bab 11 percaya dengan doa

1 0 0
                                    

'Sedekah akan membuat doamu lebih mudah dikabulkan. Saat kau berada dalam sebuah pengharapan besar, bersedekahlah meski hanya dengan tenaga atau senyuman tulus.'

Bersedekah dalam mengawali hari adalah kebiasaan yang dipupuk ayah dan bunda. Setiap Subuh sebelum waktu syuruk bunda memasukkan sejumlah uang ke dalam sebuah celengan sedekah. Saat memasukkan uang tersebut, bunda memohon agar hajat dikabulkan. Setelah mendapat vonis mengenai kondisi pendengaran Azizah, setiap pagi bunda memohon kepada Yang Maha Menyembuhkan untuk terus memberikan harapan bagi mereka. Meski Dokter Sinta menyatakan kondisi putrinya tak bisa disembuhkan selain dengan pemasangan implan, wanita itu terus meletakkan harapan  pendengaran putri satu-satunya itu bisa kembali normal dalam setiap doanya.

Rabu yang ditunggu tiba, bunda dan Azizah menuju rumah sakit diantar ayah. Mereka berdua masuk ke rumah sakit hanya berdua saja karena ayah melanjutkan ke tempat kerja.

Setelah mengisi data di pendaftaran, keduanya diarahkan menuju ruang periksa yang berada di lantai dua. Pagi itu jadwal dokter spesialis THT adalah dokter Fivi.

Sambil menunggu panggilan, mereka menikmati siomay yang dibeli di kantin. Pagi-pagi sekali harus ke rumah sakit, membuat mereka tak sempat sarapan. Azizah meski menahan kantuk, sama sekali tak mengeluh harus berangkat pagi dan tak sempat makan. Tak lama setelah mereka menghabiskan siomay tersebut, nama Azizah Putri dipanggil.

Doa terus dilantunkan dalam hati bunda agar ada harapan fungsi pendengaran putrinya kembali normal. Dokter Fivi bertanya mengenai keluhan Azizah. Setelah berbincang tentang keluhan gadis kecil itu, dokter melakukan pemeriksaan telinga.

Bunda tidak memberi tahu bahwa sebelumnya Azizah sudah periksa di dokter THT lain dan mendapat vonis Otosklerosis. Wanita itu ingin membandingkan hasil dua dokter yang didatanginya untuk bisa mengambil keputusan yang tepat.

Dokter Fivi meminta Azizah melakukan pemeriksaan audiometry. Sayangnya, alat audiometry di rumah sakit tersebut sedang rusak. Akhirnya dokter memberikan rujukan untuk melakukan pemeriksaan di rumah sakit lain. Tak mau berlama-lama, bunda segera membawa  putrinya ke rumah sakit yang ditunjuk.

Di rumah sakit tersebut, Azizah masuk ke ruangan khusus pemeriksaan audiometry. Pemeriksaan audiometry di rumah sakit ini agak  berbeda dengan rumah sakit khusus THT. Meski alat yang digunakan sama tetapi di rumah sakit ini, gadis kecil itu diminta masuk ke sebuah ruangan kecil berbentuk seperti kotak telepon umum jaman dulu. Dalam kotak itu sudah ada headphone yang harus dipakai. Ruangan kecil itu bertujuan agar suara dari luar tidak menggangu proses pemeriksaan. Petugas berada tepat di depan ruangan kecil tempat Azizah berada. Lelaki paruh baya yang ramah itu mengoperasikan alat pemeriksaan.

Perbedaan lain dari pemeriksaan audiometry di rumah sakit sebelumnya, kali ini gadis berjilbab itu tak perlu menjawab apakah dia  mendengar atau tidak suara yang dikirimkan ke headphone. Gadis itu hanya diminta untuk memencet tombol yang diberikan kepadanya setiap kali mendengar suara.

Selesai pemeriksaan, petugas medis memberikan hasil kepada bunda.

"Yang berwarna hitam ini, grafik yang diatas hasil telinga kiri, sedangkan grafik di bawah yang berwarna merah adalah hasil pemeriksaan telinga kanan," jelas petugas sambil memperhatikan kertas hasil audiometry.

"Hasilnya bagaimana?" tanya Bunda sambil memperhatikan kertas yang diperlihatkan petugas tersebut.

"Ini garis normalnya, Bu. Di sini terlihat telinga kiri juga sudah kena, sudah di bawah normal sedikit. Yang kanan sudah sangat jauh dari garis normal, ini sudah hampir ke titik nol." Petugas itu menjelaskan sambil menunjukkan grafik-grafik yang tertera di kertas hasil.

"Itu berarti bagaimana ya, Pak?"

"Dokter yang lebih paham untuk menjelaskannya. Nanti Dokter Fivi pasti akan lebih detail menjelaskan," sahut petugas tersebut.

Setelah mendapatkan kertas hasil audiometry,  Bunda dan Azizah bergegas menemui Dokter Fivi kembali. Dokter berjilbab tersebut mengamati  kertas pemeriksaan audiometry.

"Bu, ini tekanan dalam telinga tidak normal. Ada penumpukan cairan dalam telinga. Ini juga sudah kena sarafnya. Hal tersebut yang membuat anak ibu sulit mendengar." Dokter Fivi menjelaskan.

"Jadi bagaimana, Dok?" tanya Bunda.

"Harus segera pasang alat pada kedua telinga anak ibu, untuk bisa mengeluarkan dan membersihkan cairan yang menumpuk." Penjelasan lanjutan dari dokter membuat jantung bunda berdegup kencang. Sejujurnya bunda masih berharap vonis dari Dokter Sinta salah.

"Alat seperti apa, Dok?" tegas Bunda.

"Alatnya disebut grommet, merupakan alat khusus seperti pipa kecil yang dimasukkan ke dalam gendang telinga. Hanya operasi kecil kok dan biasa dilakukan pada anak-anak. Alat ini bisa membantu mengobati mengeluarkan cairan berlebihan pada telinga tengah yang bisa menyebabkan infeksi parah. Dalam waktu enam bulan, alat tersebut biasanya akan terdorong keluar dengan sendirinya seiring kesembuhan telinga pasien," jelas Dokter Fivi.

Bunda terdiam mencoba mencerna penjelasan Dokter Fivi. Berbeda dengan Dokter Sinta yang menyarankan pasang implan dengan jalan bedah, Dokter Fivi menyarankan pasang alat yang bisa dilepas setelah enam bulan.

"Alatnya tidak permanen, Dok?" tanya ibu tiga anak itu semakin penasaran

"Tidak, setelah sembuh, alat tersebut dilepas," jelas wanita yang berada di hadapan Bunda itu.

"Jadi setelah enam bulan, grommet otomatis keluar dengan sendirinya, tidak perlu operasi ulang?" cecar Bunda.

"Jika semuanya lancar, bisa keluar dengan sendirinya, tetapi adakalanya harus dikeluarkan oleh dokter. Nanti akan dijelaskan secara rinci oleh dokter yang akan memasang alat grommet. Sebelum operasi, ibu pasti akan mendapatkan penjelasan rinci." Dokter menjawab sambil menyiapkan sebuah kertas dan alat tulis.

"Apa setelah enam bulan, pendengaran anak saya bisa kembali normal?" tanya wanita berkacamata itu. Sebuah harapan membuncah di hatinya.

"Iya, bisa normal kembali, jika lancar semua pengobatan."

Perkataan dokter membuat sekeliling bunda seakan terasa sangat lapang, kelegaan menyelimuti dada yang awalnya terasa sesak. #Kebahagiaan tak bisa disembunyikan dari wajahnya yang seketika cerah.

"Alhamdulillah," lirih suara Bunda.

"Tapi ini harus segera, Bu. Anak ibu sudah mengeluh lama. Ibu sudah terlambat membawa periksa. Secepatnya harus pasang alat, agar masih bisa kembali normal," tukas Dokter. "Penanaman alat ini bisa di RS khusus THT Harapan. Saya akan beri rujukan. Nanti ibu langsung ke Dokter Anto ya, dia yang melaksanakan operasi. Daripada ibu periksa ke dokter lain, nanti tetap saja operasinya ditangani Dokter Anto. Biar gak bolak balik nanti." Dokter Fivi menuliskan surat pengantar untuk dibawa ke rumah sakit yang dimaksud.

"Maaf, Dok, biaya operasinya berapa?" tanya Bunda was-was.

"Kalau tidak salah, untuk alatnya sekitar sepuluh juta. Belum termasuk biaya kontrol dan obat selama enam bulan." Dokter berjilbab itu menjelaskan.

Bunda terkejut, mendengar angka yang termasuk besar baginya. Namun, harapan ini tak bisa dilepas begitu saja. Tak mungkin bunda menunda pengobatan putrinya, terlebih Dokter Fivi sudah menjelaskan tindakan pemasangan alat tersebut harus segera dilakukan.

Padahal saat ini saja, untuk melakukan pemeriksaan Azizah, dalam seminggu dia sudah menghabiskan uang honor menulis di sebuah penerbit mayor. Selanjutnya dia harus bisa  mengumpulkan uang minimal sepuluh juta dalam waktu singkat. Selain itu, mereka juga harus menyiapkan biaya pasca operasi pemasangan alat. Kepalanya langsung dipenuhi berbagai rencana. Mereka berpacu dengan waktu untuk kesembuhan Azizah.

Jutaan Cinta dan DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang