setelah melontarkan kalimat pedas kepada sang anak, pintu kamar rawat ditutup dengan kasar oleh Oma hingga menyisakan dentuman dan tatapan kecewa dari putranya itu, seharusnya Ia bersyukur bukan? Saat Jhonny mempunyai keinginan menjenguk Jisung? Namun rasa kecewanya lebih mendominasi yang membuat membuang nafas kasar.
Ia hanya takut jika sang cucu kembali di kecewakan untuk kesekian kalinya, berbicara tentang kecewa, Ia juga kecewa kepada Jisung yang tidak terbuka padanya. Hal yang seharusnya Ia yang menjadi orang pertama mendengar rahasia tersebut terucap langsung dari bibir ranumnya itu.
Hal itu sangat menyakiti perasaannya seolah-olah Ia bukan orang yang berarti dalam hidup sang cucu yang kini mengharuskannya tuk menyembunyikan rasa kecewa itu sebaik mungkin, pasti sang cucu mempunyai alasan atas perihal tadi.
Di baliknya perlahan tubuh tersebut seraya memberi senyuman terbaik dari yang paling baik untuk sang cucu. Bisa Ia lihat sang cucu yang sedang duduk dengan kepala bersandar pada dinding.
Melihat senyum berseri dari wajah pucat tersebut membuat hati kecil sang Oma tercubit karenanya. Perlahan dilangkahkan kedua kakinya mendekati ranjang sang cucu dan diusapnya dengan lembut surai Jisung dengan kasih sayang. Cucunya ini, selalu tersenyum di setiap keadaan. Tersenyum saat di caci-maki oleh sang ayah, tersenyum saat di tuduh sebagai pembunuh, tersenyum saat dikecewakan oleh semesta berkali-kali. Bagaimana bisa, remaja laki-lakinya masih bisa tersenyum saat semesti tak berpihak kepadanya? Entah bagaimana, senyuman pada bibir ranumnya selalu menghangatkan sekaligus menyakitkan.
"Oma? A...yah dimana?" Tanya Jisung pada sang Oma yang berhasil menghentikan lamunannya. Sembari menatap kosong pintu di sebelah kirinya sendu, pintu itu masih setia tertutup seperti enggan untuk terbuka memunculkan orang yang di harapkan sebelumnya
Oma yang mendapat pertanyaan tersebut segera menarik tangannya dan berusaha mencari alasan yang tepat, Jisung tak boleh mengetahui jika Ialah yang melarang sang Ayah untuk menjenguknya.
"Ahh tadi kak Nana pingsan karena kecapean terus... Ayah di kamar rawat kak Nana" Ujar Oma berbohong berharap sang cucu tak menyadari gerak-gerik resah dari badannya.
"Ahhh gitu ya? Pasti karena Jisung ya?" Rasa bersalah memenuhi relung hatinya, berapa kali Ia harus menelan pil pahit bulat bulat? Harusnya memang Ia tak banyak berharap. Sedari awal memang dirinya tak di harapkan hadir di dunia bukan?
Jadi ka Nana lagi ya Ayah? batinnya miris.
Bolehkah Ia egois? Mengharap sang ayah meluangkan waktu untuknya walau hanya sehari dalam setahun? Tidak, tidak, barang satu jam saja menghabiskan waktu bersama selayaknya keluarga. Tak terasa air mata mengalir di pipi cubbynya entah disebabkan oleh apa Ia-pun tak tau, Mungkin karena tak enak badan membuat perasaannya lebih sensitif.
"Jie Mengapa menangis? Apakah ada yang sakit bilang sama Oma?" Tanya Oma khawatir sembari mengecek tubuh sang cucu barang kali ada luka yang terlewat dari pengawasan dokter.
"Enggak ada Oma, Jisung cuman seneng aja. Oma tau gak? Tadi Jisung mimpi indahhhh banget" Ucapnya dengan suara serak sembari tersenyum membohongi semua orang dengan topeng kebahagiaan yang terpasang rapi tanpa celah.
"Dia anak saya! Apa hak anda melarang saya menyentuhnya"
Entah bagaimana Ia mimpi semacam ini, kalimat itu terus berkejaran di dalam fikirannya. Terputar berulang-ulang seperti hafidz yang menghafal Al-Qur'an Tertanam secara permanen dalam otaknya hingga memunculkan seulas senyum kebahagian.
"Jisung... mimpi Ayah panggil Jisung anak Oma... tapi bukan anak sialan seperti biasanya. Ayah ngakuin Jisung sebagai anak Oma, sambil teriak-teriak" Imbuhnya sembari tertawa renyah membayangkan bagaimana lucunya sang Ayah berteriak seperti itu membuatnya geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Me || REVISI
Teen FictionJika kematian adalah hal yang paling di harapkan,lalu untuk apa kehidupan di ciptakan? 📌#1 in frinship🥇