"Kenapa selalu cuma Ziza. Dulu di rumah ini hanya aku yang kena Covid. Sekarang hanya aku yang harus terapi terus?" tanya gadis kecil itu, matanya tampak berkaca-kaca.
"Mungkin karena daya tahan tubuh Kakak kurang baik," jawab Bunda perlahan. Tak mungkin memberikan jawaban bahwa semua adalah takdir Allah atau mengatakan karena gadis itu yang mampu melaluinya. Tak elok membuat gadis kecil yang sedang galau itu merasa Allah memberikan takdir buruk padanya.
"Kenapa bisa daya tahan tubuh Kakak tidak baik?" cecar gadis bermata besar itu.
"Karena Kakak susah makan. Selama ini 'kan kalau disuruh makan susah dan pilih-pilih." Sebisa mungkin wanita berambut lurus itu berusaha menjawab dengan logika anak-anak.
"Tapi sekarang kakak malah dilarang makan, jadinya kesel. Semua yang dilarang makanan kesukaan kakak." Bibir gadis manis itu cemberut, air pada kaca-kaca di wajahnya mulai merebak.
"Sabar cantik, semua agar Kakak bisa segera sehat dan tidak perlu dioperasi." Wanita penyuka warna hijau itu berusaha menenangkan anandanya, meski hatinya juga pedih.
"Ziza tidak suka berobat. Uang Bunda jadi habis gara-gara beliin obat dan buat periksa ke dokter," seru gadis berpostur mungil itu sambil memeluk ibundanya dan mulai terisak.
"Hei, siapa bilang uang bunda habis? Masih ada kok. Insyaallah akan selalu ada rejeki, yang penting Ziza bantu doa dan mau bekerja sama untuk kesembuhan telinganya." Bunda memeluk erat putrinya.
Hati wanita itu terasa perih mengetahui gadis kecilnya terlalu perasa. Meski menutup rapat masalah keuangan, tetapi semua anaknya selalu berusaha tak merepotkan. Mustofa, Azizah dan Faiz adalah sosok anak yang mengerti bahwa ayah dan bundanya sudah bekerja keras sehingga tak boleh dibebani terlalu banyak.
"Ziza sebenarnya bisa dengar, Bun. Waktu periksa suruh pencet tombol itu aku dengar, tapi telat pencet aja," ucap gadis itu.
Bunda sedapat mungkin menahan sesak dalam hati, jangan sampai anaknya melihatnya rapuh dan bersedih. Wanita itu memahami putrinya sedang berusaha membuatnya tak khawatir.
"Kita tes audiometry dua kali kak, hasilnya sama," sahut Bunda sambil terus memeluk Azizah.
Azizah terdiam, isakannya masih terdengar. Meski bunda tak memberitahu tetapi dia selalu melihat kuitansi pembayaran berobat atau pembelian obat. Dia tahu uang yang dikeluarkan ibunya itu sudah banyak. Meski saat ini menggunakan BPJS, tetap saja banyak pengeluaran untuk kesembuhannya.
Gadis kecil itu memeluk bundanya lebih erat lagi. Dia merasa sedih menjadi beban. Dia merasa pantangan begitu berat tetapi tak tega jika terapi gagal. Gadis berkepang itu juga takut jika harus operasi. Dia bertekad dalam hati akan sekuat mungkin menuruti perkataan dokter dan patuh dengan semua terapi pengobatan.
***
"Bagaimana rasanya sekarang, sudah ada perubahan belum?" tanya petugas terapi. Hari ini adalah terapi ke-tujuh yang dilakukan Azizah.Gadis kecil itu hanya menggeleng. Wanita muda berjilbab itu bingung melihat respons Azizah.
"Masih suka berdengung, tidak?" tanyanya lagi.
"Masih," jawab gadis berjilbab itu sambil memposisikan dirinya tiduran miring di tempat tidur ruang Fisioterapi.
"Mah, adik komunikasinya sekarang bagaimana?" Kali ini pertanyaan diajukan kepada bunda Azizah.
"Tidak pernah ada masalah, Kak. Selama ini telinga kirinya bisa mendengar dengan baik, jadi menggunakan telinga kiri untuk mendengar," jelas wanita berkacamata itu.
"Semoga sudah ada perubahan ya, segera sehat," ucap wanita muda itu sambil mendekatkan alat terapi ke telinga Azizah.
"Aamiin, terima kasih, Kak." Bunda tersenyum, merasa haru dengan keramahan petugas terapi tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jutaan Cinta dan Doa
Ficción GeneralTak ada kehidupan yang sempurna. Perjuanganlah yang membuat segalanya tampak sempurna. Azizah, gadis kecil berusia sepuluh tahun yang memiliki berbagai talenta harus dihadapkan kenyataan fungsi pendengarannya perlahan menurun dan terancam tuli. Ber...