilan belas hari setelah terinfeksi, sedangkan bagi orang tanpa gejala menyebarkan virus selama delapan hari. Isolasi mandiri selama empat belas hari bagi pasien tanpa gejala dilakukan untuk *memutus_rantai* penyebaran coronavirus disaese.

Kondisi Azizah yang tak ada keluhan sepanjang masa isolasi, membuat dokter memutuskan gadis kecil itu sudah selesai isolasi mandiri dan sembuh. Berdasarkan hasil penelitian, dokter meyakini virus dalam tubuh OTG sudah mati saat hari kedelapan.

"Horeee...," teriak Azizah saat dikabarkan ibu bahwa dia tak perlu menjalani tes swab.

"Alhamdulillah," tegur ibu.

"Hehehe ... iya, alhamdulilah." Gadis kecil itu merevisi ucapannya.

Suster Amira mengirimkan surat keterangan selesai pemantauan lewat WA. Begitu membaca surat tersebut, bunda melonjak gembira. Wanita itu segera berlari ke kamar putrinya dan memeluk gadis kecil itu. Dua minggu tak bisa memeluk anak padahal berdekatan rasanya menyesakkan.

"Kakak, ayo sini, bunda kepang dulu rambutnya." Bunda segera mengambil sisir dan kunciran. Dua minggu lamanya bunda tak menyisir dan menguncir rambut panjang gadis mungil itu, padahal biasanya  hal tersebut  dilakukan setiap kali putrinya selesai mandi.

Penuh rasa syukur bunda menyisir dan mengepang rambut putrinya. Sesuatu yang dulu adalah hal sepele dan rutin, kini menjadi sesuatu yang luar biasa. Berkali-kali bunda memeluk dan mencium gadis kecil itu. Kerinduannya sudah membuncah, karena selama dua minggu interaksi mereka terbatas.

*****
Selama masa PJJ, beberapa kali dalam seminggu Azizah harus zoom meeting bersama guru dan teman-temannya. Adakalanya waktu zoom meeting gadis kecil itu berbarengan dengan bunda. Agar tidak saling menganggu, bunda menyediakan earphone. Entah karena sering digunakan atau hal lain, salah satu speaker earphone milik Azizah rusak.

"Bunda, kok gak ada suara apa-apa?" Gadis kecil itu menekan-nekan bulatan speaker ketelinganya saat sedang zoom pelajaran Bahasa Arab.

Bunda mengambil earphone sebelah kiri yang sedang digunakan putrinya dan menempelkannya ditelinga, "oh, ini yang rusak Kak, tapi yang sebelah lagi bisa kok. Kakak pakai yang sebelah aja."

"Yang sebelah juga gak ada suaranya juga, Bun," sahut gadis itu sambil memberikan speaker sebelah kanan.

Bunda menempelkan speaker itu ketelinganya. "Ini ada suaranya, Kak," sahut Bunda sambil memandang heran ke arah putrinya.

Bunda menempelkan kembali speaker ketelinga anak perempuannya itu. "Coba denger baik-baik, suara Pak Guru ada kok."

Azizah hanya menatap bunda bingung. Dia tak berkata apa-apa. Bunda terkesiap. Segera bunda duduk di hadapan putrinya. Dia tutup telinga kanan anaknya itu dengan telapak tangan, kemudian berbicara, "Kak, suara Bunda kedengeran tidak."

Azizah Putri, gadis sepuluh tahun itu mengangguk. "Kedengeran, Bun," sahutnya.

Bunda melakukan hal sama pada telinga kiri. Telapak tangannya menutup erat telinga kiri putrinya dan membiarkan hanya telinga kanan yang terbuka.

"Kak, I love you," ucap Bunda.

Tak ada sahutan dari Azizah. Padahal biasanya gadis kecil itu akan segera menjawab 'i love you too Bunda'.

"Kak, i love you," ucap Bunda sekali lagi.

"Ih, Bunda ngapain sih." Gadis kecil itu menepis tangan bunda yang masih menutupi telinga kirinya.

Telinga kanan Azizah sudah sama sekali tak bisa mendengar. Selama ini dia mendengar hanya dengan telinga kiri. Bunda tercekat menyadari kenyataan tersebut. Apakah sudah  terlambat membawa putrinya berobat?

Jutaan Cinta dan DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang