Bab 5
Air mata bunda merebak melihat anak perempuan satu-satunya sakit. Tak banyak yang bisa dilakukan wanita itu selain memberikan obat penurun panas dan memeluk putrinya sepanjang malam.
Malam itu, Azizah sulit memejamkan mata. Beberapa kali tertidur, hanya sebentar kemudian terbangun lagi.
"Ziza mau apa?" tanya Bunda untuk kesekian kalinya. Gadis kecil itu hanya menggeleng lemah. Dia hanya memeluk bunda semakin erat.
"Bunda jangan khawatir, aku tidak apa-apa," lirih suara gadis itu meyakinkan Bunda.
"Iya sayang, insyaallah sebentar lagi demamnya hilang dan Kakak Ziza segera sehat." Tangan Bunda mengusap lembut rambut panjang anandanya itu. Meski sedih, dia ingin memberikan kekuatan pada anaknya. Tak ingin ditampakkan kecemasan dan kesedihannya.
Syukurlah, menjelang pagi kondisi gadis berpostur mungil itu membaik. Bahkan dia sudah bisa bercanda lagi dengan Faiz, adiknya.
"Hore, kakak sudah sehat lagi," sorak anak lelaki berusia tujuh tahun itu.
"Iya, kakak pengen sehat, 'kan mau antar uang buat anak Palestina," ucap Kakak Faiz itu semangat
"Faiz mau nyumbang juga, tapi tidak punya uang." Lelaki kecil itu terlihat sedih.
"Makanya nulis buku kayak kakak," seru Azizah sambil meledek adiknya.
"Iya, 'ntar aku mau nulis buku, biar bisa nyumbang juga," sahut Faiz cepat.
"Oke deh, sip." Kedua kakak beradik itu saling melakukan tos.
Ayah dan bunda sebenarnya menginginkan Azizah berobat ke dokter terlebih dahulu. Namun, gadis kecil itu menolak karena merasa sudah sehat. Dia tak sabar ingin segera menyerahkan uangnya ke lembaga amal. Ia ingin uangnya segera sampai ke anak-anak Palestina.
"Telinga kanan Kakak masih berdengung?" tanya Bunda cemas.
Azizah menggeleng, "aku sudah baik-baik saja, Bun. Nih, pegang deh kepala dan leherku, sudah tidak panas 'kan." Gadis itu menarik tangan ibunya dan menempelkannya ke leher dan kening
"Tapi harus tetap periksa, Kak. Telinga kanan Kakak sudah sering berdengung lama, hampir setahun loh," bujuk Bunda lagi.
"Iya, nanti ke dokter, tapi jangan hari ini." Gadis bermata lebar itu menatap Bunda penuh harap.
"Baiklah, hari ini tetap pada rencana semula, tapi janji ya mau periksa ke dokter," ucapan bunda hanya dijawab dengan jempol dan senyum manis.
Siang itu akhirnya impian Azizah dan Mustofa terwujud. Mereka bisa menyumbang dari uang hasil kerja keras sendiri, bukan dari uang jajan yang diberikan bunda. Bunda bilang sudah janjian dengan Kak Ayu.
Mereka tiba di sebuah gedung bertingkat. Kantor lembaga amal berada di lantai tujuh, mereka naik lift menuju ke sana. Di sana mereka disambut oleh Kak Ayu. Kak Ayu mengajak berfoto bersama sambil memegang buku 'Cerita Azizah untuk Bunda'. Azizah yang pemalu, merapatkan tubuhnya ke bunda. Gadis mungil itu hanya menjawab pelan setiap Kak Ayu bertanya. Dia merasa malu. Saat Kak Ayu memuji dia hanya menunduk, menyembunyikan pipinya yang bersemu merah.
Kebahagiaan membuncah di hati gadis mungil itu, keinginannya sudah terwujud, impiannya terlaksana.
"Selain uang, keuntungan jadi penulis apa lagi, Bun?" tanya Azizah saat mereka di jalan pulang.
"Jika apa yang ditulis adalah hal baik dan bermanfaat, setiap hurufnya akan bernilai pahala," jelas Bunda.
"Itu bisa jadi pahala jariyah loh Kak. Jika penulisnya meninggal, tapi tulisannya masih terus dibaca dan bermanfaat untuk orang lain, pahalanya akan terus mengalir." Ayah ikut menjawab sambil terus fokus menyetir mobil.
"Pahalanya sampai ke kuburan penulisnya?" tanya Faiz dengan wajah menggemaskan.
"Iya," jawab Ayah dan Bunda serempak. Faiz dan Azizah tertawa melihat kekompakan orang tua mereka.
Sampai di rumah, Azizah meminta bunda mengirimkan buku karyanya dikirim gratis ke berbagai tempat. Dia ingin mendapatkan pahala jariyah. Tentu saja bunda menyetujui hal tersebut.
*****
Bunda sudah merencanakan membawa Azizah ke dokter THT, saat dunia digemparkan oleh coronavirus disaese. Jakarta, menjadi salah satu kota yang terdampak. Seluruh siswa di DKI Jakarta secara mendadak dilarang ke sekolah. Azizah dan Faiz juga akhirnya tak bisa lagi ke sekolah, mereka belajar di rumah dan dilarang bunda pergi ke mana pun.
Melihat perkembangan penyebaran virus baru tersebut yang sangat pesat, membuat bunda tak *melanjutkan* niat membawa Azizah ke dokter THT. Terlalu riskan saat ini berada di lingkungan rumah sakit. Pemberitaan yang masif mengenai betapa virus baru ini mudah menular dan berbahaya, membuat keluarga itu waspada.
Tak hanya mengurungkan niat ke rumah sakit. Selama dua bulan, bunda juga meminta anak-anaknya tetap di rumah saja. Jika biasanya setiap hari Sabtu dan Minggu, Azizah menginap di rumah nenek, maka kali ini bunda melarang. Kondisi ayah dan bunda yang tetap bekerja membuat khawatir membawa virus corona. Bunda khawatir, tanpa sadar menjadi orang tanpa gejala (OTG) dan membahayakan nenek dan kakek. Terlebih kakek sedang rutin kemoterapi untuk menghilangkan sel kanker pada tubuhnya. Maka, pertemuan sementara dibatasi.
Waktu dua bulan, menyisipkan kerinduan pada hati setiap orang. Tak ada lagi kesempatan berkumpul dengan orang-orang terdekat. Semua harus menjaga jarak. Silaturahmi hanya bisa dilakukan lewat jaringan, dengan telepon, video call atau online meeting.
Kerinduan membuncah juga menyusup pada relung hati gadis kecil dan nenek. Mereka yang biasanya bertemu tiap akhir pekan, tak bisa bertemu. Menatap wajah melalui layar telepon tiap hari, ternyata tak bisa menyurutkan sesak rindu di dada.
Hari itu, saat video call, nenek menangis. "Azizah, Faiz kapan ke sini, Nenek dan Kakek kangen."
Azizah tak bisa menjawab pertanyaan nenek. Sejujurnya dia merasakan rindu yang sama. Namun, dia memahami kondisi yang terjadi.
"Kapan ke rumah Nenek?" Sekali lagi wanita tua itu bertanya sambil menahan air matanya.
Bunda tak kuasa menahan perasaan. Dia menyadari kedekatan nenek dan cucunya. Hingga akhirnya berjanji di akhir pekan nenek bisa bertemu dengan cucu perempuannya itu.
Azizah melonjak seketika, mendengar perkataan bunda. Kasur bergoyang karena lompatan gadis kecil itu. Kegembiraan terpancar dari wajah imut itu, karena sebentar lagi kerinduannya akan menepi.
Setelah dua bulan, akhirnya Azizah diantarkan untuk menginap di rumah nenek. Nenek tak kuasa menahan perasaan. Saat cucu perempuannya itu datang, air matanya mengalir, haru dan rindu jadi satu.
Akhirnya, meski virus corona belum pergi, bunda mengijinkan gadis kecilnya setiap akhir pekan kembali menginap di rumah nenek. Berbagai petuah diucapkan bunda kepada gadis kecilnya. Mulai dari petuah tidak boleh keluar rumah, memakai masker jika terpaksa keluar, hingga harus menjaga nenek dan kakek. Gadis itu mengiyakan semua petuah wanita yang melahirkannya.
*****
"Bun, nanti ulang tahun ke sepuluh, boleh tidak di rumah Nenek?" Sore itu saat Bunda mengepang rambut panjangnya, Azizah mengucapkan permohonan."Hmmm ... tapi hanya kita saja ya kak, tidak undang siapa-siapa," sahut Bunda.
"Iya, sama Nenek Kakek saja." Bibir mungil itu mengungkapkan harapan sederhana.
"Oke, nanti Bunda pesen kue dan masak untuk makan bersama." Gadis berkepang itu menatap bahagia dengan mata lebarnya. Ucapan terima kasih terpancar dari mata itu.
Tak mengapa tak kumpul keluarga besar seperti biasa, yang penting bisa merayakan ulang tahun bersama nenek tercinta. Gadis itu tak sabar menanti tiba hari kelahirannya. Sayangnya, tepat di hari ulang tahunnya, dia mendapatkan kabar yang membuyarkan semua harapan kecilnya. Hatinya kecewa. Kesedihan bercampur kecemasan, karena nenek dan kakek harus dibawa ke rumah sakit karena positif Covid19.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jutaan Cinta dan Doa
Ficción GeneralTak ada kehidupan yang sempurna. Perjuanganlah yang membuat segalanya tampak sempurna. Azizah, gadis kecil berusia sepuluh tahun yang memiliki berbagai talenta harus dihadapkan kenyataan fungsi pendengarannya perlahan menurun dan terancam tuli. Ber...